Sukses

Koperasi IAIN Cirebon Kelimpungan Migrasi ke Sistem Digital

Tercatat ada delapan koperasi di Cirebon yang sudah menerapkan sistem digital dengan memanfaatkan teknologi finansial untuk memudahkan transaksi.

Liputan6.com, Cirebon - Peran koperasi dalam menopang ekonomi kerakyatan di Cirebon masih dianggap sangat penting. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, koperasi dituntut menyesuaikan diri.

Era digital menjadi tantangan berat bagi sejumlah koperasi di Cirebon yang masih mengandalkan sistem manual. Tidak mudah untuk migrasi atau pindah ke sistem digital yang serba cepat.

Mereka harus melewati masa transisi yang tidak sebentar untuk menggunakan sistem digital. Seperti yang dialami Koperasi Harapan Sejahteran IAIN Syekh Nurjati Cirebon.

Koperasi kampus tersebut mulai menggunakan sistem digital sejak tahun 2011. Ketua Koperasi Harapan Sejahtera IAIN Syekh Nurjati Cirebon Edy Candra mengatakan, tidak mudah untuk transisi ke digital.

"Kan harus pindahkan data dan pekerjaan itu butuh waktu tiga sampai enam bulan. Secara keseluruhan waktu yang kami perlukan untuk migrasi ke digital sekitar satu tahun," kata Edy belum lama ini.

Edy menyebutkan, Koperasi Harapan Sejahtera IAIN Syekh Nurjati berdiri tahun 1990. Selama beroperasi, Koperasi Harapan Sejahtera IAIN Syekh Nurjati Cirebon menggunakan cara manual.

Edy mengaku sempat kelimpungan saat memutuskan untuk melakukan digitalisasi koperasi. Data anggota koperasi yang semakin bertambah beserta riwayat transaksi mereka harus dimigrasi ke sistem digital.

"Banyak kendala dan kami sendiri untuk migrasi data ke digital butuh tiga sampai enam bulan. Mulai stabil setelah satu tahun masa transisi," kata dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Edukasi Anggota

Edy mengaku, masih ada anggota koperasinya yang belum melek digital. Meski dalam proses melakukan pinjaman sudah bisa ditransfer ke rekening bank, anggota koperasi Harapan Sejahtera IAIN Syekh Nurjati masih ada yang datang ke kantor koperasi untuk menyelesaikan transaksinya.

"Mungkin mereka lebih nyaman ketika pegang uang tunai kali ya. Bisa jadi sekaligus silaturahmi dan kita selalu beri edukasi soal digitalnya," ujar dia.

Koperasi yang dipimpin Edy sempat bekerja sama dengan perusahaan aplikasi bernama Jaringan Online Koperasi Nasional (JOKN). Namun, pada tahun 2019 lalu, kerja sama mereka sudah selesai.

Saat ini, koperasi pimpinan Edy bekerjasama dengan Jawa Barat dan menggunakan aplikasi buatan Pemprov Jabar. Edy beserta anggota lainnya kerap mendapat pelatihan yang digelar Pemprov Jabar.

"Sekarang pakai aplikasi baru dari Pemprov Jabar namanya Smart Kop," ujar dia.

Dia mengatakan, sebagian besar anggota koperasi yang meminjam uang untuk keperluan konsumtif, pendidikan hingga modal usaha. Bahkan, ada anggota koperasi yang meminjam uang untuk membeli ponsel.

Selain itu, Koperasi IAIN Syekh Nurjati Cirebon sudah bekerjasama dengan beberapa perbankan syariah untuk memudahkan anggotanya dalam bertransaksi.

"Saya rasa sama ya kemudahan yang didapat anggota ketika koperasi sudah menerapkan sistem digital. Mulai dari cek saldo transaksi antarbank dan koperasi sampai isi pulsa bahkan isi saldo Gopay, OVO, dan Dana mungkin," ujar dia.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengatakan badan hukum usaha fintech bisa berbentuk koperasi. Namun, dalam kegiatan usahanya, fintech lending berada dalam pengawasan OJK.

Dia menegaskan, tidak ada perlakuan khusus bagi instansi yang akan melakukan kegiatan usaha Fintech. Sesuai POJK nomor 77 tahun 2016, kegiatan usaha Fintech harus melalui beberapa tahapan yang diatur OJK.

"Ada syarat seperti bagaimananya pengurusnya, permodalannya dan kantor harus jelas tunduk pada peraturan OJK. Tapi soal izin badan usaha boleh koperasi boleh PT ya," kata Tongam.

Dia menyebutkan, dari catatan OJK, ada 164 fintech lending yang legal. Sementara itu sebanyak 1.898 fintech dinyatakan ilegal dan sudah diberi tindakan.

Menurut dia, keberadaan fintech lending legal menjadi alternatif pembiayaan masyarakat yang tidak bisa diakses di sektor keuangan formal seperti perbankan, dan perusahaan pembiayaan lain.

Dia menyebutkan, jumlah nasabah fintech lending yang terdaftar OJK sudah mencapai 17 juta orang. Sementara itu dana yang disalurkan sudah mencapai Rp 12 triliun.

"Masalah yang terjadi saat ini banyak yang dirugikan fintech ilegal. Kami sudah memblokir kerja sama Kemenkominfo tapi mereka muncul lagi dengan nama berbeda," ujar dia.

Saksikan video pilihan berikut ini: 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.