Sukses

Taliban - Politikus Afghanistan Gelar Pertemuan Langka di Moskow, Berdamai?

Sebuah pertemuan langka terjadi di Moskow, yang mempertemukan antara petinggi Taliban dan para politikus utama Afghanistan.

Liputan6.com, Moskow - Taliban memulai pertemuan yang jarang terjadi dengan para politikus utaam Afghanistan --termasuk di antaranya wanita-- pada Selasa 5 Februari di Moskow, di mana saingan Presiden Ashraf Ghani menyerukan pemerintahan sementara ketika mereka bernegosiasi tanpa dirinya.

Dalam pertemuan langka itu, Taliban menguraikan visi mereka untuk Afghanistan, termasuk di antaranya aturan seputar wanita dan adopsi konstitusi Islam, demikian sebagaimana dikutip dari The Straits Times pada Rabu (6/2/2019).

Menariknya, Taliban berinisiatif untuk memimpin doa dan jamuan makan siang dengan para pejabat tinggi Afghanistan --beberapa musuh bebuyutan--sebelum memulai agenda pembicaraan.

Perundingan di meja bundar itu, yang termasuk membahas hak-hak wanita Afghanistan, terjadi sepekan setelah pemberontak mengadakan pembicaraan dengan para perunding asal Amerika Serikat (AS) di Doha, Qatar, untuk mengakhiri perang 17 tahun.

Pembicaraan Doha dan Moskow, meskipun sepenuhnya terpisah, keduanya mengecualikan pemerintah di Kabul, di mana Ghani telah menyatakan kemarahannya karena semakin tersisih dari negosiasi perdamaian utama.

"Pertemuan di Rusia tidak lebih dari fantasi. Tidak ada yang bisa memutuskan tanpa persetujuan rakyat Afghanistan," kata Ghani kepada kantor berita lokal, TOLOnews, Selasa malam.

"Mereka yang berkumpul di Moskow tidak memiliki otoritas eksekutif. Mereka dapat mengatakan apa yang mereka inginkan," lanjutnya.

Tetapi banyak dari lawan utamanya --termasuk beberapa kandidat dari pemilu presiden Juli lalu-- hadir di ibukota Rusia, dan beberapa menyerukan pembentukan pemerintah sementara yang melibatkan Taliban.

"Pemerintah sementara juga harus membuka jalan bagi pemilu yang transparan," kata Atta Muhammad Noor, seorang mantan panglima perang yang berpengaruh, di Twitter.

"Ini dapat bertindak sebagai transisi di tengah situasi yang rapuh dan berantakan, serta meyakinkan para pemberontak untuk mengambil bagian dalam proses politik," tambahnya.

Konferensi itu, yang diselenggarakan oleh kelompok diaspora Afghanistan, disambut dengan sangat positif oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov.

Dia mengatakan dalam sebuah pernyataan, bahwa pertemuan itu akan memberi manfaat dalam penyusunan kerangka perdamaian di negara yang telah dihancurkan oleh kecamuk perang selama hampir dua dekade itu.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Taliban Tidak Ingin Monoli Kekuasaan, Tapi ....

Taliban, yang memerintah Afghanistan di bawah interpretasi hukum syariah antara 1996 dan 2001, mengatakan mereka tidak menginginkan "monopoli kekuasaan" tetapi "sistem Islam inklusif".

Namun, mereka sejauh ini menolak untuk terlibat dengan pemerintahan Ghani, meskipun ada tawaran untuk mengadakan pembicaraan. Alih-alih, kelompok tersebut menuding pemerintah Afghanistan saat ini tidak lebih dari boneka AS.

"Ada sesuatu yang tidak masuk akal tentang pertemuan politikus oposisi paling kuat di Afghanistan dengan Taliban, untuk memicu dialog intra-Afghanistan, namun tidak melibatkan pemerintah negara itu sendiri," kata analis Michael Kugelman dari Wilson Center di Washington kepada AFP.

Sementara itu, dalam sebuah momen sangat langka, Taliban mendengarkan dengan seksama ketika para wanita berbicara di meja bundar Moskow.

kelompok pemberontak itu, menurut para pengamat, mengindikasikan bahwa mereka dapat melonggarkan beberapa aturan seputar wanita yang sejalan dengan hukum syariah, dam bahkan meluas ke perwakilan kaum Hawa di parlemen.

Fawzia Koofi, salah satu dari dua wanita yang diundang ke Moskow, mengatakan militan Islam "harus beradaptasi dengan Afghanistan modern".

"Ketika mereka berkuasa, mereka bahkan tidak akan membiarkan wanita meninggalkan rumah mereka," kata Koofi, ketua Komite Parlemen Afghanistan untuk Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Manusia, kepada AFP.

"Tapi sekarang kita mendengar wanita bisa menjadi perdana menteri atau menteri. Itu perubahan saya pikir. Itu adalah langkah positif tetapi tidak cukup," tambahnya.

Sebagaimana diketahui, ketika memerintah, Taliban sangat membatasi kebebasan wanita, menghalangi mereka dari pekerjaan dan sekolah, dan mengurungnya di rumah mereka.

Wanita hanya diizinkan keluar jika mendapat pengawalan pria yang berlaian darah, atau yang sudah menikah, dan bersembunyi di balik burqa.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.