Sukses

Ternyata, Selama Ini Bank Himbara Kuasai Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak

Hal ini diakui terjadi karena para bank plat merah berburu mendekati kementerian/lembaga (KL) dan melakukan kerja sama sebagai penerima pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNBP.

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan jika selama ini penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari masyarakat dimonopoli atau lebih banyak dikuasai perbankan himbara.  Sebagai contoh pembayaran PNBP Surat Izin Mengemudi (SIM).

Kemudian adapula pembayaran visa. Hal ini diakui terjadi karena para bank plat merah berburu mendekati kementerian/lembaga (KL) dan melakukan kerja sama sebagai penerima pembayaran PNBP.

“Saat ini, karena ada persaingan bisnis yang kentara antara BRI, BNI, Himbara, itu kadang mereka berlomba-lomba mendekati KL (kementerian/lembaga) untuk melakukan monopoli sistem penyetoran PNBP," kata Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian/Lembaga Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan Wawan Sunarjo di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis (8/6).

Wawan menegaskan, praktik-praktik ini sudah tidak boleh lagi dilakukan. Pihaknya pun sudah membuat aturan baru dalam PMK Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pengelolaan PNBP. 

"Di PMK ini ditegaskan kembali bahwa Kementerian dan Lembaga tidak boleh melakukan kontrak kerja sama hanya dengan satu bank,” kata dia.

Dalam aturan itu kementerian lembaga harus membuka banyak loket pembayaran untuk semua bank, tidak hanya satu bank.

Artinya mereka juga harus membuka peluang bagi bank lain untuk menjadi agen penerima pembayaran PNBP demi memudahkan masyarakat. “Semua harus membuka collecting agent atau loket pembayaran untuk semua bank, yang tentunya akan sangat memudahkan masyarakat," kata Wawan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kemenkeu Blokir Ratusan Perusahaan yang Tidak Bayar PNBP

Kementerian Keuangan terus menyisir daftar perusahaan yang menunggak pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari berbagai sektor.

Pada tahap pertama, Kementerian Keuangan telah memblokir 126 perusahaan yang wajib bayar di tahun 2022 dengan nilai Rp 137,67 miliar. 

“Ditahap 1 Agustus 2022 kita memblokir 83 yang wajib bayar. Di bulan Oktober ditambah ada 43 dan akhirnya pada tahun 2022 itu Rp 137,67 miliar,” kata Direktur PNBP Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan, Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari, di Jakarta, Kamis (8/6).

Penyisiran yang sama juga dilanjutkan tahun ini. Kali ini  menyasar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ESDM.

Puspa membeberkan di KLHK sudah ada 150 wajib bayar yang terjaring dan harus menyelesaikan utangnya. Dari jumlah tersebut sudah ada 60 wajib bayar yang melakukan pembayaran PNBP.

“Yang telah menyelesaikan wajib bayar ada 60 dengan nilai Rp 390 miliar. Jadi kita tunggu saja sisanya,” kata Puspa. 

Sementara itu, di Kementerian ESDM terjaring 169 wajib bayar PNBP. Dari jumlah tersebut sudah ada 18 wajib bayar sudah melakukan kewajibannya dengan nilai Rp 35,78 miliar. “Jadi target kita untuk tahun 2023 saja ada 150 wajib bayar untuk KLHK dan 169 dari ESDM,” kata dia. 

 

3 dari 3 halaman

Aturan Sebelumnya

Sebagai informasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 58/2023 tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak, menggantikan beleid sebelumnya yakni PMK No. 155/2021. 

Dalam beleid tersebut ada 7 perubahan yang salah satunya terkait dengan penghentian layanan dan implementasi automatic blocking system (ABS). Penghentian layanan dapat diinisiasi oleh instansi pengelola PNBP atau unit eselon I Kemenkeu. 

ABS dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian piutang negara lainnya, selain PNBP. Sementara itu, pembukaan blokir dapat dilakukan segera jika ditemukan bukti atau dokumen pelunasan atas kewajiban PNBP. 

Adanya sistem ini memaksa perusahaan untuk melunasi kewajiban PNBP yang selama ini belum dibayarkan. Sebab jika tidak dilunasi, maka perusahaan tersebut tidak dapat melakukan kegiatan ekspor. 

 

Reporter: Anisyah Alfaqir

Sumber: Merdeka.com

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini