Liputan6.com, Jakarta - Hujan turun di Rwanda saat musim April tiba, tetapi bukan hanya langit yang menangis pada April 1994.
Dalam kurun seratus hari, lebih dari satu juta warga suku Tutsi dibantai dalam genosida paling mengerikan abad ke-20. Di antara mereka, seorang gadis 14 tahun bernama Frida Umuhoza menyaksikan dunia runtuh dalam sekejap—dan keajaiban menyelamatkan hidupnya.
Baca Juga
Frida Umuhoza dibesarkan dalam keluarga penuh kasih. Ayahnya seorang dermawan yang membangun sekolah dan rumah bagi warga miskin. Kebaikan yang tak memandang suku. Tetapi semua berubah saat ia mulai sekolah. Di ruang kelas, ia pertama kali mendengar kata "Tutsi"—bukan dari orang tuanya, tapi dari guru yang memisahkan anak-anak berdasarkan suku.
Advertisement
"Aku tak tahu apa itu Tutsi sampai temanku menyuruhku berdiri," kenangnya, dalam acara peringatan 31 tahun Genosida Suku Tutsi di Rwanda tahun 1994 yang diadakan oleh Kedutaan Besar Rwanda untuk Indonesia di Jakarta, Jumat (11/4/2025) malam.
Sejak hari itu, ia belajar bahwa menjadi Tutsi adalah “dosa.” Anak-anak Tutsi disebut ular dan kecoak. Mereka tidak lagi dianggap manusia.
Pada 7 April 1994, kekerasan meledak setelah pesawat Presiden Habyarimana ditembak jatuh. Bagi keluarga Frida, itu bukan permulaan, melainkan akhir.
Ayahnya, yang telah lama diawasi karena dituduh membantu pasukan RPF (Rwandan Patriotic Front), tak lagi bebas bergerak. Rumah mereka dirusak. Adik bayi Frida dibunuh di rumah sakit tanpa bisa dikuburkan layak.
Tiga hari setelah kembali ke rumah kakeknya, seluruh keluarga Frida—18 orang—ditangkap dan dibawa ke pos pemeriksaan.
"Untuk dibunuh dengan peluru, kami harus membayar. Tapi kami tidak punya apa-apa," ujarnya. Karena itu, mereka dijatuhi hukuman mati dengan cara paling kejam: dipukul dengan pentungan, dibacok dengan parang, dibenamkan di kubangan lumpur.
Dikubur Hidup-hidup
Di antara deretan tubuh yang disiksa dan dibunuh itu, Frida masih hidup. Ia dipukul di kepala dan leher hingga pingsan, lalu dikubur hidup-hidup bersama keluarganya.
Saat sadar, ia menahan napas, membiarkan tubuhnya terbenam agar tak ketahuan. Setelah lebih dari 14 jam dalam kuburan massal, seorang wanita mendengar isak tangisnya. Seorang pemuda Hutu yang dulu bekerja untuk keluarganya datang dan menggali tubuh Frida dari tanah basah yang menjadi kuburan ibu, ayah, dan adik-adiknya.
Namun penyelamatannya tidak berarti akhir dari penderitaan. Seorang pria Hutu kemudian menyembunyikannya—bukan untuk melindungi, tetapi untuk menunggu waktu menjualnya kepada tentara. Frida hidup dalam pelarian, berpindah dari dalam rumah saat siang ke luar rumah saat malam, selalu bersembunyi dari para pemburu nyawa.
"Saya terus berkata pada diri sendiri: ini mimpi. Ini hanya mimpi buruk. Aku akan bangun," katanya.
Tapi waktu berlalu, dan tidak ada yang berubah. Hingga pasukan RPF datang dan membebaskan wilayah itu.
Frida selamat, tetapi semua yang ia cintai telah tiada. Dalam satu hari yang kelam—7 Mei 1994, ia kehilangan ayah, ibu, adik, kakek-nenek, dan seluruh keluarga besarnya.
Hanya satu barang yang ia miliki dari masa lalunya: sebuah gaun yang dulu dibelikan sang ibu. Gaun itu ia temukan kembali dari tangan para pembunuh keluarganya.
Advertisement
Dihantui Trauma Seumur Hidup
Kini, Frida hidup dengan luka yang tak terlihat dan yang terlihat. Lehernya hancur akibat pukulan, dan ia telah menjalani lima operasi. Tapi luka terbesar tak bisa dijahit. Trauma genosida menghantuinya setiap hari.
Melalui buku dan pidato-pidatonya, Frida menyuarakan kebenaran yang menyakitkan agar dunia tak lupa. Bahwa genosida bukan hanya soal angka dan statistik, melainkan jiwa-jiwa yang hilang, keluarga yang tercerai, dan manusia yang dikubur hidup-hidup—baik secara harfiah maupun batin.
"Saya tidak ingin dunia melupakan kami. Karena begitu kita lupa, itu bisa terjadi lagi. Di mana saja. Pada siapa saja," tuturnya.
Frida bukan hanya penyintas. Ia adalah saksi. Dan dalam suaranya yang penuh luka, ia menjadi harapan terakhir agar tragedi seperti ini tak terulang kembali.