Sukses

Catatan BPK dalam Laporan Keuangan Pemprov DKI 2022 Meski Kembali Raih Opini WTP

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kembali meraih predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta kembali meraih predikat Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi DKI Jakarta 2022.

Opini WTP merupakan penghargaan tertinggi atas akuntabilitas pengelolaan keuangan yang telah dilakukan Pemprov DKI Jakarta dari BPK RI. Opini ini juga merupakan Opini WTP keenam kalinya secara berturut-turut sejak tahun 2017 sampai 2022.

BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian atas LKPD Pemprov DKI Jakarta Tahun Anggaran 2022. Kendati mempertahankan opini WTP keenam kalinya, BPK RI masih menemukan sejumlah masalah dalam pengelolaan anggaran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.

Hal ini, disampaikan Anggota V BPK RI Ahmadi Noor Supit yang menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemprov DKI Jakarta 2022 dalam Rapat Paripurna di Gedung DPRD DKI Jakarta pada Senin 29 Mei 2023.

"Namun demikian, tanpa mengurangi keberhasilan yang telah dicapai, BPK masih menemukan permasalahan terkait pengelolaan keuangan daerah," kata Ahmadi.

Ahmadi memaparkan setidaknya ada empat temuan permasalahan dalam pengelolaan LKPD Tahun Anggaran 2022 yang harus segera ditindaklanjuti Pemprov DKI Jakarta, antara lain:

1. Terdapat kelebihan pembayaran atas belanja dan denda keterlambatan total senilai Rp 45,87 miliar.

Kelebihan pembayaran atas belanja tercatat senilai Rp 11,34 miliar. Menurut Ahmadi, kelebihan pembayaran atas belanja ini terjadi karena adanya kelebihan perhitungan gaji dan tambahan penghasilan senilai Rp 6,39 miliar, kekurangan volume pengadaan barang/jasa sebesar Rp 4,06 miliar, kelebihan pembayaran belanja hibah dan bansos senilai Rp 878 juta.

"Sedangkan, denda keterlambatan adalah senilai Rp34,53 miliar. Atas permasalahan tersebut telah dikembalikan ke kas daerah sebesar Rp14,66 miliar," ungkap Ahmadi.

2. Bantuan Sosial KJP Plus dan KJMU belum disalurkan

Ahmadi menyampaikan, ada senilai Rp 197,55 miliar bantuan sosial Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan Kartu Jakarta Mahasiswa Unggul (KJMU) yang belum disalurkan kepada penerimanya.

Selain itu, BPK mencatat adanya bantuan Sosial Pemenuhan Kebutuhan Dasar senilai Rp 15,18 miliar yang tidak sesuai dengan ketentuan.

3. Penatausahaan penyerahan dan pencatatan aset tetap fasos fasum belum tertib

Menurut Ahmadi, ketidaktertiban yang dimaksud antara lain, ditemukan adanya dua bidang tanah fasilitas sosial (fasos) fasilitas umum (fasum) yang telah diterima dari pemegang Surat Izin Penguasaan Penggunaan Tanah (SIPPT) Rp17,72 miliar berstatus sengketa.

Tak hanya itu, didapati pula penerimaan aset fasos fasum yang belum seluruhnya dilaporkan oleh Wali Kota ke BPAD, aset fasos fasum dikuasai atau digunakan pihak lain tanpa perjanjian, dan pencatatan ganda aset fasos fasum dalam Kartu Inventaris Barang (KIB).

"Serta aset fasos fasum berupa gedung, jalan, saluran, dan jembatan dicatat dengan ukuran yang tidak wajar yaitu 0 meter persegi atau 1 meter persegi," kata dia.

4. Opini tidak memberikan pendapat (Disclaimer) atas laporan keuangan PAM Jaya 2022

Ahmadi menerangkan, BPK RI telah melakukan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Badan Usaha Milik Daerah (LK BUMD) di lingkungan Pemprov DKI Jakarta. Pada 2023 ini, BPK melakukan pemeriksaan atas Laporan Keuangan Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya (PAM Jaya) Tahun Buku 2022.

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan BPK, termasuk terhadap implementasi atas rencana aksi yang telah dilaksanakan oleh PAM Jaya, BPK memberikan opini tidak memberikan pendapat (Disclaimer) atas laporan keuangan PAM Jaya Tahun Buku 2022.

Opini tersebut, ujar Ahmadi diberikan dengan pertimbangan, antara lain proses kapitalisasi dan pencatatan aset tetap PAM Jaya yang kurang memadai. Aset tetap yang diperoleh mitra melalui beban imbalan untuk menghasilkan pendapatan juga tidak diungkapkan.

"Hal tersebut mengakibatkan saldo aset tetap senilai Rp 867,23 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya dan aset tetap yang disajikan dan diungkapkan belum menggambarkan seluruh aset tetap yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan," jelas Ahmadi.

Selain itu, pengelolaan persediaan PAM Jaya juga dinilai tidak produktif karena tidak didukung dengan catatan dan tempat penyimpanan yang memadai serta tidak pernah dilakukan stok opname.

"Saldo persediaan aset tidak produktif senilai Rp 30,42 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya," ucap dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Transaksi Tak Memadai

Selanjutnya, pencatatan transaksi hasil kerja sama antara PAM Jaya dengan mitra pada rekening Escrow juga tidak memadai, sehingga saldo rekening Escrow per 31 Desember 2022 senilai Rp 790,58 miliar tidak disajikan dalam laporan posisi keuangan.

"Saldo dana senilai Rp 48,42 miliar belum jelas hak dan kewajibannya, serta potensi kurang saji atas arus kas aktivitas operasi pada laporan arus kas," kata dia.

Terakhir, pencatatan Utang Uang Jaminan Langganan (UJL) PAM Jaya ditemukan juga tidak didukung dengan daftar rincian yang lengkap dan akurat, sehingga saldo Utang UJL sebesar Rp 53,32 miliar tidak dapat diyakini kewajarannya.

Ahmadi menyatakan, Pemprov DKI Jakarta wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK, tentang tindak lanjut atas rekomendasi dari laporan hasil pemeriksaan permasalahan yang telah disampaikan BPK RI.

Ahmadi berujar, berdasarkan data pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK, sampai dengan Laporan Pemantauan Semester II Tahun 2022, Pemprov DKI Jakarta telah menindaklanjuti 9.432 rekomendasi dari 10.931 rekomendasi atau 86,29 persen dari keseluruhan rekomendasi periode 2005-2022.

Kemudian, masih terdapat 1.215 rekomendasi atau 11,11 persen yang harus menjadi prioritas untuk segera ditindaklanjuti. Lalu, juga terdapat 284 rekomendasi atau 2,60 persennya yang tidak dapat ditindaklanjuti dengan alasan yang sah.

"Jawaban atau penjelasan dimaksud disampaikan kepada BPK selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah laporan hasil pemeriksaan diterima," kata Ahmadi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini