Sukses

Skema Power Wheeling Tak Masuk RUU EBT

Menteri ESDM Arifin Tasrif memastikan tak ada skema power wheeling dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT).

Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memastikan tak ada skema power wheeling dalam draf Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Namun, yang pasti adalah penyediaan listrik EBT untuk bisa dilaksanakan.

Power wheeling sendiri merupakan skema yang membolehkan perusahaan swasta untuk membangun pembangkit listrik EBT. Kemudian, disalurkan ke pelanggan dengan memanfaatkan infrastruktur milik PT PLN (Persero) dengan membayar tarif yang ditentukan Kementerian ESDM.

Belakangan, sejumlah pihak memang menolak adanya skema ini dalam implementasi EBT di Indonesia. Salah satu kekhawatirannya, harga setrum yang dibebankan ke pelanggan bakal lebih mahal.

"Kan sudah jelas, posisi pemerintah sudah jelas, tidak ada (skema) power wheeling (dalam RUU EBET), tetapi adalah kewajiban untuk menyediakan energi baru dan bersih ke dalam sistem. Itu kewajiban, itu harus dilaksanakan," kata dia saat ditemui di Kompleks DPR RI, ditulis Rabu (25/1/2023).

Untuk diketahui, skema power wheeling sendiri dicabut dari daftar invertarisasi masalah (DIM) dalam RUU EBET tadi. Nantinya, RUU EBET atau RUU EBT ini akan masuk pembahasan di parlemen dan dijalankan oleh Panja DPR RI.

Sebelumnya, pemerintah mencabut skema power wheeling yang ada di Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT). Langkah ini dinilai bisa menghemat penggunaan dana APBN.

Pengamat Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengungkap, power wheeling dihapus pemerintah melalui daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBT. Guna memastikan sejalan dengan upaya tersebut, Fahmy menyebut kalau ini perlu dikawal kedepannya.

"Berhubung power wheeling berpotensi merugikan negara dan memberatkan rakyat serta melanggar UUD 1945, UU ketenagalistrikan dan Keputusan MK, penarikan pasal power wheeling dari RUU EBT merupakan langkah yang sangat tepat," kata dia dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (24/1/2023).

"Selanjutnya, semua pihak harus ikut mengawal proses pembahasan RUU EBT agar sesuai dengan DIM, sehingga tidak ada lagi penyelundupan pasal siluman serupa dengan power wheeling yang tidak sesuai dengan DIM," sambung Fahmy.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Berpotensi Tambah Beban APBN

Power wheeling merupakan mekanisme yang membolehkan perusahaan swasta Independent Power Producers (IPP) untuk membangun pembangkit listrik dan menjual setrum kepada pelanggan rumah tangga dan industri.

Skemanya, penjualan setrum IPP dengan mempergunakan jaringan distribusi dan transmisi milik PLN melalui open source dengan membayar fee yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM.

Penerapan power wheeling berpotensi menambah beban APBN yang merugikan negara. Pasalnya, power wheeling akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen, dan pelanggan non-organik hingga 50 persen.

Dia memandang, Penurunan jumlah pelanggan PLN itu, selain dapat memperbesar kelebihan pasokan PLN, juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik.

Dampaknya, dapat membengkakan beban APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN sebagai akibat tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian.

"Power wheeling juga berpotensi merugikan rakyat sebagai konsumen, dengan penetapan tarif listrik yang diserahkan pada mekanisme pasar. Dengan power wheeling, penetapan tarif listrik ditentukan oleh demand and supply, pada saat demand tinggi dan supply tetap, tarif listrik pasti akan dinaikkan," urainya.

 

3 dari 4 halaman

Bisa Rugikan Negara

Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan terkait kelebihan pasokan listrik karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Melihat ini, klausul penerapan power wheeling dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bukan langkah tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit dan dikhawatirkan bisa merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN).

Ekonom Drajad Wibowo menjelaskan saat ini negara sedang menghadapi tantangan oversupply karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Bahkan, hingga ahun 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW. Terlebih lagi dengan adanya skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta (IPP).

"Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan," ujar Drajad.

 

4 dari 4 halaman

Beban Rp 28,5 Triliun

Ia menjelaskan potensi beban akibat oversupply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling. Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.

"Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batubara. Batubara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan," ujar Drajad.

Drajad mengungkapkan, saat ini harga listrik batubara hanya sekitar USD 3-5 sen/kWh. Sementara untuk EBT, harganya USD 6-7 sen/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), USD 7-8 sen/kWh untuk listrik biomassa. Bahkan untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara USD 7-13 sen/kWh, kebanyakan di kisaran USD 11-12 sen/kWh.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.