Sukses

Putusan MK Tak Konsisten, Tata Kelola Lahan Sawit Indonesia Jadi Carut-marut?

Industri kelapa sawit masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan, salah satunya terkait tata kelola lahan sawit yang masih carut marut, lantaran penerapan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak konsisten.

Liputan6.com, Jakarta - Industri kelapa sawit masih dihadapkan dengan berbagai permasalahan, salah satunya terkait tata kelola lahan sawit yang masih carut marut, lantaran penerapan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak konsisten.

Hal itu disampaikan Prof. I Gde Pantja Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran dalam Workshop wartawan yang digelar Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) di Lembang, Bandung, Kamis (24/8/2023).

“Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, harus mendukung perbaikan tata kelola industri kelapa sawit Indonesia dan mendukung iklim usaha tentunya,” kata Prof. I Gde Pantja Astawa.

Ia pun mencontohkan salah satu putusan, yakni penerbitan Peraturan Pemerintah (PP)  No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, sebagai peraturan pelaksana dari ketentuan Pasal 19 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Ia menilai banyak hal yang belum tuntas dan menimbulkan ketidakpastian bagi para pelaku usaha industri sawit.

“Ketidaktuntasan penyelesaian masalah tata ruang (RTRWP / RTRWK) ini salah satu akar masalah yang rumit,” katanya.

Namun sayangnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 45 / PUU – IX tahun 2011 yang sebenarnya diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum masalah Hak Guna Usaha (HGU) pun tidak diterapkan.

"Ini merupakan putusan terhadap permohonan pengujian ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan. UU ini dinilai bertentangan dengan beberapa ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945," ujarnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Harusnya Dipatuhi

Menurutnya, putusan MK itu menjawab sengketa kewenangan pusat dan daerah. Terutama, terkait RTRWP yang tidak diakui pemerintah pusat dan menegasi keberadaan ijin lokasi yang diterbitkan kepala daerah. 

“RTRWP tidak dapat dikesampingkan dalam pengukuhan kawasan hutan,” tegasnya.

Kendati demikian, putusan MK ini sebenarnya juga dapat dijadikan entry point untuk mengurus HGU perkebunan kelapa sawit selama kawasan tersebut belum dikukuhkan sebagai kawasan hutan. 

Bahkan, menurutnya, sebenarnya putusan MK ini pun dapat dijadikan dasar bagi pelaksanaan tugas Satgas Sawit yang dibentuk pemerintah dalam rangka peningkatan tata kelola industri sawit.

“Carut marut sawit karena ketidakkonsistenan penerapan putusan MK. Mestinya putusan MK itu dipatuhi, ditaati,” ujarnya.

3 dari 3 halaman

Definisi Kawasan Hutan

Pendapat senada juga dikemukakan Dosen Fakultas Hukum universitas Al Azhar Indonesia Dr. Sadino. Menurutnya kata “pemutihan” yang digunakan pemerintah tidak tepat. 

Seperti diketahui, pemerintah menyebut ada 3,3 juta hektar perkebunan kelapa sawit dimana sebagian diantaranya telah memiliki HGU  diindikasikan berada di kawasan hutan. 

Sadino pun menghimbau para pihak untuk kembali melihat definisi Kawasan hutan. Kawasan hutan adalah wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebankan ha katas tanah. 

Sedangkan HGU merupakan hak konstitusi warga negara yang diberikan kepada pemerintah melalui Undang-undang  Pokok Agraria (UUPA). Sedangkan sedangkan pengaturan Kawasan hutan itu diatur dalam Undang-Undang tentang Kehutanan (UUK). 

“Kalau dia mengklaim HGU sebagai kawasan hutan, pasti bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi. UUD 1945 pasal 28 jelas menjamin setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh negara," pungkas Sadino.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini