Sukses

Amnesty International: Fasilitas China untuk Uighur Seperti Kamp Konsentrasi

Kamp-kamp reedukasi massal yang digunakan China untuk menahan Uighur kabarnya dijalankan seperti kamp konsentrasi perang. Benarkah?

Liputan6.com, Beijing - Kamp-kamp pendidikan ulang (reedukasi) massal yang digunakan untuk menahan Uighur dan kelompok minoritas muslim lainnya di China sedang dijalankan oleh pemerintah setempat seperti "kamp konsentrasi", menurut laporan lembaga swadaya HAM, Amnesty International, yang menggemakan kembali kekhawatiran serupa dari lembaga internasional lain.

Hingga satu juta orang Uighur, Kazakh, dan kelompok minoritas lainnya telah ditahan sewenang-wenang di kamp-kamp penampungan internir di provinsi barat-jauh Xinjiang, menurut laporan kelompok-kelompok hak asasi manusia dan sebuah panel PBB.

China membantah tuduhan itu, dengan menyatakan bahwa pihaknya menahan orang-orang yang bersalah atas kejahatan ringan, dan telah mengirim mereka ke "pusat-pusat vokasional" dan bahwa para tahanan "bersyukur" berada di sana.

Namun, aktivis HAM meyakini sebaliknya, dengan mengatakan bahwa "pusat-pusat vokasional" tak lain merupakan "kamp penahanan massal" ujar Patrick Poon, analis China untuk Amnesty International, seperti dilansir The Independent, Kamis (16/12/2018).

"Ini menakutkan. Kami belum melihat dalam sejarah Tiongkok baru-baru ini bahwa akan ada skala besar penahanan orang di kamp dalam jumlah yang juga sangat besar," katanya.

"Jadi saya pikir itu sah bagi orang-orang untuk menyampaikan kekhawatiran tentang bagaimana kamp-kamp tersebut dijalankan serupa dengan kamp konsentrasi masa perang," tambah Poon.

Dia mengatakan, Amnesty memiliki laporan dari mantan tahanan yang mengatakan bahwa mereka dipaksa untuk menghadiri pelajaran reedukasi politik dan menyanyikan lagu-lagu politik.

Laporan sebelumnya mengatakan etnis tersebut dipaksa untuk mengutuk Islam dan bersumpah setia kepada Partai Komunis China, selain dipaksa untuk makan daging babi dan minum alkohol --tindakan yang dilarang dalam Islam.

Namun laporan baru tentang kehidupan di kamp atau wilayah yang lebih luas jarang terjadi, terutama karena mantan tahanan terlalu takut untuk membicarakan kasus mereka dan karena China mengontrol apa yang dapat dilakukan wartawan di wilayah tersebut, menurut Sophie Richardson, direktur bagian China di Human Rights Watch.

"Kontrol pada apa yang bisa mereka (China) lakukan sangat ketat, dan semakin ketat," kata Richardson kepada The Independent.

"Ini adalah kisah besar yang disadari oleh orang-orang, tetapi sulit untuk mendapatkan informasi baru," ujarnya mengkritik ketertutupan China atas isu tersebut.

Richardson mengatakan, ada juga masalah bahwa lebih sulit bagi mereka yang telah ditahan untuk meninggalkan Tiongkok, menambahkan:

"Ketika Anda melihat pemerintah menolak hak orang untuk pergi ke luar negeri, itu secara umum berarti mereka punya sesuatu yang harus disembunyikan."

Alasan lain adalah status unik Uighur sebagai minoritas etnis dan agama, kata Richardson.

"Orang Uighur hampir tidak dikenal sebagai komunitas etnis di seluruh dunia seperti orang Tibet. Dan ada masalah fobia Islam, yang dipicu pemerintah China di rumah. Mereka mengatakan Xinjiang dipenuhi dengan teroris dan China hanya mengikuti strategi kontra-terorisme dan kontra-ekstremisme seperti yang lainnya."

 

Simak video pilihan berikut:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bantahan China

Reaksi internasional juga konon agak diredam oleh China, meskipun kritik perlakuan Beijing terhadap minoritas Uighur meningkat.

Pekan lalu, pejabat senior badan hak asasi manusia PBB baru-baru ini meminta akses langsung ke wilayah Xinjiang untuk memverifikasi "laporan mengkhawatirkan" kamp pendidikan ulang.

"Kami telah meminta akses langsung ke wilayah tersebut untuk dapat memeriksa dan memverifikasi laporan mengkhawatirkan yang kami terima," Michelle Bachelet, komisaris tinggi untuk badan hak asasi manusia PBB (UNHCHR), mengatakan pada konferensi pers di Jenewa.

Permintaannya datang sehari setelah komisaris hak asasi manusia Jerman, Barbel Kofler, mengatakan China telah memblokirnya dari bepergian ke wilayah tersebut.

"Saya terkejut dengan laporan perlakuan terhadap minoritas Uighur Turki," kata Kofler dalam sebuah pernyataan Selasa lalu. "Saya ingin sekali mendapatkan kesan langsung dari situasi di sana dan akan terus mendorong izin untuk mengunjungi Xinjiang segera."

Di sisi lain, seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri China menuduh media asing sering membuat 'laporan tidak benar' tentang isu kamp untuk warga etnis Uighur.

"Berbagai laporan itu sepenuhnya didasarkan pada desas-desus," kata juru bicara tersebut, Hua Chunying seperti dikutip dari CBS News.

Pihak Beijing menyebut fasilitas itu sebagai pusat pelatihan, yang menawarkan pendidikan vokasi bagi warga Uighur, Kazakh, dan lainnya, yang sebagian besar merupakan muslim.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.