Sukses

HEADLINE: MA Sunat Hukuman Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun Bui, Preseden Buruk Pemberantasan Korupsi?

MA juga meringankan vonis pidana tambahan terhadap Edhy. MA menjatuhkan pidana tambahan terhadap Edhy berupa pencabutan hak politik Edhy selama 2 tahun dari awalnya 3 tahun.

Liputan6.com, Jakarta Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mendapatkan keringanan hukuman dari Mahkamah Agung (MA) terkait kasus korupsi benih lobster. Yang bersangkutan tak jadi dibui sembilan tahun, tapi tetap sesuai hukuman awal hakim yaitu 5 tahun penjara. 

Diketahui, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis terhadap Edhy, dengan menjatuhkan pidana penjara selama sembilan tahun penjara. Vonis ini lebih berat dari vonis Pengadilan Tipikor yang menghukum Edhy lima tahun penjara.

Selain meringankan vonis Edhy, MA juga meringankan vonis pidana tambahan terhadap Edhy. MA menjatuhkan pidana tambahan terhadap Edhy berupa pencabutan hak politik Edhy selama 2 tahun dari awalnya 3 tahun.

Hakim MA yang memutus perkara ini yakni Sofyan Sitompul, Gazalba Saleh, dan Sinintha Yuliansih Sibarani dengan panitera pengganti Agustina Dyah. Putusan ini dibacakan pada Senin, 7 Maret 2022.

Melihat jejaknya, salah satu perkara yang pernah ditangani oleh Sofyan Sitompul adalah menolak kasasi yang dilayangkan jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait vonis bebas Sofyan Basir. Putusan ini menguatkan vonis Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat yang menyebut Sofyan Basir tidak terbukti terlibat membantu melakukan tindak pidana suap terkait kesepakatan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1).

Sementara, hakim Sinintha Yuliansih Sibarani pernah terlibat dalam putusan yang menolak kasasi yang diajukan KPK dalam perkara korupsi terkait penerimaan suap oleh mantan Sekretaris MA Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono. Dengan ditolaknya kasasi tersebut, maka baik Nurhadi maupun Rezky tidak dibebankan uang pengganti sebagaimana yang diminta oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK.

Untuk hakim Gazalba Saleh, pernah terlibat putusan membebaskan sebuah perusahaan berinisial KS dari tuntutan ganti rugi sebesar Rp 935 miliar terkait terbakarnya hutan di Kalimantan Tengah dengan alasan, perusahaan sudah memasang plang peringatan dilarang membakar lahan.

Adapun pertimbangan tiga hakim MA yang memotong vonis Edhy itu lantaran menganggap vonis 9 tahun PT DKI tak mempertimbangkan hal yang meringankan terhadap Edhy Prabowo. Salah satunya saat menjadi menteri telah bekerja dengan baik dan memberi harapan yang besar kepada masyarakat, khususnya nelayan.

Yang menjadi dasar MA adalah Edhy melahirkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan di Wilayah Indonesia, Di mana peraturan tersebut bertujuan dengan adanya semangat memanfaatkan benih lobster untuk kesejahteraan masyarakat, dengan ingin memberdayakan nelayan dan juga untuk pembudidayaan karena lobster di Indonesia sangat besar.

Padahal saat aturan tersebut, ramai yang mengkritiknya, bahkan tak sedikit yang memintanya untuk dicabut.

Koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohd Abdi Suhufan memandang, justru keberadaan tersebut tak membuat untung para nelayan.

"Tidak menguntungkan nelayan dan tidak menguntungkan negara. Permen tersebut justru kontra produktif bagi nelayan karena mengizinkan ekspor benih lobster sehingga kegiatan budidaya lobster tidak berkembang," kata Abdi kepada Liputan6.com, Kamis (10/3/2022).

Selain itu, dia memandang, keberadaan peraturan tersebut justu berakibat pengambilan benih lobster besar-besaran di alam untuk di ekspor

"Kebijakan tersebut justru memunculkan perusahaan-perusahaan baru bidang budidaya, yang seakan-akan mau budidaya lobster tapi justru memburu kuota ekspor benih. Hal tersebut yang membuat Pak EP terjebak pada praktik korupsi," tutur Abdi.

Setali tiga uang, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati menyebut bahwa alasan MA melakukan pemotongan masa hukuman tersebut merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan fakta korupsi yang dilakukan Edhy.

Susan mengatakan bahwa argumentasi MA yang mengatakan bahwa Edhy Prabowo bekerja dengan baik merupakan satu kekeliruan dan tak mendasar.

"Jika Edhy Prabowo bekerja dengan baik, mengapa beliau ditangkap KPK dengan kasus korupsi penerimaan suap? Faktanya Edhy pelaku korupsi penerimaan suap dan nihil prestasi selama menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (10/3/2022).

KIARA mencatat bahwa Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pernah mengingatkan dalam kebijakan pemberian izin ekspor lobster ini terdapat banyak potensi kecurangan. Bahkan, ORI menyebut bahwa izin ekspor benih lobster itu bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.

Sayangnya, Edh tidak mendengarkan penilaian tersebut. ORI terbukti benar karena beberapa bulan kemudian Edhy ditangkap KPK akibat kebijakan tersebut.

Bahkan, pasca disahkannya aturan tersebut, berbagai elemen hingga nelayan tradisional telah mengingatkan Edhy terkait Permen tersebut. Tidak hanya sebatas mengingatkan, KIARA dan nelayan tradisional bahkan melakukan aksi pada Juli 2020 di KKP untuk mencabut aturan itu, namun tak dapat tanggapan.

"Hal ini menunjukkan bahwa MA telah keliru menyatakan Edhy Prabowo telah bekerja dengan baik dan perbuatan terdakwa untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil. Faktanya nelayan menyatakan penolakannya terhadap kebijakan khususnya ekspor lobster yang telah dikeluarkan Edhy. Apakah hakim Mahkamah Agung tidak melihat fakta-fakta yang telahdisampaikan oleh publik dan mengevaluasinya dalam konteks kasus ini?," kata Susan.

"Edhy Prabowo adalah pelaku korupsi yang memanfaatkan jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk membuat kebijakan dan meraup untung secara melawan hukum. Korupsi oleh pejabat strategis merupakan extra ordinary crime. Seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada tersangka dipertahankan atau malah ditambah, bukan didiskon dan diberi keringanan," sambungnya.

Susan juga menyebut, dari 60.000 ekor benih, negara hanya mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp15.000,-. Sementara dari 37.500 ekor benih, hanyamendapatkan PNBP sebesar Rp9.375,-.

"Meningkatnya volume ekspor benih lobster terbukti tidak memberikan keuntungan bagi negara dan juga nelayan pembudidaya lobster tradisional yang bersifat jangka panjang" kata dia.

Susan juga menyebut, realita di lapangan, nelayan dan perempuan nelayan pembudidaya lobster hanya dijadikan alat untuk memuluskan langkah perusahaan untukmelengkapi persyaratan administrasi.

"Perusahaan eksportir membeli lobster ukuran konsumsi untuk dipindahkan ke keramba jaring apung milik perusahaan dan diklaim sebagai keberhasilan dalam budidaya. Perusahaan membeli lobster berukuran di atas 50 gram dari pembudidaya untuk dilepasliarkan di alam dan diklaim sebagai keberhasilan panen," kata dia.

 

Tidak Masuk Akal

Sementara itu, Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai keputusan terhadap Edhy Prabowo memang wewenang dari MA, yang bisa saja sepakat dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta atau tidak.

Namun, dia mengingatkan, pejabat publik seperti Edhy Prabowo mempunyai kewajiban melayani masyarakat. "Kalau dia korupsi, menurut saya itu penghianatan terhadap tugas dan kewajibannya," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (10/3/2022).

Karena itu jika melihat putusan MA yang menyebut Edhy baik, Fickar melihat hal tersebut aneh. "Karena seharusnya, kalau dia baik dia enggak akan korupsi. Nah ini kan terjadi, dia korupsi. Itu artinya jabatan sebagai menteri itu justru harus menjadi faktor yang memberatkan bukan meringankan. Sehingga tidak bisa dijadikan alasan meringankan hukuman," ungkap dia.

Karena itu, meski menyadari hakim MA mempunyai kebebasan untuk memberikan putusan, tetapi jika dilihat secara umum akan tugas dan pejabat publik, jelas putusan terhadap Edhy absurd.

"Apa dasarnya? Ya kalau dia baik ketika menjabat, dia tidak akan korupsi. Jadi itu pertimbangan yang mengada-ada, bahkan menjadi enggak masuk akal. Apalagi masa pandemi, karena itu enggak masuk akal, hukuman dikurangkan dengan alasan kinerja baik waktu jadi menteri, salah kaprah," kata Fickar.

Meski demikian, ini juga kritik buat KPK. Pasalnya, hanya menutut lima tahun bukan maksimal. Sehingga, sulit untuk lembaga antirasuah tersebut melakukan PK.

"Artinya, tindak pidana yang hukumannya tinggi harus dituntut maksimal. Ini kan maksimal tuntutan 20 tahun, seharusnya maksimal KPK menuntutnya. Ini saya kira koreksi juga bagi KPK," ungkap Fickar.

Senada, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari melihat usai tak ada lagi Almarhum Artidjo Alkostar di tubuh MA, mulai terlihat adanya pelemahan pada korupsi, dan bisa dirasakan di kasus Edhy Prabowo ini.

"Saya merasa tidak masuk akal saja alasan sudah bekerja baik, padahal sudah kita ketahui bahwa penyelenggara negara yang lakukan korupsi biasanya menyimpangkan pekerjaannya," kata Feri kepada Liputan6.com, Kamis (10/3/2022).

Menurut dia, bagaimana mungkin seorang dinyatakan koruptor diberi alasan berkinerja baik dan mendapat sanksi ringan.

"Ini selalu menjadi catatan penting MA selepas Pak Artidjo dan sulit MA berbenah, jika semangat pemberantasan koripsi tidak terwakilkan dalam putusan-putusannya," kata Feri. 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sikap KPK dan KY

Pelaksana Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, pihaknya menghormati setiap putusan peradilan, termasuk  putusan Kasasi MA terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Meski demikian, dia mengingatkan pemberantasan korupsi butuh komitmen kuat seluruh elemen masyarakat. Terlebih tentu komitmen dari penegak hukum itu sendiri.

"Korupsi sebagai musuh bersama dan kejahatan luar biasa, maka cara-cara pemberantasannya pun dilakukan dengan cara yang luar biasa," kata Ali, Kamis (10/3/2022).

Menurut dia, satu diantaranya tentu bisa melalui putusan yang mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan juga mampu memberi efek jera untuk mencegah perbuatan serupa kembali terulang.

"Karena pemberian efek jera merupakan salah satu esensi penegakkan hukum tindak pidana korupsi, yang bisa berupa besarnya putusan pidana pokok atau badan, serta pidana tambahan seperti uang pengganti ataupun pencabutan hak politik," ungkap Ali.

"Oleh karenanya, putusan Majelis Hakim seyogyanya juga mempertimbangkan hakikat pemberantasan korupsi sebagai extra ordinary crime," sambungnya.

Sementara, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY), Miko Ginting mengatakan, pihaknya baru mendapatkan informasi mengenai perkara itu melalui pemberitaan media.

"Sehingga akan mempelajari lebih dulu, baru kemudian memutuskan akan mengambil sikap seperti apa," kata Miko kepada Liputan6.com, Kamis (10/3/2022).

Meski demikian, dia mengingatkan koridor kewenangan KY adalah dalam hal menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

"Sepanjang ditemukan dugaan pelanggaran perilaku, maka KY bisa menindaklanjuti. Kewenangan lain yang bisa dilakukan KY adalah melakukan analisis terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap," kata Miko.

 

3 dari 3 halaman

Istana dan Politikus

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin mengatakan, apapun yang telah diputuskan MA, itu adalah hak dan independen lembaga tersebut.

Menurut dia, wajar jika Edhy Prabowo dinilai baik dan memberikan harapan bagi para nelayan, seperti apa yang disampaikan hakim.

"Di masa pandemi, orang boleh memiliki penilaian apa saja, tetapi Edhy telah menunjukkan suatu kemampuan kinerja yang memberdayakan nelayan untuk membudidayakan lobster di Indonesia," kata Ngabalin kepada Liputan6.com, Kamis (10/3/2022).

Karena itu, masih kata dia, publik harus tahu orang yang dihukum masih bisa mendapatkan penilaian dari hakim jika memang mempunyai kinerja baik.

"Berbakti, pelayanan kepada masyarakat, khususnya nelayan dalam hal budidaya," kata Ngabalin.

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR, Pangeran Khairul Saleh mempertanyakan alasan MA yang melihat jasa mantan menteri KKP untuk memberikan harapan besar bagi nelayan tersebut.

"Apakah di level MA masih bisa menilai secara judex facti? Padahal selama ini level MA adalah menilai secara judex juris. Artinya menjadi aneh secara hukum hal ini menjadi pertimbangan padahal secara tugas dan fungsi siapapun jadi pejabat tentu amanah yang diemban harus mensejahterayakan rakyat," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (10/3/2022).

Selain itu, pendekatan kedua yakni tindak pidana yang dilakukan dalam kondisi pandemi adalah hukumannya semakin berat sebagaimana sempat ramai dibicangkan.

"Sekali lagi ini tidak logic dengan hasil di MA. Akhirnya kita ambil konklusi ini menjadi preseden yang buruk apalagi ini di level MA yang produknya dianggap sebagai yurisprudensi," ungkap Pangeran.

Meski demikian, untuk mengukur masyarakat tak percaya lagi dengan kinerja MA khususnya dalam upaya pemberantasan korupsi tentu banyak variable.

"Tetapi ini menjadi trigger bahwa MA kedepan harus membuktikan kinerja yang terpercaya kepada pencari keadilan di negeri ini. Kita banyak mempunyai peranti undang-undang didalam ringkup kekuasaan kehakiman yang menjamin kekuasaan kehakiman itu mandiri," kata Pangeran.

"Tentu akan terbuka penilaian terhadap putusan MA ini untuk dinilai dalam acara eksaminasi oleh perguruan tinggi yang notabane adalah basis ahli yang mempunyai penilaian objektif. Memang tidak mudah membuat landmark putusan majelis hakim yang baik, tapi apabila anda sudah dipercaya menjadi hakim maka anda adalah wakil Tuhan di dunia," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.