Sukses

Wamen ESDM: Gross Split Cocok untuk Blok Migas Eksplorasi

Wamen ESDM, Arcandra Tahar menilai, sejak diterapkan 2017, skema bagi hasil gross split telah membawa dampak positif terhadap perkembangan investasi migas di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar menegaskan, skema bagi hasil migas Gross Split juga menarik dalam kontrak kerja blok minyak dan gas bumi (migas) Wilayah Kerja (WK) Migas Eksplorasi. 

Arcandra pun menepis anggapan beberapa pihak menilai blok yang masih berstatus eksplorasi, dianggap memiliki risiko yang tinggi dan butuh investasi dengan dana besar, sehingga kontraktor masih membutuhkan kepastian penggantian biaya operasi (cost recovery) untuk mencari minyak dan gas bumi.

Arcandra mengatakan,  skema gross split tidak cocok untuk blok migas ekplorasi adalah sebuah kesalahan, karena sejauh ini sudah ada 14 blok migas yang laku menggunakan skema gross split.

"Sudah ada 14 blok yang laku karena menggunakan skema gross split, dan ini untuk blok eksplorasi," tutur Arcandra, dikutip Dari situation resmi Kementerian ESDM, di Jakarta, Kamis (18/4/2019).

Arcandra menuturkan, sejak diterapkan pada 2017, skema bagi hasil gross split telah membawa dampak positif terhadap perkembangan investasi migas di Indonesia.

Pemerintah optimistis tren positif hulu migas ini terus berlanjut dengan lakunya blok-blok migas yang ditawarkan, baik itu blok baru, maupun blok terminasi.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Wood Mackenzie Berikan Apresiasi

Lembaga konsultan energi global Wood Mackenzie dalam laporannya yang dirilis Januari 2019, juga memberikan apresiasi atas perubahan sistem kontrak bagi hasil migas dari cost recovery menjadi gross split. 

Menurut laporan Mackenzie, kebijakan fiskal yang diterapkan oleh sistem gross split dinilai positif terhadap investasi migas di Indonesia Sistem kontrak gross split pun mendapat sambutan yang positif dari para investor migas.

Arcandra juga menyinggung ada kesalahpahaman lain, anggapan jika kontraktor minyak besar tidak ada yang berminat terhadap gross split, gross split hanya diminati dan digunakan oleh kontraktor migas kecil.

"Ini ada yang mengatakan seperti itu, kalau saya bilang saat ini ENI yang mengelola Blok East Sepinggan telah beralih ke gross split, apa ada yang mengatakan kalau ENI itu perusahaan kecil?" tutur Arcandra.

Arcandra mengungkapkan, alasan kontraktor mengalihkan kontraknya menjadi gross split adalah mempertimbangkan keuntungan menggunakan skema gross split yakni, efisien, proses yang tidak berbelit-belit, sederhan dan lebih memiliki kepastian. Ini ditunjukkan dari parameter pembagian insentif jelas dan terukur.

"Karena alasan-alasan itu mereka mengalihkan kontraknya menjadi gross split," tandasnya.

 

 

3 dari 4 halaman

Bikin Daya Pikat Investasi Hulu Migas RI Naik

Sebelumnya, laporan Petroleum Economics and Policy Solution (PEPS) Global E&P Attractiveness Ranking menyebutkana bahwa daya saing ketertarikan berinvestasi pada sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia tahun 2018 nempati peringkat 25 dari 131 negara.

Wakil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, capaian ini membuktikan tata kelola sektor migas Indonesia membaik sehingga mampu memikat para investor.

"Penilaian yang diakui oleh lembaga riset global membuktikan pengelolaan sektor migas di Indonesia belakangan ini berhasil mendorong kembali geliat investasi migas. Ini tak lepas dari upaya perubahan kebijakan fiskal pada pengusahaan di sektor migas," kata Arcandra, di Jakarta, Jumat, 15 Februari 2019.

Dilansir dari laporan IHS Markit, lembaga penyedia informasi dan analisis global yang berpusat di London, Indonesia masuk dalam kategori negara yang mampu menggenjot aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas di tengah lesunya investasi hulu migas akibat fluktuasi perekonomian global. Indonesia mampu mengguli Aljazair, Rusia, Mesir yang dikenal sebagai negara eksportir minyak.

Berdasarkan laporan yang sama, Indonesia juga menduduki peringkat terbaik apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Bila dikomparasikan, Malaysia misalnya. Pada tahun 2017 menduduki peringkat ke-23, sekarang ini melorot ke posisi 35.

Peningkatan aktivitas ini tak lepas dari adanya perubahan sistem fiskal bagi hasil Gross Splityang diterapkan oleh Pemerintah untuk menggantikan rezim fiskal sebelumnya, yaitu cost recovery. Perubahan ini cukup membawa angin segar lantaran efisiensi dalam sistem gross splitmenggiurkan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas menggalakkan kegiatan eksplorasi dan ekploitasi.

"Salah satu daya tarik Gross Split bagi para pelaku usaha migas adalah sistem ini mampu melindungi investor di saat rendahnya harga komoditi minyak dunia," jelas Arcandra.

Pemerintah pun berhasil mengantongi dana eksplorasi dari penerapan sistem fiskal baru tersebut sebesar Rp 31,5 triliun. Angka tersebut belum ditambah dengan bonus tanda senilai Rp 13,5 triliun yang diperoleh dari 39 kontraktor yang menggunakan sistem gross split.

"Saya yakin perubahan fiskal ini sangat menjanjikan bagi perkembangan masa depan investasi migas di Indonesia," tutur Arcandra.

 

4 dari 4 halaman

Manajemen Risiko

Penilaian positif dari IHS Markit turut didukung manajemen risiko bisnis migas di Indonesia. Transformasi kebijakan berupa penyederhanaan regulasi mampu menjadi dasar utama dalam melakukan pengelolaan, perencanaan hingga mitigasi atas risiko berbisnis migas. Pemerintah Indonesia berhasil memangkas 56 regulasi/perizinan yang menghambat jalannya investasi migas di Indonesia.

"Sepertinya keberlangsungan operasi bisnis migas di Indonesia menjadi salah satu pertimbangan IHS Markit dalam menentukan pemeringkatan tersebut," ungkap Arcandra.

Tingginya komitmen Indonesia dalam mereformasi tata kelola migas dibuktikan dengan nilai investasi yang masuk pada 2018 di tengah tantangan harga komoditi global. Aliran investasi sebesar setara Rp 187,5 triliun masuk ke kas negara pada tahun lalu. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar USD 1,5 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu Rp 165 triliun.

PEPS menilai bagaimana suatu negara menyajikan informasi, strategi dan manajemen risiko terhadap pengembangan bisnis dan usaha baru di subsektor migas.

Selain itu, PEPS juga menganalisa data hukum, model kontrak, sistem fiskal, politik, dan kondisi hulu migas terkini di sebuah negara. Adapun tiga komponen yang menjadi penentu penilaian oleh IHS Markit antara lain aktivitas E&P, rezim fiskal dan risiko migas.‎

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini