Sukses

Peristiwa 7 Mei: 75 Tahun Disahkannya Perjanjian Roem Royen

Dari perundingan tersebut keluarlah hasil yang selanjutnya dikenal sebagai Perjanjian Roem-Royen.

Liputan6.com, Yogyakarta - Pada 7 Mei 1949, Perjanjian Roem Royen atau Roem-Royen Statemen resmi disahkan. Ini merupakan hasil dari perundingan Indonesia dengan Belanda di Hotel Des Indes Jakarta yang berlangsung pada 14-24 April 1949.

Perundingan itu dihadiri oleh masing-masing ketua delegasi, yaitu Muhammad Roem dan Van Royen. Mengutip dari laman Ensiklopedia Sejarah Indonesia Kemdikbud, terselanggaranya perundingan Roem-Royen tak lepas dari perkembangan situasi di Indonesia, terutama setelah keberhasilan Serangan Umum 1 Maret 1949. Peristiwa itu mampu meyakinkan dunia bahwa Indonesia masih ada.

Pada 10 Maret 1949, Dewan Keamanan PBB yang dimotori Amerika Serikat mengambil langkah untuk menekan Belanda dengan ancaman tidak dilanjutkannya program Marshall Plan. Pada 23 Maret 1949, DK PBB secara resmi mengeluarkan rulling atau keputusan yang menyatakan agar segera dilaksanakan dan dipatuhi Resolusi Dewan Kemanan PBB yang telah dikeluarkan pada 28 Januari 1949. Resolusi itu berisi pembebasan semua tahanan politik dan pengembalian pemerintah Indonesia ke Yogyakarta.

DK PBB juga meminta agar konferensi yang dilaksanakan di Den Haag segera diselenggarakan Agar rulling terlaksana. DK PBB pun memberikan mandat kepada UNCI (United Nation Commissionis for Indonesia) untuk segera melaksanakannya.

Pada 25 Maret 1949, UNCI mengirim undangan kepada pihak Indonesia dan Belanda untuk ikut serta dalam Konferensi di Jakarta yang diadakan di bawah pengawasan PBB. Belanda bersedia mengikuti konferensi tersebut dan menunjuk Dr. Jan Herman Van Royen sebagai pemimpin delegasi.

Sementara itu, secara resmi pemimpin RI menolak melakukan perundingan dengan Belanda selama anggota pemerintahannya masih berada dalam pengasingan. Penolakan itu juga didasarkan pada belum dipulihkannya daerah kekuasaan RI di Yogyakarta.

Namun pada 28 Maret 1949, UNCI yang menemui pemimpin-pemimpin Indonesia di Bangka mendapat jawaban dari Hatta. Secara pribadi, Hatta menerima undangan tersebut.

Dengan jaminan dari UNCI bahwa keputusan yang dihasilkan dalam pertemuan tersebut tidak mengikat sebelum ada kejelasan kedudukan RI, maka Hatta menyatakan bahwa RI akan ikut dalam perundingan tersebut. Hatta pun menunjuk Mr. Mohammad Roem sebagai wakil dari pemimpin-pemimpin RI di Bangka.

Pada 2 April 1949, Roem mengirim surat kepada UNCI yang menyatakan kesediannya mengikuti pertemuan di Jakarta. Selanjutnya, secara resmi pertemuan di Jakarta pun berlangsung pada 14-24 April 1949 di Hotel Des Indes Jakarta.

Saat itu, rombongan delegasi Belanda tiba di Jakarta pada 12 April 1949 yang dipimpin Dr. Van Royen. Adapun anggota-anggotanya adalah Mr. N.S. Bloom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. Van der Velde, dan empat orang penasihat.

Pada 15 April 1949, rombongan delegasi RI tiba di Jakarta dari Bangka dengan ketua delegasi Mr. Mohammad Roem dan wakil ketua Mr. Ali Sastroamidjojo. Adapun anggota-anggota adalah dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Soepomo, Mr. Latuharhary, Mr. Gaffar Pringgodigdo, beserta lima orang penasihat.

Dari perundingan tersebut keluarlah hasil yang selanjutnya dikenal sebagai Perjanjian Roem-Royen. Perjanjian itu ditandatangani pada 7 Mei 1949.

Adapun isi perjanjian Roem-Royen merupakan pernyataan damai dari kedua belah pihak.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Muatan

Perjanjian Roem-Royen memuat tentang:

1. Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan:

- Mengeluarkan perintah kepada 'pengikut Republik yang bersenjata' untuk menghentikan perang gerilya.

- Bekerjasama mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.

- Turut serta dalam KMB di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat 'penyerahan' kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.

2. Delegasi Belanda menyatakan kesediaan:

- Menyetujui kembalinya Pemerintahan RI ke Yogyakarta.

- Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik.

- Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik.

- Menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari NIS (Negara Indonesia Serikat).  

- Berusaha dengan sesungguh-sugguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.

 

Penulis: Resla

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.