Sukses

Sri Lanka Gelar Sensus Khusus Para Mendiang

Sensus akan mengumpulkan informasi mereka yang meninggal dunia, hilang, juga properti yang rusak dari tahun 1983 sampai 2009.

Sri Lanka mengadakan sensus. Bukan orang hidup yang dihitung, melainkan para mendiang. Negeri yang juga dikenal sebagai Ceylon itu akan memulai survei untuk menentukan jumlah orang yang tewas selama 26 tahun perang saudara.

Sensus akan mengumpulkan informasi mereka yang meninggal dunia, hilang, juga properti yang rusak dari 1983 sampai 2009.

Survei dilakukan di tengah tekanan internasional terkait dugaan kematian massal penduduk sipik di akhir konflik berdarah. Konferensi tingkat tinggi Commonwealth yang digelar di Sri Lanka bulan ini juga dibayang-bayangi klaim kejahatan perang.

Angkatan bersenjata Sri Lanka mengalahkan pemberontak Macan Tamil pada Mei 2009 lalu. Diduga, pihak pemerintah melakukan sejumlah kekejaman di masa-masa terakhir perang. Di sisi lain, pihak pemberontak juga dituding melakukan pelanggaran. PBB melaporkan sekitar 40 ribu warga sipil Tamil diperkirakan tewas selama konflik.

Pihak pemerintah menolak mentah-mentah tuduhan itu, dan bersikukuh mereka terus melakukan rekonsiliasi.

"Petugas akan melakukan sensus di seluruh pulau untuk mencatat koban jiwa dan kerusakan properti yang terjadi dalam konflik yang berlangsung selama hampir 3 dekade," demikian pengumuman pemerintah Sri Lanka, seperti dikutip dari BBC, Kamis (28/11/2013).

"Sensus akan diselesaikan dalam waktu 6 bulan, dan akan dimulai pada 28 November 2013."

Sekitar 16 ribu petugas akan diturunkan dalam sensus, mendatangi rumah-rumah keluarga yang terdampak konflik untuk mengumpulkan informasi.

Sensus juga dilatarbelakangi sikap dari pimpinan India, Mauritius, dan Kanada yang memboikot KTT Commonwealth, sebagai bentuk protes atas perlakukan terhadap warga Tamil oleh pemerintah Sri Lanka.

Media pemerintah mengabarkan, langkah terakhir pemerintah untuk menghitung korban perang adalah bagian dari laporan internal Komisi Pembelajaran dan Rekonsiliasi atau Lessons Learnt and Reconciliation Commission (LLRC), yang dipublikasikan pada November 2011.

Sebaliknya, kelompok hak asasi manusia mengatakan hasil kinerja LLRC cacat dan tidak menunjukkan adanya pertanggungjawaban pemerintah atas dugaan kekejaman yang dilakukan di masa perang. (Ein/Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini