Sukses

Ancaman Denda Rp1 Juta Tak Efektif, Pemburu Foto Geisha di Kyoto Jepang Makin Meresahkan

Fenomena 'geisha paparazzi' menjamur di Kyoto hingga meresahkan geisha dan maiko setempat akibat perilaku fotografer yang tak sopan, bahkan melecehkan.

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena 'geisha paparazzi' di Kyoto, Jepang, meresahkan warga setempat. Fenomena itu merujuk pada wisatawan yang memburu foto geisha dan maiko secara ekstrem. Akibatnya, pemerintahan setempat Jepang mengeluarkan aturan tegas untuk wisatawan ketika akan berinteraksi dengan para geisha.

Geisha dan maiko (remaja magang yang dilatih menjadi geisha) adalah wanita yang menampilkan seni tradisional Jepang seperti menyanyi, menari, dan memainkan alat musik untuk menghibur pelanggan saat mereka makan dan minum.  Mengutip CNN, Jumat, 1 Maret 2024, para geisha tersebut bekerja dan tinggal di Gion, Kyoto, sebuah kawasan kota wisata paling populer dan bersejarah di Jepang.

Ketika para wanita ini berjalan untuk berangkat atau pulang kerja, tampilan mereka menjadi daya tarik wisata. Banyak pengunjung yang mencoba mengambil foto mereka saat mereka melintas. Namun, seringkali wisatawan asing tidak paham adat istiadat dan etika Jepang.

Hal itu mendorong otoritas Kyoto melarang wisatawan mengambil foto geisha dan maiko sembarangan sejak 2015. Pemerintah Kyoto membuat pamflet dan selebaran kertas berisi piktogram untuk menggambarkan 'aktivitas yang mengganggu'. Simbol-simbol tersebut meliputi membuang sampah sembarangan, menggunakan tongkat selfie, merokok di area terlarang, dan mengambil foto geisha dan maiko.

Namun, selebaran itu rupanya tetap diabaikan sebagian wisatawan. Titik puncaknya pada 2019, yakni masuknya laporan tentang wisatawan yang berperilaku buruk menarik-narik kimono wanita, mengejar mereka dengan kamera dan smartphone, serta mencabut hiasan rambut mereka (kanzashi) dan bahkan melempari mereka dengan puntung rokok.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Wisatawan Banyak yang Mengabaikan Peraturan

Pada tahun yang sama, Gion mulai memasang tanda dan pemberitahuan yang melarang aktivitas fotografi dan memperingatkan bahwa pelanggar akan dikenakan denda. Hingga saat ini, papan larangan tersebut masih ada. Pengumuman dalam tiga bahasa tersebut menjelaskan bahwa wisatawan tidak boleh mengambil foto geisha tanpa izin, dan pelanggar dapat dikenakan denda hingga 10ribu yen. (sekitar Rp1 juta).

Namun, Sekretaris Perwakilan Dewan Distrik Sisi Selatan Kota Gion, Isokazu Ota, mengatakan kepada CNN bahwa denda tersebut tidak berjalan efektif. Tetap saja banyak wisatawan yang melanggar.

Untuk itu, dewan lokal Gion mencari cara lain untuk menghalau 'paparazi'. Mereka berencana menutup gang-gang kecil yang banyak dilalui maiko dan geisha, untuk turis pada April 2024. Jalan raya utama Gion, Hanamikoji, pun akan dilarang untuk mengambil foto karena ini adalah jalan umum. 

"Orang-orang yang memotret jalanan Gion di jalan utama dan wisatawan yang memotret maiko dari jauh mungkin tidak mengetahui aturan yang melarang fotografi," kata Ota. 

3 dari 4 halaman

Wisatawan Harus Didampingi Pemandu Wisata Jepang

"Tapi menurut saya turis asing yang menunggu maiko keluar di gang-gang di area terlarang fotografi di Gion tahu aturannya tapi mengabaikannya. Bahkan jika kami memperingatkan wisatawan, sulit untuk menghubungi mereka saat ini," tambah Ota.

Akibat banyaknya 'geisha paparazi' semenjak pandemi, Ota juga mengatakan bahwa beberapa penduduk setempat juga mengambil tindakan untuk mendisiplinkan wisatawan. Ota dan penduduk Gion lainnya masih mencari cara untuk mengatasi masalah tersebut.

Dia menyarankan agar semua wisatawan yang datang ke lingkungan tersebut harus didampingi oleh pemandu wisata Jepang yang dapat mendidik mereka tentang etika. Faktor pendidikan juga menjadi salah satu yang membantu masalah ini. Ia percaya bahwa seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan membantu wisatawan menemukan cara untuk bertemu dan berinteraksi dengan maiko dan geisha tanpa melecehkan mereka di jalan.

Misalnya, ketika ada pertunjukan teater di Gion yang terletak di Jalan Hanamikoji. Dalam acara tersebut, akan ada pertunjukan maiko. Untuk dapat berfoto dan berinteraksi dengan mereka, penonton harus menunggu sampai acara selesai, setelah itu penonton dapat berfoto bersama para wanita tersebut.

4 dari 4 halaman

Masalah Serupa di Hanoi dan Pulau Paskah

Masalah etika dalam mengambil foto di destinasi wisata populer banyak terjadi di tempat lain. Hanoi misalnya. Train Street yang populer di Hanoi, tempat rumah-rumah terletak hanya beberapa inci dari jalur kereta api era kolonial, menjadi populer di Instagram dalam beberapa tahun terakhir.

Wisatawan asing bahkan sengaja datang ke sana untuk berfoto atau membuat konten. Namun karena jalur tersebut masih banyak digunakan secara aktif dan berisiko akan mencederai, hal tersebut menimbulkan masalah keamanan yang lebih besar. Pemerintah daerah Hanoi akhirnya memerintahkan semua kafe di sepanjang Train Street ditutup pada 2022 dan mencabut izin usaha mereka.

Kasus serupa juga terjadi di Pulau Paskah. Destinasi dimaksud adalah Patung Moai yang jadi objek foto favorit dengan pengunjung datang berpose seolah sedang mengupil dengan latar patung tersebut. Pengunjung menjadi masif dan diperparah dengan etika foto yang buruk.

Pemerintah setempat mengatasinya dengan serangkaian aturan. Dua di antaranya adalah memangka visa turis dari 90 hari menjadi 30 hari, dan pengunjung hanya dapat berjalan di jalur yang telah ditentukan dan dilarang mendekati patung Moai.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.