Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai Pemerintah dan DPR terkesan memaksakan merevisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini masih dalam pembahasan di DPR. Padahal UU itu merupakan hukum publik yang sangat vital sehingga perlu dikaji secara matang.
"Pembahasannya, analisanya, pengkajiannya, harus dilakukan secara mendalam dan tidak tergesa-gesa," kata Wakil Ketua KPK Zulkarnaen, Jakarta, Rabu (19/2/2014).
Sementara, DPR sebagai pembuat undang-undang, hanya mempunyai waktu tak lebih dari 100 hari untuk membahas dan mengesahkan 2 UU ini. Mengingat pemilu yang akan digelar 9 April mendatang.
"Menyangkut HAM seseorang baik tersangka, terdakwa, korban kepentingan masyarakat dan menyangkut harta seseorang juga menyangkut harkat dan martabat jadi dengan UU ini termasuk yang sangat vital, harusnya pembehasannya, analisanya, pengkajiannya, harus dilakukan secara mendalam dan tidak tergesa-gesa," ungkap mantan staf ahli Jaksa Agung itu.
Selain itu, ditekankan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur itu, untuk merivisi RUU itu perlu adanya pandangan dari pakar-pakar hukum, praktisi hukum dan tokoh masyarakat dari Sabang sampai Merauke dalam merancang perubahan undang-undang ini.
"Harusnya melibatkan pakar-pakar hukum pidana di tanah air ini melibatkan praktisi-praktisi hukum yang benar-benar praktisi. Sebab ini akan dilaksanakan dari Sabang ke Merauke dari Pusat ke Daerah. Melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, pemerhati, perlu juga survei pengkajian yang lebih mendalam," papar dia.
Zulkarnaen juga berpandangan, UU KUHAP yang sudah bertahan selama 81 tahun memang perlu perubahan untuk kemajuan penegakan hukum. Namun, tidak terburu-buru. Mengingat indeks prestasi komulatif tingkat korupsi di Indonesia diurutan 32 dari 100 negara.
"ini masih di bawah dunia yang 43. Kemudian juga dari yang kita lakukan tiap tahun, survei indeks integritas kita itu masih banyak yang jauh dari kewajaran, dibawah 6," papar dia.
Ia mengingatkan bahwa sejarah pembahasan KUHP oleh pakar di Belanda memerlukan waktu 10 tahun. Namun di Indonesia terkesan dipaksakan. Dicontohkan dia, jika tindak pidana korupsi yang selama ini masuk penanganan spesial (lex specialis) dipindah menjadi pidana umum, maka tidak ada kemajuan. Berarti akan mundur dari sisi perundang-undangan.
"Ini ya kita lihat dari isinya, banyak hal-hal yang sebetulnya dipertanyakan untuk bisa diimplementasikan lebih baik. Kemudian di sana juga menyangkut Tipikor. Kita ketahui bahwa Tipikor merupakan hal yang sangat vital kalau dimasukan ke KUHP sebagai Pidana Umum berarti kita mundur dari sisi perundang-undangan," sentil dia.
Ia menjelaskan bahwa dahulu korupsi dikeluarkan dari UU menjadi Tipikor khusus, seperti suap. Hukumannya diperberat, cakupannya diperluas, pembuktiannya diperkuat ada pembuktiannya terbatas.
"Berarti kita mundur sekarang. Kita tahu sampai saat ini Tipikor itu kan kejahatan yang luar biasa, kita bisa lihat dari perkara-perkara yang ditangani, makin komplit, modus-modusnya makin canggih, nekatnya makin luar biasa, apa mungkin ditangani secara biasa," imbuhnya.
Untuk itu, KPK kata Zul, meminta baik DPR serta Presiden yang sudah dikirimi surat untuk setidaknya menunda perubahan 2 undang-undang tersebut. (Tya/Riz)
Baca juga:
"Pembahasannya, analisanya, pengkajiannya, harus dilakukan secara mendalam dan tidak tergesa-gesa," kata Wakil Ketua KPK Zulkarnaen, Jakarta, Rabu (19/2/2014).
Sementara, DPR sebagai pembuat undang-undang, hanya mempunyai waktu tak lebih dari 100 hari untuk membahas dan mengesahkan 2 UU ini. Mengingat pemilu yang akan digelar 9 April mendatang.
"Menyangkut HAM seseorang baik tersangka, terdakwa, korban kepentingan masyarakat dan menyangkut harta seseorang juga menyangkut harkat dan martabat jadi dengan UU ini termasuk yang sangat vital, harusnya pembehasannya, analisanya, pengkajiannya, harus dilakukan secara mendalam dan tidak tergesa-gesa," ungkap mantan staf ahli Jaksa Agung itu.
Selain itu, ditekankan mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur itu, untuk merivisi RUU itu perlu adanya pandangan dari pakar-pakar hukum, praktisi hukum dan tokoh masyarakat dari Sabang sampai Merauke dalam merancang perubahan undang-undang ini.
"Harusnya melibatkan pakar-pakar hukum pidana di tanah air ini melibatkan praktisi-praktisi hukum yang benar-benar praktisi. Sebab ini akan dilaksanakan dari Sabang ke Merauke dari Pusat ke Daerah. Melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, pemerhati, perlu juga survei pengkajian yang lebih mendalam," papar dia.
Zulkarnaen juga berpandangan, UU KUHAP yang sudah bertahan selama 81 tahun memang perlu perubahan untuk kemajuan penegakan hukum. Namun, tidak terburu-buru. Mengingat indeks prestasi komulatif tingkat korupsi di Indonesia diurutan 32 dari 100 negara.
"ini masih di bawah dunia yang 43. Kemudian juga dari yang kita lakukan tiap tahun, survei indeks integritas kita itu masih banyak yang jauh dari kewajaran, dibawah 6," papar dia.
Ia mengingatkan bahwa sejarah pembahasan KUHP oleh pakar di Belanda memerlukan waktu 10 tahun. Namun di Indonesia terkesan dipaksakan. Dicontohkan dia, jika tindak pidana korupsi yang selama ini masuk penanganan spesial (lex specialis) dipindah menjadi pidana umum, maka tidak ada kemajuan. Berarti akan mundur dari sisi perundang-undangan.
"Ini ya kita lihat dari isinya, banyak hal-hal yang sebetulnya dipertanyakan untuk bisa diimplementasikan lebih baik. Kemudian di sana juga menyangkut Tipikor. Kita ketahui bahwa Tipikor merupakan hal yang sangat vital kalau dimasukan ke KUHP sebagai Pidana Umum berarti kita mundur dari sisi perundang-undangan," sentil dia.
Ia menjelaskan bahwa dahulu korupsi dikeluarkan dari UU menjadi Tipikor khusus, seperti suap. Hukumannya diperberat, cakupannya diperluas, pembuktiannya diperkuat ada pembuktiannya terbatas.
"Berarti kita mundur sekarang. Kita tahu sampai saat ini Tipikor itu kan kejahatan yang luar biasa, kita bisa lihat dari perkara-perkara yang ditangani, makin komplit, modus-modusnya makin canggih, nekatnya makin luar biasa, apa mungkin ditangani secara biasa," imbuhnya.
Untuk itu, KPK kata Zul, meminta baik DPR serta Presiden yang sudah dikirimi surat untuk setidaknya menunda perubahan 2 undang-undang tersebut. (Tya/Riz)
Baca juga:
KPK Minta SBY Tunda Pembahasan RUU KUHAP/KUHP
`Curhatan` Abraham Samad ke SBY Soal RUU KUHP
Airin `Lempar` Senyum Manis di KPK