Sukses

Siap-Siap, Ketua MPR Sebut Inflasi Indonesia Bisa Sentuh 12 Persen

Inflasi dapat menjadi ancaman serius bagi pemulihan ekonomi nasional. Sebab, laju kenaikan inflasi disertai dengan lonjakan harga pangan dan energi yang akan membebani daya beli masyarakat, yang baru saja bangkit dari pademi Covid-19.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) meminta pemerintah waspada akan fenomena Hiperinflasi di 2022. Alasannya, ada prediksi yang menyebutkan angka inflasi Indonesia bisa tembus 12 persen pada September 2022.

"Pada September 2022, kita diprediksi akan menghadapi ancaman hiperinflasi, dengan angka inflasi pada kisaran 10 hingga 12 persen," katanya ujarnya dalam pembukaan sidang tahunan MPR RI di Jakarta, Selasa (16/8/2022).

Hiperinflasi ini disebabkan kenaikan harga minyak mentah dunia imbas ketegangan geopolitik dunia terutama perang antara Rusia dengan Ukraina.

Badan Pusat Statistik mencatat, bahwa per Juli 2022, laju inflasi Indonesia berada di level 4,94 persen secara tahunan (year on year/yoy). Sedangkan, pada bulan Agustus diprediksi akan meningkat pada kisaran 5 hingga 6 persen.

Bamsoet melanjutkan, inflasi dapat menjadi ancaman serius bagi pemulihan ekonomi nasional. Sebab, laju kenaikan inflasi disertai dengan lonjakan harga pangan dan energi yang akan membebani daya beli masyarakat, yang baru saja bangkit dari pademi Covid-19.

Bamsoet mencatat, lonjakan harga minyak dunia pada awal April 2022 mencapai USD 98 per barel. Angka ini jauh melebihi asumsi APBN 2022 sebesar USD 63 per barel.

Menurutnya, kenaikan harga minyak yang terlalu tinggi, tentunya akan menyulitkan Indonesia dalam mengupayakan tambahan subsidi, untuk meredam tekanan inflasi. Alhasil, beban subsidi pemerintah untuk BBM, Pertalite, Solar, dan LPG, sudah mencapai Rp 502 triliun.

"Tidak ada negara yang memberikan subsidi sebesar itu," ujarnya.

Untuk itu, kondisi fiskal dan moneter Indonesia perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Hal ini guna menghadapi potensi krisis global.

Di sektor fiskal, tantangan yang harus dihadapi adalah normalisasi defisit anggaran, menjaga proporsi utang luar negeri terhadap Produk Domestik Bruto, dan keberlanjutan pembiayaan infrastruktur.

Dari segi moneter, tantangan terbesar adalah mengendalikan laju inflasi, menjaga cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sri Mulyani: Yang Perlu Kita Waspadai Inflasi

Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan pemerintah perlu mewaspadai kenaikan inflasi di dalam negeri. Utamanya inflasi yang didorong kenaikan harga pangan dan harga energi yang ditetapkan pemerintah.

"Yang perlu kita waspadai dari Indonesia adalah inflasi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers, APBN KiTa, Jakarta Pusat, Kamis (11/8).

Bendahara negara ini menuturkan saat ini inflasi yang disebabkan harga pangan telah mencapai 11,5 persen. Padahal dari sisi fiskal, pemerintah telah berupaya untuk menekan laju inflasi pangan.

"Melalui kebijakan subsidi dan juga dari sisi makanan dilakukan langkah-langkah dari pemerintah untuk mengamankan sektor pangan," kata dia.

Sementara itu inflasi dari harga yang telah ditetapkan pemerintah tidak bisa lagi dikendalikan. Meskipun harga BBM pertalite, solar, LPG 3 kilogram dan listrik masih ditahan, namun hal ini tidak bisa menghindarkan terjadinya kenaikan inflasi.

Sektor transportasi seperti tiket pesawat tetap mengalami kenaikan. "Sehingga ini terlihat dari inflasi pada sisi administered price di 6,5 persen," kata dia.

 

3 dari 3 halaman

Inflasi Energi

Lebih lanjut dia menjelaskan, inflasi di sektor energi ini berdampak pada beberapa barang yang tarifnya diatur pemerintah. Pemerintah pun telah menggelontorkan anggaran hingga Rp 502,4 triliun untuk membayar subsidi dan kompensasi energi tahun ini.

Namun tetap saja pemerintah masih kewalahan meredam lonjakan harga global agar tidak berdampak ke tingkat masyarakat.

"(Inflasi dari) energi kemudian diterjemahkan dalam beberapa barang-barang yang diatur tarifnya oleh pemerintah atau harganya, namun tidak semuanya bisa kita tahan," kata dia.

Di sisi lain, inflasi inti yang per Juli 2022 berada di level 2,9 persen. Hal ini menunjukan adanya tren pemulihan ekonomi yang semakin kuat dari permintaan. Tercermin dari konsumsi dan kinerja ekspor yang meningkat, termasuk investasi mengalami tren pemulihan.

"Inilah yang jadi perhatian Bank Indonesia terutama pada pengelolaan inflasi di Indonesia. Faktor-faktor yang mengkontribusi atau memberikan sumbangan terhadap inflasi dan respons kebijakan, terutama dari sisi moneter," tuturnya.

 Reporter: Sulaeman

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.