Sukses

Kisah Mereka yang Alami Kekerasan Seksual dan Menanti Keadilan Berpihak pada Korban

Sebagian masyarakat menuding gerak polisi cenderung lamban dalam memproses kasus kekerasan seksual. Bahkan, kesan "diproses setelah viral", akhir-akhir ini melekat pada kinerja pihak kepolisian.

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan seksual yang kerap mendapat pengabaian dalam sistem peradilan, menjadi hal 'lumrah' di mata masyarakat. Sejumlah kasus kekerasan seksual seringkali telat ditangani, bahkan tak jarang pula yang mengendap dan tak diproses hukum.

Sebagian masyarakat menuding gerak polisi cenderung lamban dalam memproses kasus kekerasan seksual. Bahkan, kesan 'diproses setelah viral', akhir-akhir ini melekat pada kinerja pihak kepolisian.

Salah satunya kasus pemerkosaan yang dilakukan anak anggota DPRD Kota Bekasi berinisial AT (21), terhadap seorang remaja berinisial PU (15). Kasus ini cukup mendapat sorotan, tak hanya karena pelaku yang notabene anak pejabat publik, tapi juga proses hukum yang terkesan lamban.

DN, ayah korban, sempat melontarkan kekecewaannya terhadap kinerja polisi yang dinilai lamban menangani kasus yang menimpa putrinya. Kala itu polisi tak kunjung menangkap pelaku, meski laporan dan bukti-bukti sudah diterima sebulan lebih, tepatnya 12 April 2021.

Kasus ini pun banyak disorot media massa dan menjadi viral. Hingga akhirnya polisi menetapkan status tersangka dan memburu AT yang sudah lama kabur. AT pun menyerahkan diri pada 21 Mei 2021, usai dijemput pihak keluarga dari persembunyiannya di wilayah Bandung.

Lambannya penanganan kasus kekerasan seksual ditanggapi pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Aprilia Lisa Tengker. Ia menyebutkan hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, yaitu ketidakberpihakan terhadap korban, yang notabene dianggap sebagai penyebab pemerkosaan terjadi. Hal ini menjadi ironi yang kadung muncul di stigma sebagian masyarakat, bahwa korban dianggap "wajar" diperkosa karena caranya mengimplementasikan diri di lingkungan.

"Korban dianggap penyebab seseorang bisa memerkosanya karena bajunya kah, sikapnya kah, dan lain-lain. Cara pandang seperti ini jadi bahaya karena setiap ada laporan yang masuk, korban akan langsung menerima pertanyaan atau pernyataan yang menyudutkan dirinya," kata Lisa kepada Liputan6.com, Senin (24/5/2021).

Kedua, yakni faktor ketidakpahaman yang masih bisa menjadi celah lambannya penanganan kasus, meski hal ini diragukan bagi institusi berwenang seperti Polri. Karena, kata dia, sejatinya polisi dibekali dengan pengetahuan dan wawasan yang tentunya berkaitan dengan profesinya sebagai penegak hukum.

"Karena yang saya tahu, polisi pasti memiliki program penguatan kapasitas bagi anggotanya. Jika kapasitas sudah diperkuat, harusnya faktor ini tidak masuk," ujar Lisa.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Profesionalitas Polisi Tangani Kasus Kekerasan Seksual

Di balik semua itu, Lisa menyoroti sikap profesionalitas polisi sebagai poin utama. Hal ini yang selalu digaungkan banyak kalangan untuk polisi dapat menyelesaikan setiap kasus secara transparan dan tanpa intervensi.

"Jika semua dirangkum, bisa jadi masalah besarnya adalah tidak adanya profesionalitas dalam menyelesaikan kasus-kasus pemerkosaan. Masih ada praktek memilih kasus yang tidak diketahui apa penyebabnya," jelasnya.

Lisa pun tak menampik adanya beberapa kasus kekerasan seksual yang susah dilaporkan. Hal ini kebanyakan dilatarbelakangi pelaku ataupun keluarga pelaku yang berasal dari kelompok tertentu yang berpengaruh kuat di masyarakat. Misalnya saja politisi, tokoh agama, Polri, TNI, pengusaha dan sebagainya.

"Bukan hanya itu, korban pasti mendapat intimidasi atau ancaman dari pelaku atau keluarganya. Jadi balik lagi masalah profesionalitas polisi yang ternyata belum berubah jika harus berhadapan dengan pelaku yang berasal dari kelompok yang kuat," paparnya.

Adanya faktor-faktor penyebab tersebut, kerap membuat korban kekerasan seksual khususnya dari kalangan bawah, kesulitan mendapat akses keadilan hukum. Dalam hal ini, Lisa menegaskan pemerintah harus memberikan perlindungan dan persamaan perlakuan di depan hukum bagi mereka yang berasal dari kelompok kecil, minoritas, dan tidak mampu. Hal itu merupakan bagian dari perlindungan HAM.

"Persamaan di muka hukum seharusnya diwujudkan dengan terbukanya akses bagi pencari keadilan di setiap lembaga negara, termasuk dari aparat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, MA). Terbukanya akses mencakup adanya pelayanan yang profesional yang diberikan kepada warga kecil," ucapnya.

Selain itu, lanjut Lisa, pemerintah juga harus membuka akses bantuan hukum kepada pencari keadilan dari kelompok kecil tersebut. Seperti pada kasus yang menimpa PU, menurutnya penting sekali adanya pendampingan bagi korban dari segi hukum, kesehatan fisik, psikis, dan sosial.

Lisa menegaskan pemerintah diberikan mandat untuk memberikan bantuan hukum kepada masyarakat tidak mampu dan rentan melalui Undang-Undang Bantuan Hukum. Namun menurutnya akses bantuan hukum saat ini belum merata, dan hal ini perlu dibenahi pemerintah ke depannya.

"Saat ini cukup banyak komunitas atau LBH yang memberikan pendampingan baik hukum, kesehatan fisik, psikis, dan sosial bagi korban kekerasan seksual. Menariknya, hal ini muncul dari kekuatan masyarakat sendiri. Ada sih peran pemerintah, tapi biasanya terlambat atau tinggal ikut," ungkapnya.

Lisa pun meminta pihak kepolisian melakukan tugas dan fungsinya secara lebih profesional, dalam menangani kasus kekerasan seksual yang masih marak terjadi. Utamanya adalah tidak lagi mengeluarkan stigma, bahwa korban sebagai penyebab tindak kekerasan seksual itu sendiri.

Dengan adanya perbaikan kinerja polisi, Lisa meyakini akan banyak korban kekerasan seksual yang selama ini terintimidasi dan ketakutan, menjadi berani untuk melapor. Karena selama ini pelaku kekerasan seksual kerap berkeyakinan korban tidak berani melapor karena tidak percaya kepada aparat kepolisian.

"Polisi juga dapat mengedukasi tentang pencegahan kekerasan seksual ke masyarakat dengan menggandeng Komnas Perempuan, KPAI, Komnas HAM, KPPA, P2TP2A, dan lembaga lain. Tapi menurut saya ini bisa dilalukan jika kepolisian sendiri sudah berbenah," tandasnya.

 

3 dari 5 halaman

Polisi Bantah Lamban

Sementara dari pihak kepolisian, Kasubbag Humas Polres Metro Bekasi Kota, Kompol Erna Ruswing Andari menampik tanggapan petugas bergerak lamban terkait kasus pemerkosaan yang menimpa PU.

"Hak mereka, yang pasti polisi sudah menangani kasus ini. Polisi bekerja sesuai dengan aturan dan prosedur dalam menangani sesuatu kasus," kata dia.

Erna juga membantah anggapan yang menyebut kasus ini cepat diproses setelah ramai diberitakan di media-media online. Ia mengaku petugas telah bersikap profesional dalam menyelesaikan kasus tersebut.

"Kita bekerja sesuai SOP. Perlu adanya data dan bukti-bukti awal atau permulaan dalam suatu kasus. Dan kita juga perlu data awal dari saksi-saksi yang mendengar dan melihat," tegasnya.

Erna pun meminta masyarakat untuk terus mendukung kinerja kepolisian dalam upaya menegakkan hukum sesuai dengan aturan yang berlaku.

"Pasti kita menginginkan dalam penanganan suatu perkara secepatnya untuk diselesaikan sesuai dengan perintah Kapolri yang presisi," Ema memungkasi.

4 dari 5 halaman

Setahun Baru Diusut

Tidak hanya kasus Bekasi. Seorang perempuan di Tangerang Selatan, inisial AF, harus menunggu setahun pelaku kekerasan seksual terhadapnya ditangkap. Selama setahun pula dia menyimpan trauma akibat penderitaan yang dialaminya. 

Polisi menangkap RI yang diduga memperkosa AF di kediamannya di kawasan Parigi, Pondok Aren, Tangerang Selatan, setelah kisah tersebut dituturkan korban melalui media sosial.

Setahun, bagi AF adalah waktu yang panjang untuk mencari kepastian penegakan hukum atas apa yang dialaminya. Sebagai korban, dia menunggu kabar baik pelaku ditangkap dan dihadapkan ke meja hijau. Jalur formil hukum dia tempuh dengan melaporkan peristiwa tersebut ke kepolisian.

Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah menjadi korban kekerasan seksual dan menyimpan trauma berkepanjangan, AF kembali menjadi korban untuk kesekian kalinya. Selama setahun menunggu pelaku ditangkap, AF mengalami teror yang dikirim pelaku kepada dirinya di media sosial. Ketakutan pun menghinggapinya.

AF membagikan tangkapan pesan pelaku di media sosial yang meminta maaf kepadanya. Saat itu, pelaku meminta maaf soal kepala korban yang terluka dan mengaku tidak bermaksud melakukan itu. Namun, lama-kelamaan berubah menjadi teror. 

"Pada hari bersamaan, dia (pelaku) memutuskan untuk mengirimiku pesan, pertama meminta maaf, tetapi kemudian mengancamku lagi karena menurutnya 'dia membiarkanku hidup'. Dia menggunakan VPN untuk meneror IG lamaku," kata AF, seperti dilihat pada unggahan media sosial miliknya.

Kabar baik dia terima, akhirnya polisi merespons kisah AF dan menangkap RI beberapa hari setelah kisah itu viral dan menjadi buah bibir di masyarakat. Ketika kepastian soal pemerkosanya ditangkap, AF terpikir media sosial menjadi jalan lain yang dia tempuh untuk mencari keadilan tersebut. 

Langkah kepolisian tersebut direspons sebagian masyarakat. Pertanyaan kemudian muncul: mengapa setelah kisah AF viral di media sosial langkah cepat baru dilakukan kepolisian? Di sisi lain AF harus menunggu kepastian di tengah trauma dan teror pelaku yang dia alami. 

Polisi kala itu melalui Kepala Satuan Reserse Polres Tangerang Selatan, Ajun Komisaris Muharram Wibosono, membeberkan alasan mengapa pihaknya butuh waktu setahun untuk mengungkap kasus AF. Perwira pertama kepolisian itu tidak menyinggung bahwa viralnya kisah AF di media sosial memantik respons cepat polisi untuk mengungkap kasus tersebut.

"Proses penyidikan karena baik korban maupun saksi yang diperiska tidak megenal identitas pelaku, butuh proses identifikasi pelaku ini," kata Muharram.

Meski memiliki rekaman CCTV, kata dia, peyidik tetap harus mendalami dan memastikan orang yang diduga pelaku tersebut. "Kami harus memastikan kembali apakah orang di CCTV tersebut orang yang kita duga selama ini?" kata Muharram.

5 dari 5 halaman

Diam Meski Pelaku Berkeliaran di Depan Mata

 

Kasus serupa dimana korban kekerasan seksual menanti keadilan di tengah trauma yang dialami juga menimpa seorang perempuan asal Bojong Gede, Kabupaten Bogor.

Berbeda dengan AF yang mengambil langkah mengisahkan tragedinya di media sosial sebagai langkah akhir. NH (19) memilih untuk diam dan menunggu kepastian hukum yang menjerat pimpinan pondok pesantren di Bojong Gede, Kabupaten Bogor.

Dia menilai Polres Metro Depok lamban menyelesaikan perkaranya tersebut. NH sendiri membuat laporan polisi pada November 2019.

"Saya merasa kasus ini lama sekali diprosesnya. Masa sudah hampir sepuluh bulan belum juga clear," kata NH saat dihubungi, Rabu (12/8/2020).

Dia tentunya selalu meminta penjelasan kepada penyidik terkait perkembangan kasus yang dilaporkannya tersebut. Salah satu penyidik yang disebut adalah R. NH saat itu mempertanyakan keberadaan pelaku.

Terakhir kali pada 1 Mei 2020. Tapi, sampai sekarang tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan hati. Bahkan, yang menurutnya mengerikan, pelaku berinisial ANM ini masih berkeliaran di lingkungan pondok pesantren yang juga tidak jauh dari tempat tinggalnya.

NH mengaku tak memiliki bukti terkait tuduhanya itu, hanya saja isu ini sudah ramai diperbincangkan di lingkungannya. Kendati demikian, NH tapi memiliki bukti pelaku masih bebas berkeliaran. Meski, sudah menyandang status tersangka pada 17 Februari 2020 lalu.

Beberapa teman NH mengabadikan dengan kamera ponsel aktivitas pelaku. Salah satunya pada 11 Juli 2020. Saat itu, pelaku ANM menghadiri sebuah acara di pondok pesantren yang dipimpinnya. Foto itu pun ditunjukkan kepada Liputan6.com.

“Bulan Juli saya dapat foto dari teman saya. Udah di situ saya semakin sakit hati. Pelaku berani memunculkan diri. Padahal kasus saya belum jelas perkembangannya gitu-gitu aja,” ucap dia.

Kasubag Humas Polres Metro Depok AKP Elly Padiansari mengatakan drinya harus menanyakan rinci kepada penyidik yang menangani kasus tersebut.

"Nanti saya tanya penyidiknya," kata dia saat dihubungi, Rabu (12/8/2020).

Elly malah balik bertanya maksudnya mencecar kasus tersebut. “Ini dari keluarga korban atau dari mana, wartawan kok iniin kasus sih,” cetus Elly.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.