Sukses

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi soal Penggembokan SDN Utan Jaya: Sekolah Tak Boleh Disegel, Selesaikan Lewat Hukum

Menurut Dedi Mulyadi, segala bentuk keberatan atas status lahan sebaiknya diselesaikan melalui jalur hukum, bukan dengan cara menghalangi hak pendidikan anak-anak.

Diperbarui 09 Mei 2025, 08:22 WIB Diterbitkan 09 Mei 2025, 08:22 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, angkat bicara soal aksi penggembokan yang dilakukan ahli waris terhadap gerbang SDN Utan Jaya di Depok, Jawa Barat. Dedi menegaskan, tidak boleh ada penyegelan sekolah yang mengganggu proses belajar-mengajar, apapun alasannya.

"Harus dibuka, pokoknya tidak boleh lagi ada penyegelan lahan tempat anak-anak sekolah," tegas Dedi saat dikonfirmasi pada Jumat (9/5/2025).

Menurut Dedi, segala bentuk keberatan atas status lahan sebaiknya diselesaikan melalui jalur hukum, bukan dengan cara menghalangi hak pendidikan anak-anak.

"Kalau memang merasa keberatan, silakan tempuh jalur pengadilan," ujarnya.

Sebelumnya, pintu masuk SDN Utan Jaya yang sempat digembok dan dirantai oleh ahli waris lahan. Namun, pada Jumat pagi, pihak Pemerintah Kota Depok melalui Satpol PP, dengan pengawalan dari Polres Metro Depok dan TNI, telah membuka kembali segel tersebut agar aktivitas belajar mengajar bisa berjalan normal.

Wakil Wali Kota Depok, Chandra Rahmansyah, memastikan segel sudah dibuka dan siswa bisa kembali belajar.

"Sudah kami buka segelnya karena ini lahan sengketa. Kami minta pihak ahli waris untuk menempuh jalur hukum," ujar Chandra.

Ia juga memastikan keamanan akan terus dijaga, terutama saat pelaksanaan ujian.

"Hari ini dijaga, lusa dijaga lagi oleh Pol PP. Kami pastikan situasi tetap kondusif," imbuhnya.

2 dari 3 halaman

Duduk Perkara Sengketa SDN Utan Jaya

Sengketa ini mencuat setelah ahli waris almarhum H. Namit Sairan, Muchtar, mengklaim bahwa lahan yang ditempati SDN Utan Jaya merupakan milik keluarganya. Ia menyebut pemerintah tak pernah menepati janji pembayaran dan justru menggunakan lahan secara sepihak sejak tahun 1990, saat Depok masih bagian dari Kabupaten Bogor.

"Keluarga kami memiliki dokumen resmi kepemilikan. Mereka menjanjikan kompensasi, tapi sampai sekarang tidak pernah terealisasi," kata Muchtar, mantan Kepala Desa Pondok Jaya.

Menurutnya, janji pengangkatan anggota keluarga sebagai PNS juga tidak ditepati. Bahkan, sejumlah guru kala itu justru memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi.

"Waktu itu masih Kabupaten Bogor. PNS yang dijanjikan justru diberikan ke anak-anak guru," ungkapnya.

Muchtar mengaku sudah beberapa kali melakukan penggembokan sebagai bentuk protes, namun tak kunjung mendapat solusi konkret dari Dinas Pendidikan Kota Depok.

"Sudah 35 tahun kami tidak mendapat kejelasan apa-apa. Ini bentuk kekecewaan kami," ujarnya.

3 dari 3 halaman

Pemerintah Imbau Jangan Korbankan Hak Anak Didik

Meski menyayangkan ketidakjelasan status lahan, keluarga ahli waris mengaku tidak berniat menghambat pendidikan anak-anak. Namun mereka merasa tidak punya pilihan karena merasa diabaikan.

"Kalau memang tidak mau membayar, silakan pindahkan murid-muridnya. Kami minta Dinas Pendidikan bertanggung jawab," tegas Muchtar.

Produksi Liputan6.com