Sukses

Pangkas Kesenjangan Buku, Mulai dari Subsidi Silang hingga Terjunkan Pustakawan ke Daerah

Liputan6.com, Jakarta - Pandangan yang menyebut minat baca orang Indonesia rendah tidak melulu benar. Pasalnya saat pustakawan menggelar koleksi buku, anak-anak remaja dan usia dini sangat antusias membaca buku. Hal itu yang diutarakan Nadia Amelia, pustakawan asal Semarang yang kini bertugas di Kemenkes RI. Menurut Nadia, bukan minat baca orang Indonesia yang rendah tapi kesenjangan buku antara anak-anak di kota dan desa yang masih sangat timpang.

Anak-anak di pelosok desa merasa kesulitan mendapatkan buku, jika terpaksa harus membeli ke kota harganya sangat mahal dan tidak terjangkau. Untuk itu, kata Nadia, perlu dukungan nyata dari pemetintah agar bisa menyediakan beragam koleksi buku bacaan untuk anak-anak di pedesaan, termasuk mereka yang ada di pelosok.

"Pemerintah perlu membuat terobosan, misal bekerja sama dengan penerbitan untuk membuat subsidi silang, agar masyarakat yang tidak mampu, masyarakat yang ada di pelosok desa bisa diberikan harga buku yang terjangkau atau bahkan gratis, sehingga seluruh kalangan bisa memperoleh kesempatan membaca buku," kata Nadia.

Berkembangnya dunia teknologi informasi yang memungkinkan seseorang mengakses buku secara digital menggunakan gawai, menjadi tantangan selanjutnya bagi pustakawan. Hal paling mendasar yang perlu dilakukan untuk menjawab tantangan ini, menurut Nadia, pemerintah harus massif membangun infrastruktur perpustakaan secara fisik maupun digital di pedesaan.

Setelah itu, terjunkan pustakawan berkualitas di daerah-daerah untuk menjadi pembina yang mengarahkan masyarakat menemukan kunci-kunci informasi dari buku dan bahan bacaan, demi menjawab dan mencari solusi dari permasalahan sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat.

Nadia Amelia sangat mewanti-wanti pentingnya membangun budaya baca di tengah masyarakat. Mengingat masyarakat yang tidak terbangun budaya bacanya, akan tertinggal secara ekonomi dan budaya. Orang yang tidak memiliki akses atau minat baca cenderung memiliki keterbatasan informasi dan pengetahuan, sehingga mereka sulit mengembangkan keterampilan dan kompetensi diri.

"Tentu mereka akan tertinggal dibandingkan dengan orang yang punya budaya baca dan mencari informasi. Jika itu tidak dicarikan solusi maka akan terjadi ketimpangan ekonomi," kata Nadia.

Menurut Nadia, keluarga menjadi titik sentral dalam membangun budaya baca. Orangtua, khususnya ayah dan ibu, perlu menjadi contoh kepada anak-anaknya supaya gerakan suka membaca itu muncul sedari kecil di dalam rumah. Sehingga ketika masuk usia sekolah, budaya membaca itu sudah terbangun pondasinya tinggal dipupuk dan dibina, supaya proses membaca itu benar-benar menjadi tradisi literasi yang memberikan dampak pada pembangunan sosial ekonomi yang mendatangkan kesejahteraan.

"Penting punya pojok baca di rumah yang berisi koleksi buku disesuaikan dengan usia anak, mulai dari dalam kandungan, seorang ibu mulai membacakan cerita untuk janin, dilanjutkan saat anak sudah lahir, rutin dijadwalkan setiap hari minimal 30 menit membacakan cerita untuk anak, sampai berlanjut saat anak sudah bisa membaca sendiri, dijadwalkan rutin setiap hari," kata Nadia.

Dengan adanya kebiasaan yang sudah rutin dibangun di rumah, akan terbawa kebiasaan tersebut hingga usia dewasa sehingga dapat meningkatkan kegemaran membaca masyarakat. Pemerintah tingkat desa dan kelurahan, juga perlu andil membangun budaya baca masyarakatnya dari lingkungan yang paling kecil, yaitu RT RW, dengan misalnya menggelar lomba membaca cerita untuk anak yang pesertanya adalah para orangtua, atau perkombangan pojok baca di dalam rumah. Meski terdengar sepele, upaya-upaya ini akan berdampak sangat efektif bagi pengembangan budaya baca di tengah-tengah masyarakat.

"Ini bisa jadi motivasi bagi para orangtua untuk membudayakan gerakan membaca untuk anak-anaknya di rumah," katanya.

Meski begitu, budaya baca yang sudah terbangun ini akan menjadi sia-sia tanpa dukungan penuh dari pemerintah menyediakan infrastruktur perbukuan dan sumber informasi. Hal ini penting dilakukan pemerintah, selain juga sebagai upaya memangkas kesenjangan buku di pedesaan, terutama di daerah terpencil yang sulit dijangkau.

"Perlu adanya pasokan buku sampai di perpustakaan desa maupun Taman Bacaan Masyarakat. Pemerintah perlu menganggarkan anggaran yang lebih besar untuk pengadaan buku-buku sampai ke pelosok daerah, pemerintah perlu membangun dan meningkatkan infrastruktur perpustakaan di daerah terpencil, seperti pembangunan perpustakaan desa, perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum," katanya.

Pemanfaatan teknologi informasi menjadi hal mutlak yang tidak bisa dinegasikan, karena pemerintah perlu memastikan ketersediaan koleksi dan kemudahan akses untuk masyarakat, misal dengan memperluas akses terhadap buku-buku digital, melalui platform daring atau aplikasi mobile, buku-buku elektronik dapat diakses secara mudah dan terjangkau di daerah yang sulit dijangkau oleh perpustakaan fisik. Ini perlu juga didukung oleh tenaga pustakawan yang mumpuni.

Bahkan yang lebih mendesak, kata Nadia, pustakawan harus melakukan pendampingan dalam memberikan layanan literasi informasi kepada masyarakat. Artinya masyarakat tidak cuma mendapat layanan peminjaman buku tapi pustakawan ikut terjun langsung membina masyarakat mempraktikkan apa yang telah dibacanya sebagai solusi permasalahan yang ada.

"Sehingga dari proses menerima informasi itu masyarakat dapat menghasilkan suatu produk yang dapat memberikan manfaat untuknya maupun untuk orang lain, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat sendiri," katanya.

Sebagai satu dari 15 Pustakawan Berprestasi Nasional 2023 Perpusnas, Nadia juga telah melakukan beragam inovasi untuk menumbuhkan budaya baca dan literasi di tengah masyarakat. Mulai dari hal yang umum, mulai dari memberikan edukasi kesehatan anak-anak dan lansia di desa binaan. Hingga yang paling serius, yaitu dengan membangun repositori institusi, memasukkan koleksi yang diterbitkan dari institusi ke dalam format digital, sehingga dapat diakses secara online oleh masyarakat luas.

"Ini terintegrasi dalam KINK (Katalog Induk Nasional Kesehatan). KINK merupakan suatu portal kumpulan katalog dan repositori perpustakaan di lingkungan Kementerian Kesehatan RI yang terintegrasi dengan Indonesia Onesearch. KINK dapat diakses melalui alamat Kink.Kemkes.id," katanya.

Nadia juga mendirikan Kids Corner pada 2016, yaitu perpus kecil yang berisi koleksi buku untuk anak dengan tujuan meningkatkan minat baca anak dan edukasi kesehatan kepada anak sedari kecil. Kids corner hasil inisiasinya kemudian direplikasi oleh Perpustakaan Biro Komunikasi dan pelayanan Publik Kemenkes, Perpustakaan Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kemenkes, dan di Poltekkes Kemenkes.

"Karena saya bekerja di perpustakaan unit eselon I di Kementerian Kesehatan RI, jadi saya juga punya peran dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia," katanya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Inovasi Edukasi

Edukasi yang diberikan Nadia tak hanya sebatas sampai di situ. Melalui kegiatan Story Telling, Nadia rutin memberikan edukasi kepada anak-anak membahas tema-tema kesehatan dan penanganan profesi tenaga kesehatan.

"Kami juga bekerjasama dengan Poliklinik Ditjen Nakes untuk pemeriksaan Kesehatan gigi bagi anak-anak PAUD tersebut, memberikan edukasi Kesehatan gigi anak melalui seminar untuk karyawan, guru dan orang tua anak-anak PAUD Bina Bangsa dan juga pemeriksaan Kesehatan untuk orang tua PAUD Bina Bangsa," katanya.

Inovasi edukasi kesehatan yang dilakukan memiliki impak yang luar biasa kepada anak-anak. Para anak karyawan dan anak-anak yang mendapat edukasi kini lebih suka makan makanan yang sehat, seperi sayura dan buah. Lebih memperhatikan kesehatan gigi dan selalu sikat gigi secara teratur, menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan.

"Itu yang disampaikan para orangtua PAUD Bina Bangsa dalam testimoni yang pernah kami minta," katanya.

Kegiatan Story Telling sempat terhenti saat pandemi melanda Indonesia. Nadia kemudian tidak berdiam diri menerima keadaan. Dia memindahkan Story Telling ke dalam ruang Zoom. Lalu membuat perlombaan membaca cerita dengan tema kesehatan untuk anak-anak dan diunggah di Facebook perpustakaan Ditjen Nakes, serta membuat lomba membuat cerita anak dengan tema kesehatan yang nantinya dibukukan.

"Kami juga membuat perpustakaan kami menjadi maker space, yaitu ruang untuk membuat suatu produk. Kami mengadakan kegiatan keterampilan yang bertujuan meningkatkan keterampilan bagi karyawan dan juga masyarakat di sekitar instansi," katanya.

Di Maker Space, saat pandemi, Nadia berhasil membuat masker, dompet, dan kerajinan tangan dengan teknik decoupage dan membuat boneka tangan dengan tema profesi tenaga kesehatan. Hasilnya bisa dimanfaatkan sendiri bisa juga dijual secara onliner maupun offline melalui koperasi Ditjen Nakes.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.