Sukses

Kebijakan Diskon Cukai Tembakau Diniliai Berpotensi Rugikan Negara hingga Rp 2,6 T

Angka Rp 2,6 triliun itu didapat dari riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019.

Liputan6.com, Jakarta Aktivis antikorupsi Emerson Yuntho mengeritik Peraturan Direktur Bea dan Cukai Nomor 37/2017 tentang Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau.

Sebabnya, aturan ini mengizinkan pabrikan mematok harga rokok di bawah 85 persen dari harga jual eceran (HJE) minimum, asalkan dilakukan tidak lebih di 50 persen kantor wilayah pengawasan Bea dan Cukai.

"Aturan ini menyebabkan negara kehilangan potensi pendapatan berupa Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan)," kata Emerson lewat siaran pers diterima, Senin (22/6/2020).

Selain itu, lanjut Emerson, aturan ini juga lebih longgar ketimbang ketentuan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 146/2017 yang terus direvisi hingga PMK 152/2019. Pasalnya, pada aturan tingkat menteri tersebut, harga transaksi pasar rokok dibatasi minimum 85% dari HJE yang tertempel di pita cukainya.

"Jadi secara simulasi, akan ada potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok tahun 2020 akibat kebijakan diskon, termasuk ketentuan 50 persen kantor wilayah pengawasan Bea dan Cukai, mencapai Rp 2,6 T," jelas dia.

Emerson menjelaskan, bahwa angka Rp 2,6 triliun itu didapat dari riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019.

"Berdasarkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE. Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan sebesar Rp 1,73 triliun. Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1% HTP dan HJE pada segmen SKM dan SPM (sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau)," terang Emerson.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Tanggapan INDEF dan Kemenkeu

Senada dengan Emerson, Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad mengatakan, jika kebijakan diskon rokok tetap dipertahankan, maka potensi penerimaan negara berjumlah triliunan rupiah akan hilang.

"Peredaran rokok didiskon menyebabkan penerimaan PPh badan menjadi tidak optimal," kata dia dalam keterangan pers yang sama.

Karenanya, Tauhid mendorong agar kebijakan tersebut sebaiknya diatur ulang, bilamana pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh Badan.

"Maka ketentuan diskon rokok pada Perdirjen 37/2017 beserta ketentuan 50 persen kantor pengawasan Bea dan Cukai perlu dihilangkan," jelas dia.

Namun demikian, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani, menyatakan bahwa ketentuan HTP sebesar minimal 85 persen dari HJE pada PMK 152/2019 sesungguhnya tidak bertujuan untuk mendiskon rokok.

Pande meluruskan, bahwa penafsiran diskon rokok bukan terminologi yang tepat. Menurutnya, pengaturan tersebut adalah refleksi dan pertimbangan bahwa ada rantai proses produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya,

"Jadi pemerintah perlu mengatur harga HTP bisa di bawah HJE," beber Pande.

Kendati, Pande menerima masukan mengenai dasar toleransi 50% area pengawasan pada Perdirjen BC 37/2017. Karenanya dia menyatakan akan ada peninjauan apakah mekanisme ini masih berjalan tepat di lapangan atau diperlukan penyesuaian.

“Kami akan mempertimbangkan secara serius mengenai masukan atau aspirasi dari semua pihak mengenai kebijakan cukai tembakau, termasuk juga mengenai PMK Nomor 152/2019 maupun Perdirjen 37/2017,” dia menutup.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.