Sukses

PPN Sembako dan Pendidikan Turunkan Kepercayaan Masyarakat ke Pemerintah

Ekonom senior Fadhil Hasan menyoroti polemik dari rencana pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako dan pendidikan

Liputan6.com, Jakarta Ekonom senior Fadhil Hasan menyoroti polemik dari rencana pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sembako dan pendidikan yang tertuang dalam revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).

Menurut dia, yang sering dilupakan pemerintah dalam revisi pajak dan penerbitan kebijakan akhir-akhir ini adalah kepercayaan publik.

"Revisi KUP apapun itu bisa berjalan efektif manakala trust kepada pemerintah cukup kuat," ujar Fadhil dalam keterangan tertulis, Sabtu (12/6/2021).

Fadhil berpendapat, penolakan terhadap PPN sembako dan pendidikan muncul lantaran masyarakat sudah kadung tidak percaya dengan berbagai kebijakan pemerintah.

Semisal isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), rencana impor beras, pembatalan haji, hingga anggaran alat utama sistem senjata (alutsista) berjumlah ribuan triliun rupiah.

"Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah terdapat distrust yang cukup tinggi, sehingga dikhawatirkan penerapan reformasi KUP tidak akan berjalan efektif. Distrust itu terjadi justru karena banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, sensitif dan kontroversial," tutur Fadhil.

Dia lantas menyarankan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar memperhatikan faktor waktu dalam merencanakan sebuah kebijakan, apakah itu pungutan PPN maupun program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II.

"Karena itu penting untuk disampaikan bahwa penerapan RUU KUP tersebut dilakukan setelah ekonomi sepenuhnya pulih dan pertumbuhan kembali ke alurnya yang normal," pungkas Fadhil.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Masih Pandemi, Pemerintah Diminta Menahan Diri Pungut PPN Sembako

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memiliki hak diskresi dalam menentukan naik turunnya pajak pertambahan nilai (PPN). Payung hukum kenaikan tarif PPN dinilai cukup melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK), tidak perlu sampai merevisi undang-undang yang merupakan dasar hukum yang lebih tinggi dari PMK.

Ekonom Senior INDEF menilai perubahan tarif PPN sudah tepat lewat PMK karena bersifat fleksibel dan bisa menyesuaikan dengan kondisi perekonomian terkini. Sehingga naik turunnya pajak tidak membutuhkan keputusan politis lewat undang-undang.

"Tidak perlu keputusan politis, maka fleksibel aja sama pemerintah. Kalau butuh dinaikkan, tinggal dinaikkan, kalau belum butuh ya enggak usah dinaikkan. Itu terserah pemerintah aja, kondisional," tutur Enny saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Jumat (11/6).

Sebelumnya, beredar draf usulan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Didalamnya terdapat rencana mengenakan tarif pajak untuk bahan kebutuhan pokok sampai dengan pendidikan.

Meski hal ini masih belum dibahas antara pemerintah dengan DPR, namun telah membuat kegaduhan di masyarakat. Terlebih masih dalam suasana pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian nasional dan keuangan rakyat.

"Apakah masyarakat sudah memungkinan, pemerintah menaikkan (PPN) atau belum? Jadi biar tidak ada dusta karena ini kan seolah-olah katanya enggak berlaku sekarang, tapi dipaksakan dibahas di sekarang, ini kan rancu," ungkapnya.

Bila pemerintah pada akhirnya bersikukuh dengan menaikkan tarif PPN, tentu hal ini membuat masyarakat semakin sulit memenuhi kebutuhan pokok. Terlebih bagi mereka yang terdampak pandemi dan kehilangan pekerjaan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.