Sukses

HEADLINE: TPF Kasus Gagal Ginjal Akut Anak Dibentuk, Bongkar Dugaan Kejahatan Sistematis?

Sejak kasus gagal ginjal anak mencuat, belum ada satu pihak pun yang mengacungkan tangan. Aparatur negara seolah berlomba lari dari masalah. TPF mencium bau busuk dugaan kejahatan sistematis.

Liputan6.com, Jakarta - Sejak kasus gagal ginjal akut ditemukan pertengahan 2022, korban bocah meninggal akibat penyakit itu terus melonjak. Jumlah anak meninggal yang awalnya satu-dua, meningkat drastis menjadi 36 kasus pada Agustus 2022. Bahkan terbaru, angka itu tercatat mencapai 324 kasus per 6 November 2022 yang tersebar di 28 provinsi.

Dari jumlah itu, 195 meninggal, 27 dalam perawatan, dan 102 pasien yang sembuh.

Kondisi ini membuat masyarakat menjadi was-was juga bercampur geram. Jumlah kematian anak akibat diduga karena sirup membuat para orangtua khawatir bila hal itu menimpa buah hatinya. Di sisi lain, lembaga terkait terkesan lari dari masalah dengan saling lempar tanggung jawab.

Untuk menemukan penyebab pasti kasus ini, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) Kasus Gagal Ginjal Akut. Tim akan mencari pangkal terjadinya gagal ginjal akut atipikal pada anak serta memberikan edukasi dan perlindungan kepada masyarakat.

Menurut Ketua TPF Muhammad Mufti Mubarok, dalam temuan awal didapatkan bahwa peristiwa gagal ginjal akut yang menyerang anak di Indonesia merupakan dugaan kejahatan sistematis. Dalam praktiknya, kejahatan itu tidak hanya melibatkan pelaku usaha tetapi juga kelalaian sistem pengawasan pada peredaran obat-obatan.

"Ini kan kejadian yang luar biasa, dalam waktu yang cepat (makan korban). Penyebabnya juga diketahui akibat minum sirup. Nah sementara terkait sirup ini, pengawasan kan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan). Sementara sampai hari ini tidak ada minta maaf, belum ada klarifikasi. Hanya melarang, melarang, dan melarang. Tapi ini kan persoalannya sudah meninggal, kecuali sebelum meninggal. Ini masalahnya," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (10/11/2022).

Dia menyanyangkan, di tengah korban yang terus berjatuhan, pemerintah terkesan tidak terlalu responsif mengatasinya. Yang ada hanya berupa imbauan agar tidak mengonsumsi obat tertentu yang menjadi penyebab terjadinya gagal ginjal akut pada anak.

"Nah kemudian bagaimana upaya-upaya pemerintah ini kan kelihatannya nggak terlalu masif. Hanya menarik, mengimbau. Sementara barang-barang ini sudah beredar di masyarakat, disimpan di mana-mana," kata dia.

Bahkan lebih mirisnya lagi, tak ada yang mengacungkan tangan sebagai wujud pertanggungjawaban atas meninggalnya ratusan anak Indonesia. Ia pun menduga ada sesuatu di balik kejadian ini.

"Pertanggungjawabannya kan sampai hari ini belum ada. Sementara korban terus naik. Pelaku usaha juga sampai hari ini belum ada yang mengklarifikasi 'saya bertanggung jawab'. Kemudian BPOM (menyatakan) 'bertanggung jawab'. Artinya mereka ini ada sesuatu. Ini yang kita sebut dengan konspirasi kejahatan," tegas Mufti.

Dalam menggali keterangan yang dibutuhkan, dia menjelaskan, TPF tidak memanggil BPOM namun akan menyambanginya. Lembaga itu dinilainya bersikap tidak terbuka dan juga tak kooperatif.

"Kami akan mendatangi BPOM, karena mereka kan defensif, tidak kooperatif. Mestinya mereka harus kooperatif. Ayo bagaimana masalahnya ini, kan memang sudah terjadi korban. Bagaimana tanggung jawab dari pemerintah dan pelaku usaha kan harus jelas. Sampai hari ini belum ada tanggung jawab siapa. Kan mereka korban sudah berjatuhan segitu banyaknya. Kalau Kanjuruhan cepat, sudah ada yang bertanggung jawab," ujar dia.

Dia mengungkapkan akan ada dua pihak yang bakal menjadi penanggung jawab atas kejadian gagal ginjal akut pada anak. Dan sampai saat ini, tim masih mengumpulkan bukti-bukti pendukung.

"Yang bertanggung jawab pasti dua. Yaitu pelaku usaha dan pemerintah, yang dalam hal ini bisa Kemenkes, bisa BPOM, terakhir Presiden. Karena ini kan pemerintah pusat," ujar dia.

Namun dia belum dapat mengungkapkan secara spesifik pihak-pihak tersebut. Hal ini lantaran dalam proses pencarian data, TPF kesulitan mengaksesnya dari instansi terkait.

"Ini kan mestinya ada inisiasi dari pemerintah atau pelaku usaha bahwa memang kami melakukan kesalahan ini, siap bertanggung jawab. Dan itu yang kami tunggu sampai hari ini. Sama kayak pemerintah, kami lalai, abai, dan siap bertanggung jawab. Itu yang kita tunggu. Biar mereka para korban juga tidak takut. Kami pun gampang dapat cari data, sampai hari ini kami minta data resmi pun tidak dikasih. Berarti kan ada sesuatu, dugaan kita," jelas dia.

Meski sulit mendapatkan data, TPF tidak patah arang. Tim terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk melaporkan kasus yang ada. Saat ini BPKN sudah menerima enam laporan pengaduan terkait kasus gagal ginjal di antaranya empat dari Jakarta, satu Bekasi dan satu dari Jawa Timur.

"Sudah terus berkembang setiap ada (laporan kasus) yang masuk. Ini kan untuk sampling kita, kasus yang memang karena obat, hampir semua laporan yang masuk kan karena obat, bukan karena yang lain," dia menegaskan.

Nantinya, hasil penyelidikan TPF tersebut akan diserahkan kepada sejumlah pihak. Mulai dari Presiden hingga DPR. "Hasil diserahkan TPF, rekomendasi ke Presiden, Kemenkes, BPOM, dan DPR sebagai lembaga yang bisa mengawasi pemerintah," ujar dia. 

Sementara Ketua Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) David Tobing menilai, pembentukan TPF gagal ginjal akut pada anak sebagai langkah yang tepat. Meski terlambat, TPF bentukan BPKN ini dianggap menjadi wasilah untuk meneliti kasus yang tengah terjadi.

"Tugas BPKN memberikan saran kepada Presiden dan pemerintah, maka untuk memberikan pertimbangan itu mereka bisa melakukan berbagai upaya, yaitu menerima pengaduan, melakukan investigasi, melakukan penelitian. Maksudnya penelitian lah, melakukan FGD. Jadi pembentukan TPF dalam rangka itu," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (10/11/2022).

"Tentunya kita tetap mengapresiasi, karena dalam hal ini, seharusnya pemerintah harus lebih cepat juga dalam merespons kasus ini," dia mengimbuhkan.

David menjelaskan, sejak awal muncul kasus gagal ginjal anak, pihaknya tidak sepakat dengan penanganan yang dilakukan oleh BPOM. Terlebih ketika lembaga itu mengumumkan ada 133 obat yang disebut aman. Padahal delapan di antara obat itu, pihaknya menyatakan bahaya untuk dikonsumsi.

"Waktu (BPOM bilang) 133 obat yang dibilang aman, itu kan kami membantah. Kami bilang itu kebohongan publik. Ternyata itu kan sekarang jadi dicabut gara-gara 69 obat sudah ditarik dari peredaran. Nah dari 69 itu, ada 8 yang didaftar 133. Jadi apa yang saya katakan kebohongan publik itu, benar. Jadi itu juga saya sudah sampaikan ke BPKN menjadi bahan bahwa telah terjadi kebohongan publik," jelas dia.

David menegaskan, bahwa BPOM menjadi pihak yang bertanggung jawab terkait masalah ini. Lembaga itu dianggapnya lalai dalam menunaikan tugas dan kewajibannya.

"Tanpa mengurangi rasa hormat kepada TPF, sekarang pun sudah jelas kok siapa yang harus bertanggung jawab, BPOM. Bukan hanya kepalanya, instansi aparaturnya yang memang tidak melakukan pengawasan tidak baik. Kalau bisa dilihat, lihat saja bagan struktur BPOM, itu adalah struktur terlengkap dalam pengawasan, tetapi struktur yang tidak bekerja juga. Jadi miris kita, struktur lengkap, tapi adanya kasus ini terbukti tidak ada kerjaannya," terang dia.

Karenanya, dia menilai BPOM kecolongan atas kajadian yang merenggut nyawa ratusan generasi bangsa ini. Dari puluhan obat yang ditarik dari peredaran, telah mengantongi surat izin dari BPOM.

"69 (obat) dari tiga perusahaan ditarik dari peredaran, yang ditarik peredaran itu semuanya punya surat izin edar. Bahkan bertahun tahun. Artinya ketika itu ditarik dari peredaran, kan menjadi pertanyaan, kalau selama ini tidak diawasi. Ini semua teregistrasi kok, di sinilah saya pikir BPOM ini kecolongan karena proses pendaftaran itu tidak melibatkan BPOM secara aktif," dia menjelaskan.

David menambahkan, seharusnya BPOM tidak bersikap terlalu percaya dengan produsen obat-obatan. Sebab sebagai pengawas, tugasnya itu harus ditunaikan secara maksimal sebelum ataupun setelah obat itu beredar.

"Sebelum beredar artinya bukan hanya mencatat atau meregister, tapi juga meneliti bener enggak ini ada kandungannya, prosesnya. Sekarang mereka dengan bangganya (mengatakan) 73 obat (izin edarnya ditarik). Harusnya engggak bangga, harusnya malu. Karena itu semua sudah mereka keluarkan izin edarnya," ujar dia.

Kecolongan Banyak Institusi

Epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia Dicky Budiman mengungkapkan bahwa adanya kadar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang tinggi pada obat sirup merupakan sebuah kecolongan dari banyak institusi.

"Yang kecolongan Badan POM (BPOM), Kemenkes (Kementerian Kesehatan) juga kecolongan. Wong dia yang supervisi. Kemudian kita harus lihat di hulu, yang impor ekspor ini urusan siapa apakah (Kementerian) Perdagangan, Perindustrian, atau Bea Cukai," kata Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Kamis (10/11/2022).

Dalam mengusut kasus ini, perlu segera ada penguraian untuk mengetahui pihak pemerintah dan institusi mana saja yang bertanggung jawab.

"Di situlah yang harus diurai. Tidak bisa menunggu hanya satu dua pihak, karena ini pemerintah kerja kolektif dan perlu ada koordinasi di situ. Walaupun ada yang bebannya paling besar, dalam hal ini Badan POM dan Kemenkes," ujar Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global ini.

Namun tak menutup kemungkinan institusi lain terlibat dalam terjadinya cemaran EG dan DEG yang tinggi dalam obat sirup di Indonesia. 

"Tapi ada institusi-institusi lain yang kemungkinan belum terungkap atau bahkan belum terlibat. Padahal dalam fakta di lapangan, dia bisa terlibat. Kan itu bisa terjadi. Makanya investigasinya dalam kaitan gagal ginjal akut misterius ini yang jelas, harus tuntas," tambahnya.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas adanya cemaran EG dan DEG di atas ambang batas aman sebuah obat sirup, Dicky meminta ada investigasi menyeluruh. Bukan cuma melibatkan BPOM atau Kemenkes, juga pihak lain. 

"Bukan hanya melibatkan Badan POM, enggak. Ini ada Kemenkes, mungkin ada institusi-institusi lain yang terlibat. Ini harus direspons serius, karena masalahnya ada korban jiwa," tegasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hikmah di Balik Kasus Gagal Ginjal

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E Halim melihat kasus gagal ginjal akut yang terjadi pada anak di Indonesia ini perlu dilihat dalam kacamata hukum. Anak yang menjadi korban perlu dilindungi, dan BPKN siap mendampingi keluarga korban sesuai amanat yang diberikan undang-undang.

"BPKN bersama dengan stakeholder terkait akan menginisiasi proses pidana kepada perusahaan-perusahaan yang disinyalir bersalah terhadap kasus tersebut," jelas dia dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (10/11/2022).

Rizal E Halim menjelaskan, proses pidana ini sejalan dengan Pasal 188 ayat (3) jo Pasal 196 UU Kesehatan menyatakan, setiap orang dengan sengaja memproduksi dan mengedarkan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak penuhi persyaratan keamanan di pidana paling lama 10 tahun dan denda Rp 1 miliar.

Rizal menegaskan berdasarkan Pasal 8 jo. Pasal 62 UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, perihal pertanggungjawaban perusahaan farmasi atas kerugian materiil dan immateril atas kerugian yang terjadi dengan pidana maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 2 miliar.

Lebih lanjut, BPKN memberikan empat rekomendasi kepada pemerintah atas kejadian ini. Pertama, pemerintah harus mengevaluasi secara menyeluruh atas proses penerbitan izin edar obat dari mulai praregister hingga didistribusikan ke pasaran.

Kedua, BPKN RI merekomendasikan supaya pemerintah melakukan audit secara komprehensif dari hulu ke hilir dalam proses sediaan farmasi di Indonesia, termasuk dari industri bahan baku farmasi.

Ketiga BPKN RI akan membentuk tim pencari fakta (TPF) guna mengusut kasus gagal ginjal akut. Dan yang terakhir ke empat BPKN RI medesak pemerintah menaikan status penangangan penyakit ini menjadi kejadian luar biasa (KLB) kesehatan," tutup Rizal.

Sementara itu Peneliti Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global, Dicky Budiman mengungkapkan, ada hikmah dibalik kasus gagal ginjal akut yang terjadi belakangan. Menurutnya, hal ini erat kaitannya dengan tata laksana pemerintahan atau pentingnya good governance, yang mana menjadi tugas besar dalam dunia kesehatan Indonesia.

"Good governance ini bicara akuntabilitas kinerja, transparansi, manajemen data. Banyak sekali di situ yang masih menjadi PR kita, dan PR yang lama menumpuk belum terurai dan terselesaikan. Bahkan di masa pandemi yang mendekati akhir masa krisisnya," ujar Dicky melalui keterangan pada Health Liputan6.com, Kamis (10/11/2022).

"Artinya kita ini tidak mengambil pelajaran yang signifikan dari situasi. Juga, faktor leadership, jadi sangat khas secara riset, saya yang meriset salah satunya bahwa situasi krisis ini menimbulkan tiga PR besar."

Ketiganya adalah leadership, risk management, dan komunikasi risiko yang seharusnya menurut Dicky, mewarnai good governance itu sendiri.

Lebih lanjut Dicky mengungkapkan bahwa salah satu contohnya adalah masalah gagal ginjal akut yang tidak ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Padahal standarnya sudah terpenuhi pada banyak aspek.

"Tanpa penguatan itu (leadership, risk management, dan komunikasi risiko), sebagus apapun aturan regulasi, tidak diterapkan. Contohnya KLB," kata Dicky.

"Kalau leadership-nya lemah, komitmennya lemah, tidak menjadi fokus. Tidak menjadi perhatian utama adanya suatu KLB, meskipun indikasinya sudah memenuhi."

Terlebih, menurut Dicky, hal lain yang lebih memprihatinkan dalam konteks gagal ginjal akut adalah mayoritas obat yang tercemar merupakan obat murah.

Obat tersebut kemudian banyak dikonsumsi oleh kalangan menengah ke bawah dan punya keterbatasan akses pada layanan kesehatan dari sisi finansial dan demografis.

"Ini yang membuat potensi mereka terdeteksi kasusnya juga menjadi minim, karena sistem deteksinya lemah. Komitmennya juga lemah, penjangkauan yang lemah. Akhirnya korban yang ada tidak (semuanya) terdeteksi," ujar Dicky.

"Yang terkuak adalah kasus-kasus yang sifatnya di permukaan atau hanya di sentra-sentra yang dekat dengan pusat kekuasaan atau pusat pemerintahan.

Sedangkan Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menilai, pembentukan TPF terbilang relevan karena isu gangguan ginjal akut bisa menjadi bahan yang berulang. Selain itu, sejauh ini belum ada pihak yang benar-benar bertanggung jawab karena penyebab dari gangguan ginjal akut belum ditetapkan secara final.

“Ya saya kira wajar-wajar saja (pembentukan tim ini) dan tidak ada kata terlambat untuk menelusuri lebih jauh (AKI),” kata Hermawan kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis (10/11/2022).

Terkait pencarian penyebab, Hermawan memberi masukkan agar tim tersebut bisa melakukannya dengan efektif dan mencapai hasil yang baik.

“Ya sebenarnya bisa start (mulai) dari pernyataan Ombudsman ya. Sebenarnya lembaga Ombudsman RI sudah mengatakan bahwa ada temuan maladministrasi dalam kasus ini. Baik dalam pengelolaan oleh otoritas yang berwenang maupun juga tindak lanjut atau dampak ikutan dari kejadian gangguan ginjal akut ini,” jelas dia.

Proses administrasi sendiri terdiri dari produksi, distribusi, dan konsumsi. Di mana distribusi memiliki peran penting. Dalam hal ini, Hermawan menyarankan tim pencari fakta untuk melakukan penelusuran melalui jalur distribusi dan penjualan dari farmasi yang ditengarai sudah tercemar etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG).

Jika jalur distribusi produk farmasi ditelusuri, maka akan ditemukan titik-titik penjualan bebasnya dan berapa volumenya.

“Sehingga konsumsi atau risiko masyarakat itu bisa diestimasi dan dimitigasi. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui betul model penyelidikan yang mengikuti rantai distribusi dan penjualan dari farmasi yang ditengarai sudah tercemar etilen dan dietilen glikol,” kata Hermawan.

3 dari 3 halaman

Nomor Aduan Korban

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah membentuk Tim Pencari Fakta Kasus Gagal Ginjal Akut. Tim ini beranggotakan sembilan orang dan diketuai oleh Wakil Ketua BPKN RI M Mufti Mubarok. 

Selain Muhammad Mufti Mubarok (BPKN RI), juga ada Maneger Nasution (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), Charles Sagala (BPKN RI), M. Said Sutomo (BPKN RI), Tulus (YLKI), Pandu Riono (Akademisi), Stefanus Teguh Edi Pramono (Jurnalis), Yogi Prawira (Ikatan Dokter Anak Indonesia), dan AKBP Brury Santoso (Baintelkam Polri).

Mufti menjelaskan, saat ini BPKN sudah menerima 6 laporan Pengaduan terkait kasus gagal ginjal diantaranya 4 dari Jakarta, 1 Bekasi dan 1 laporan dari Jawa Timur. Atas kasus ini, BPKN mendorong pihak terkait agar bertanggung jawab atas korban pada anak-anak.

Menurut Mufti hal ini perlu diperjuangkan untuk mengusut tuntas kasus tersebut.

"Kami mendapatkan temuan awal bahwa peristiwa gagal ginjal akut yang terjadi di Indonesia merupakan dugaan kejahatan yang terjadi secara sistematis yang tidak hanya melibatkan pelaku usaha akan tetapi kelalaian sistem pengawasan pada peredaran obat-obatan," kata dia dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (10/11/2022).

Kondisi saat ini, sebagian keluarga korban masih dalam keadaan berduka. Meski demikian, mereka tetap terus menuntut kebenaran dan keadilan dengan menyerukan pengusutan secara tuntas kasus ini. Saat proses klarifikasi, kami bertemu dengan korban dan keluarga korban dengan kondisi yang cukup memperhatinkan.

BPKN siap mendampingi keluarga korban sesuai amanat yang diberikan undang-undang No 8 Perlindungan Konsumen. BPKN bersama dengan stakeholder terkait akan menginisiasi proses pidana kepada perusahaan-perusahaan yang disinyalir bersalah terhadap kasus tersebut.

Mufti pun mengimbau korban dan keluarga korban agar segera melaporkan kasus GGAPA melalui posko pengaduan BPKN atau melalui aplikasi pengaduan BPKN 153 dan sosial media BPKN atau nomor WhatsApp 08153153153.

Kementerian Kesehatan mencatat penambahan kasus gagal ginjal anak menjadi 324 kasus per 6 November 2022 yang tersebar di 28 provinsi. Dari jumlah itu, 195 meninggal, 27 dalam perawatan, dan 102 pasien sembuh.

“Tanggal 6 kemarin itu tidak ada kasus yang terlaporkan, baik yang kasus baru maupun kasus yang lama. Termasuk kasus kematiannya ya,” kata Juru Bicara Komunikasi Kemenkes M. Syahril dalam konferensi pers, Senin (7/11/2022).

Adapun DKI Jakarta menjadi provinsi dengan kasus gangguan ginjal akut terbanyak di Indonesia, yaitu dengan 83 kasus. Kemudian, Jawa Barat sebanyak 41 kasus, dan Aceh dengan 32 kasus.

Kemudian, Syahril juga mengungkapkan bahwa tidak ada kasus baru gangguan ginjal akut sejak 2 November. Kasus baru yang terakhir muncul, diakibatkan karena pasien masih mengkonsumsi obat sirop dari apotek.

“Kasus baru gagal ginjal akut mengalami penurunan sejak saat dikeluarkan Surat Edaran Kementerian Kesehatan pada 18 Oktober 2022 yang melarang tenaga kesehatan dan apotek untuk menggunakan obat sirop kepada anak,” kata Syahril.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, penyakit gagal ginjal anak awalnya masuk dari obat sirop yang dikonsumsi. Menurut dia, dalam setiap obat sirop digunakan pelarut tambahan.

"Ini adalah pelarut tambahan yang memang sangat jarang ditulis di senyawa aktif obat dan pelarut tambahan sebenarnya tidak berbahaya. Tapi kalau kualitas produksi pelarut tambahan buruk, dia menghasilkan cemaran cemaran," jelas Budi saat konferensi pers di Kemenkes, Jakarta, Jumat (21/10/2022).

Budi mengatakan, tiga senyawa tersebut masuk ke tubuh dan terjadi proses metabolisme tubuh. Metabolisme tubuh yang alamiah itu mengubah senyawa tersebut menjadi asam oksalat, zat kimia berbahaya.

"Metabolisme mengubah jadi asam oksalat, nah ini berbahaya asam oksalat itu kalau masuk ke ginjal bisa jadi kalsium oksalat. Jadi kaya kristal kecil tajam. Sehingga kalau ada kristal kecil tajam di Balita kita ya rusak ginjalnya," kata Menkes.

Budi juga mengatakan, penurunan angka kematian terjadi sejak digunakannya antidotum Fomepizole sebagai terapi pengobatan gagal ginjal akut. Sejak 25 Oktober 2022, distribusi Fomepizole diperluas. Dari sebelumnya hanya didistribusikan ke RSCM, kini dikirimkan ke 17 rumah sakit di 11 provinsi Indonesia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.