Sukses

BI Kembali Pertahankan Suku Bunga di 5,75 Persen

Keputusan Bank Indonesia mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75 persen ini seagai konsistensi kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap rendah dan terkendali.

Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 September 2023, memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50 persen.

"Rapat RDG Bank Indonesia pada 20-21 September 2023 memutuskna untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen, demikian juga suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 5,00 persen, dan suku bunga Lending Facility tetap sbesar 6,50 persen," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dalam konferensi pers, Kamis (21/9/2023).

Menurutnya, keputusan mempertahankan BI7DRR sebesar 5,75 persen ini seagai  konsistensi kebijakan moneter untuk memastikan inflasi tetap renah dan terkendali dalam kisaran sasaran 3,0±1 persen pada sisa tahun 2023 dan menurun menjadi 2,5±1 persen pada 2024.

Lebih lanjut, kebijakan moneter tetap difokuskan untuk mengendalikan stabilisasi nilai tukar Rupiah untuk memitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global.

Sementara itu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi domestik, kebijakan makroprudensial longgar terus diarahkan untuk memperkuat efektivitas pemberian insentif likuiditas kepada perbankan guna mendorong kredit/pembiayaan dengan fokus hilirisasi, perumahan, pariwisata dan pembiayaan inklusif dan hijau.

Kebijakan insentif likuiditas makroprudensial ini akan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 2023.  Demikian juga digitalisasi sistem pembayaran terus diakselerasi untuk memperluas inklusi ekonomi dan keuangan digital termasuk digitalisasi transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah.

Bank Indonesia juga terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Fed Diramal Tahan Suku Bunga, Bagaimana Arah Rupiah?

Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (Fed) akan kembali menetapkan arah suku bunga acuan dalam rapat dewan gubernur atau disebut juga Federal Open Market Committee (FOMC), pada 19-20 September ini. Pasar memperkirakan suku bunga acuan akan dipertahankan atau tidak berubah meski gubernur the Fed Jerome Powel masih membuka kemungkinan untuk kembali menaikkan suku bunga bila inflasi masih merangkak naik.

PT Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW) memperkirakan, the fed akan mempertahankan suku bunga acuan sebesar 5,50% dalam pertemuan bulan ini, meski inflasi US pada Agustus yang lalu kembali naik ke level 3,7% secara tahunan, sedangkan periode Juli 2023, inflasi tercatat sebesar 3,2%.

Pasalnya, saat ini bank sentral global sudah mulai menyadari pentingnya mendukung pertumbuhan ekonomi, meski dalam jangka pendek masih ada tekanan inflasi.

‘’Kami melihat ke depan bank sentral global segera shifting ke arah growth over stability.Namun perlu dicatat bahwa stability bisa tetap dijaga dengan beragam kebijakan,’’ papar Ekonom Bahana TCW Emil Muhamad dalam keterangan tertulis, Rabu (20/9/2023).

Bank Indonesia (BI) misalnya bisa menempuh kebijakan pro growth melalui kebijakan makroprudensial loan to value (LTV) dan diskon giro wajib minimum (GWM), sedangkan untuk menjaga stabilitas dilakukan dengan kebijakan suku bunga dan juga melalui sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Tentunya pasar akan terkejut bila US kembali menaikkan suku bunganya, namun kenaikan itu tidak perlu direspon oleh BI dengan menaikkan suku bunga acuan. Bila the fed menaikkan suku bunganya pada bulan ini, maka untuk pertama kali dalam sejarah, suku bunga acuan US berada pada level yang sama dengan suku bunga acuan Indonesia sebesar 5,75%.

3 dari 4 halaman

Arah Rupiah

Hal ini memang akan menambah tekanan terhadap nilai tukar, namun bank sentral bisa menjalankan triple intervention dan instrumen barunya SRBI.

Dalam kondisi global yang penuh tekanan saat ini, menjaga yield differential dianggap lebih penting bagi kebijakan moneter. Pada pertengahan September ini selisih yield surat berharga negara (SBN) dengan surat berharga US atau disebut juga US treasury (UST) tenor 10 tahun telah naik ke 2,35%.

Selama selisihnya masih diatas level terendah yang pernah terjadi di 2,12%, yield SBN masih cukup menarik bagi investor asing, apalagi pemerintah terus berupaya menekan inflasi domestik.

Badan pusat statistik (BPS) mencatat inflasi pada Agustus sebesar 3,27% secara tahunan sehingga inflasi Indonesia sejak Januari hingga Agustus 2023, tercatat sebesar 1,33%, masih berada dalam target bank sentral sekitar 2% - 4% hingga akhir 2023.

4 dari 4 halaman

Kebijakan BI

Emil melanjutkan, dengan menjaga yield di pasar keuangan tetap menarik, BI dapat mempertahankan suku bunga meski the fed masih membuka kemungkinan untuk menaikkan suku bunganya satu kali lagi kedepan.

"Kami sendiri memperkirakan suku bunga the fed dan BI 7-day reserve repo rate tidak akan bergerak hingga akhir tahun meski dalam jangka pendek masih ada tekanan inflasi. Bank sentral secara global akan lebih mempertimbangkan prospek pertumbuhan dan inflasi di tahun depan dalam menentukan arah kebijakannya hingga akhir tahun ini," tutup Emil.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.