Sukses

HEADLINE: Sejumlah Negara Wajibkan Pelancong China Tes COVID-19 Saat Liburan Tahun Baru, Khawatir Varian Baru?

Kasus COVID-19 di China melonjak drastis di penghujung 2022.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus COVID-19 di China melonjak drastis di penghujung 2022. Bertambahnya pasien yang dirawat di rumah sakit dipicu pencabutan kebijakan nol-COVID-19 di China.

Meski begitu, pemerintah China akan membuka kembali pembuatan paspor agar warganya bisa liburan Tahun Baru Imlek pada Januari 2023. Kebijakan ini memungkinkan wisatawan China bisa bebas berwisata dan berbelanja ke negara lain seperti kawasan Asia dan Eropa, sekaligus memunculkan kekhawatiran menyebarkan COVID-19 karena kasus di Tiongkok sedang melonjak.

Sementara, Komisi Kesehatan Nasional China telah berhenti mengeluarkan angka kasus harian, pejabat di beberapa kota memperkirakan ratusan ribu orang telah terinfeksi COVID-19 dalam beberapa pekan terakhir. Rumah sakit dan krematorium di seluruh negeri dilaporkan telah kewalahan.

Dengan varian virus yang kini bersirkulasi dan mampu menginfeksi hampir 20% populasi dunia, banyak warga China yang belum memiliki kekebalan dari infeksi sebelumnya dan banyak yang belum divaksinasi, mengkhawatirkan negara lain dan pakar, bahwa China akan menjadi lahan subur bagi varian baru. 

Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara lainnya pun mewajibkan tes COVID-19 bagi pelancong yang datang dari China, mencerminkan kekhawatiran global bahwa varian baru dapat muncul dalam wabah eksplosif, dikutip dari NST.com.my.

Belum ada laporan varian baru hingga saat ini. Tetapi mengingat rekam jejak China, kekhawatirannya adalah Tiongkok tidak membagikan data tentang tanda-tanda berkembangnya strain yang dapat memicu wabah baru di tempat lain.

Amerika Serikat mengumumkan persyaratan tes negatif pada Rabu 28 Desember untuk penumpang dari China, berdasarkan lonjakan infeksi dan kurangnya informasi, termasuk pengurutan genom dari galur virus corona di negara itu.

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyatakan keprihatinan serupa tentang kurangnya informasi ketika dia mengumumkan persyaratan pengujian bagi penumpang dari China awal pekan ini. Secara lebih luas, Direktur Jenderal Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa baru-baru ini WHO membutuhkan lebih banyak informasi tentang tingkat keparahan wabah di China -- terutama mengenai penerimaan rumah sakit dan ICU, di negara tersebut.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Mao Ning menyatakan, negaranya selalu membagikan informasinya secara bertanggung jawab kepada WHO dan komunitas internasional.

"Kami siap bekerja sama dengan komunitas internasional dalam solidaritas untuk mengatasi tantangan COVID-19 secara lebih efektif, melindungi kehidupan dan kesehatan masyarakat, serta bersama-sama memulihkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan membangun komunitas kesehatan global untuk semua," katanya.

Otoritas kesehatan Jerman kini sedang memantau situasi tetapi belum mengambil langkah pencegahan serupa. "Kami tidak memiliki indikasi bahwa varian yang lebih berbahaya telah berkembang dalam wabah ini di China," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Sebastian Guelde.

India, Korea Selatan, Taiwan, dan Italia juga telah mengumumkan berbagai persyaratan pengujian untuk penumpang dari China. Bagaimana dengan Indonesia?

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Siti Nadia Tarmizi belum memastikan adanya secara khusus pengetatan syarat perjalanan untuk pelancong dari Tiongkok. Meski begitu, demi mengantisipasi penularan virus Corona dari Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN), Kemenkes tetap mengawasi pintu masuk negara.

"Masih terus kita monitor perkembangannya, sementara pengawasan pintu masuk diperketat. Surveilans genomik terus dimonitor," kata Nadia saat dikonfirmasi Liputan6.com melalui pesan singkat pada Jumat, 30 Desember 2022.

Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Tjandra Yoga Aditama menyarankan sebaiknya pelancong dari Tiongkok yang masuk Indonesia harus negatif tes PCR. Hal ini melihat beberapa negara lain mulai mewajibkan tes COVID-19 bagi mereka dari Tiongkok yang masuk ke negaranya.

Dikatakan Tjandra Yoga sebelumnya, kekhawatiran kasus COVID-19 yang melonjak di Tiongkok perlu diperketat pengawasannya. Terlebih lagi, bila terdeteksi bergejala saat di pintu kedatangan agar segera tes PCR dan dilakukan Whole Genome Sequencing (WGS).

Upaya tersebut dilakukan supaya strain virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 dapat diketahui. Apalagi di Tiongkok sendiri, varian Corona baru seperti BA.5 dan BA.2.75, dan BF.7 menjadi 'biang kerok' kenaikan kasus COVID-19 di sana.

"Saya awalnya menganjurkan mereka yang datang dari China diawasi 14 hari. Kalau ada gejala atau kecurigaan (gejala) segera di PCR dan kalau bisa ditambah (pemeriksaan) WGS supaya tahu strainnya (varian Corona)," terang Tjandra Yoga saat dihubungi Liputan6.com.

"Tetapi, dengan perkembangan yang ada, maka sekarang nampaknya baik kalau lebih ketat lagi, setidaknya yang datang dari China sudah harus PCR negatif."

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Siaga Negara Asing ke Pelancong China

Amerika Serikat menetapkan aturan baru bagi pelancong asal China yang harus lolos uji COVID-19 bila mau masuk ke negaranya. Kebijakan ini ditetapkan sesaat usai Beijing mengumumkan akan membuka kembali perbatasannya pada minggu depan.

Italia, Jepang, Taiwan, dan India juga mengumumkan warga China wajib tes bila bertandang ke negaranya. Hanya Australia dan Inggris yang memutuskan tidak ada aturan baru bagi pelancong dari China.

Melansir laman BBC, Kamis (29/12/2022), usai 3 tahun tertutup dari dunia, China akan membiarkan warganya bepergian lebih bebas mulai 8 Januari. Tetapi lonjakan COVID yang sedang berlangsung di negara itu telah memicu kewaspadaan.

China melaporkan sekitar 5.000 kasus per hari, tetapi analis mengatakan jumlah tersebut sejatinya masih sangat kurang di mana prediksinya beban kasus harian mungkin mendekati satu juta.

Laporan menyebutkan jika rumah sakit kewalahan menangani pasien dan warga berjuang untuk menemukan obat-obatan dasar.

AS mengatakan kurangnya data COVID yang "memadai dan transparan" di China telah berkontribusi pada keputusan untuk mewajibkan tes COVID mulai 5 Januari bagi pelancong yang memasuki AS dari China, Hong Kong, dan Makau.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS mengatakan ini diperlukan "untuk membantu memperlambat penyebaran virus saat kami berupaya mengidentifikasi ... potensi varian baru yang mungkin muncul".

Tetapi kementerian luar negeri Beijing mengatakan aturan virus corona hanya boleh diberlakukan atas dasar "ilmiah" dan menuduh negara-negara Barat dan media "membesar-besarkan" situasi tersebut.

Di Jepang, pelancong dari China juga harus menjalani tes Covid pada saat kedatangan. Mereka yang dites positif harus dikarantina hingga tujuh hari. Selain itu, jumlah penerbangan ke dan dari China juga dibatasi

Di India, orang yang bepergian dari China dan empat negara Asia lainnya harus menunjukkan tes Covid negatif sebelum tiba. Penumpang yang positif juga akan dikarantina.

Taiwan mengatakan orang-orang yang tiba dengan penerbangan dari China, serta dengan perahu di dua pulau, harus menjalani tes Covid pada saat kedatangan dari 1 Januari hingga 31 Januari. Mereka yang dinyatakan positif akan dapat mengisolasi diri di rumah

Sementara Malaysia telah menerapkan langkah-langkah pelacakan dan pengawasan tambahan. Italia juga telah memberlakukan pengujian Covid wajib pada pelancong dari China.

Komisi Eropa mengatakan komite keamanan kesehatannya akan bersidang pada hari Kamis untuk membahas "kemungkinan langkah-langkah untuk pendekatan UE yang terkoordinasi" terhadap lonjakan Covid di China.

Tetapi Italia, negara anggota UE dan episentrum virus pada akhir 2019 dan 2020, mengatakan pihaknya bergerak lebih dulu untuk "memastikan pengawasan dan identifikasi" dari setiap varian baru virus tersebut.

3 dari 4 halaman

Kata Pemerintah China

Beberapa orang bereaksi dengan marah di media sosial China. "Saya pikir semua negara asing telah terbuka. Bukankah ini rasisme?" baca satu komentar yang disukai 3.000 kali di Weibo. AS mengatakan pengujian diperlukan bagi siapa pun yang datang dari China, atau melalui negara ketiga, terlepas dari kebangsaannya.

Tetapi yang lain mengatakan bahwa mereka memahami alasan dari kondisi tersebut: "Ini tidak seberapa dibandingkan dengan semua pembatasan yang kami miliki untuk orang yang datang ke China," tulis seorang pengguna.

Beijing baru mengumumkan pada hari Senin keputusannya untuk mengakhiri karantina untuk kedatangan - secara efektif membuka kembali perjalanan masuk dan keluar negara untuk pertama kalinya sejak Maret 2020. Hingga minggu ini, siapa pun yang memasuki China harus menjalani karantina di fasilitas negara.

Sebelum pandemi, China telah menjadi pasar wisata outbound terbesar di dunia. Tetapi tidak jelas berapa banyak orang China yang akan bepergian ke luar negeri setelah 8 Januari mengingat jumlah penerbangan terbatas, dan banyak warga perlu memperbarui paspor mereka.

Reaksi masyarakat internasional bervariasi dengan Inggris dan Australia mengatakan mereka memantau situasi Covid di China tetapi tidak berencana mengumumkan persyaratan pengujian baru.

Kementerian luar negeri China mengatakan saat ini perkembangan situasi epidemi China secara keseluruhan dapat diprediksi dan terkendali.

Namun jumlah sebenarnya dari kasus harian dan kematian di China tidak diketahui karena para pejabat telah berhenti meminta laporan kasus dan mengubah klasifikasi untuk kematian akibat Covid.

Para pejabat mengatakan mereka juga akan berhenti merilis jumlah kasus harian. "Lonjakan infeksi di China sesuai dengan yang diharapkan," kata Dr Chandrakant Lahariya, Ahli epidemiologi dan spesialis sistem kesehatan India kepada BBC.

"Jika Anda memiliki populasi rentan yang tidak terpapar virus, kasus akan meningkat. Tidak ada yang berubah di seluruh dunia."

Keputusan China untuk membuka kembali perbatasannya menandai akhir dari kebijakan nol-Covid yang kontroversial di negara itu, yang secara pribadi didukung oleh Presiden Xi Jinping.

Bahkan ketika seluruh dunia beralih untuk hidup dengan virus, Beijing bersikeras pada kebijakan pemberantasan yang melibatkan pengujian massal dan penguncian yang ketat.

4 dari 4 halaman

Pendapat Para Pakar

Antoine Flahault, direktur Institut Kesehatan Global di Universitas Jenewa, mengatakan kepada AFP bahwa setiap infeksi baru meningkatkan kemungkinan virus akan bermutasi. "Fakta bahwa 1,4 miliar orang tiba-tiba terekspos pada virus SARS-CoV-2, jelas menciptakan kondisi yang rawan munculnya varian baru," kata Flahault merujuk pada virus penyebab penyakit COVID-19.

Bruno Lina, seorang profesor virologi di Universitas Lyon Prancis, kepada surat kabar La Croix pada pekan ini mengatakan, China dapat menjadi "tempat berkembang biak yang potensial bagi virus varian baru".

Soumya Swaminathan, yang menjabat sebagai ilmuwan kepala Organisasi Kesehatan Dunia -WHO hingga November lalu, mengatakan sebagian besar penduduk China rentan terhadap infeksi, sebagian karena banyak orang lanjut usia belum divaksinasi atau mendapat vaksinasi booster.

"Kita perlu terus mencermati setiap varian yang muncul," katanya kepada situs web surat kabar Indian Express.

Sementara itu, pejabat kesehatan Eropa menyebut pemeriksaan dan pembatasan pada pelancong dari China tidak dapat dibenarkan.

Orang Eropa memiliki tingkat perlindungan yang tinggi terhadap COVID-19, dan sistem kesehatan di benua itu dapat menangani beban infeksi saat ini, kata Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Eropa.

Hal itu dikomentari setelah keputusan sejumlah negara mulai dari AS hingga Italia dan Jepang untuk memberlakukan tes COVID-19 untuk semua pelancong dari China.

Langkah Beijing baru-baru ini untuk membatalkan kebijakan ketat nol-COVID telah memicu lonjakan infeksi di China, dan kekhawatiran di tempat lain tentang varian baru, dikutip dari NST.com.my.

Rencana Italia untuk menguji kedatangan dari China mengikuti penemuan bahwa hampir setengah dari penumpang pada dua penerbangan baru-baru ini dari negara itu positif COVID-19. Dikatakan pada Kamis bahwa pengurutan menunjukkan strain adalah Omicron.

Sejauh ini, Komisi Eropa telah menahan diri untuk tidak mengikuti jejak Italia. Itu mengecilkan risiko, mencatat bahwa Omicron sudah ada di Eropa dan "tidak tumbuh secara signifikan".

"Namun, kami tetap waspada dan akan siap menggunakan rem darurat jika diperlukan," tambah komisi itu.

ECDC mendukung pernyataan dari Komisi Eropa tersebut. Dikatakan strain yang beredar di China sudah ada di Eropa dan potensi infeksi impor rendah dibandingkan dengan tingkat penularan COVID-19 yang sudah terjadi di UE.

Meski demikian, para pejabat memantau dengan cermat situasi di China dan melakukan kontak rutin dengan pejabat kesehatan di sana, katanya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.