Sukses

Brunei Tunda Penerapan Hukuman Rajam Sampai Mati untuk Seks Gay

Brunei Darussalam menunda penerapan klausul undang-undang syariah baru, salah satunya rajam sampai mati untuk seks gay.

Liputan6.com, Bandar Sri Begawan - Brunei Darussalam menunda penerapan klausul undang-undang syariah baru, salah satunya rajam sampai mati untuk seks gay.

Pada Minggu 5 Mei 2019, Sultan Hassanal Bolkiah memperpanjang moratorium hukuman mati dalam undang-undang syariah baru Brunei, demikian seperti dilansir BBC pada Senin (6/5/2019).

Dalam sebuah pidato, sultan menyadari ada "banyak pertanyaan dan kesalahpahaman" mengenai implementasi undang-undang baru tersebut.

Tidak jelas berapa lama moratorium itu akan berlaku.

Meski menetapkan bahwa moratorium akan diberlakukan, namun sultan tetap membela kehadiran undang-undang syariah baru (SPCO), mengatakan bahwa itu akan membawa "manfaat yang jelas."

Pidato itu merupakan pertama kalinya sang sultan berbicara di depan umum tentang undang-undang baru sejak diperkenalkan.

Sebelum ada undang-undang baru, homoseksualitas sudah ilegal di Brunei yang mayoritas muslim, dan dapat dihukum hingga 10 tahun penjara.

Muslim membentuk sekitar dua pertiga dari populasi negara itu dari total 420.000 jiwa.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Kecaman Internasional Atas Hukum Rajam Sampai Mati

Di bawah undang-undang syariah yang baru (diperkenalkan pada 2014 dan diimplementasikan penuh pada 2019), pria yang dituduh melakukan hubungan seks gay terancam dihukum rajam sampai mati jika mereka mengakui perbuatan atau terlihat melakukan tindakan oleh empat orang saksi.

Hingga kini, belum jelas bagaimana prosedur peradilan hingga vonis penghukuman itu bakal terlaksana --jika pada akhirnya diimplementasikan.

Namun, regulasi terlanjur telah memicu kecaman dan protes internasional, figur ternama dunia, termasuk yang datang dari Kantor Komisaris Tinggi HAM PBB.

Di sisi lain, meski Brunei menerapkan hukuman mati dalam hukum pidananya, negara kaya minyak itu belum pernah melakukan eksekusi sejak 1957 --saat itu Brunei masih menjadi protektorat Inggris dan baru merdeka pada 1984-- menjadikannya sebagai salah satu negara abolitionist in practice selama lebih dari enam dekade.

3 dari 3 halaman

Sekilas Sistem Hukum di Brunei

Brunei Darussalam pertama kali memperkenalkan hukum syariah pada 2014 meskipun ada kecaman yang meluas.

Pemberlakuan itu menjadikan Brunei negara yang menerapkan sistem hukum pidana ganda dengan mengkombinasikan prinsip Syariah dan Common Law. Sultan pada saat itu mengatakan bahwa sistem hukum pidana ganda akan berlaku penuh selama beberapa tahun.

Fase pertama, yang mencakup kejahatan yang dapat dihukum dengan hukuman penjara dan denda (praktik penghukuman Common Law), dilaksanakan pada tahun 2014.

Brunei Darussalam kemudian menunda memperkenalkan dua fase terakhir, yang mencakup kejahatan yang dapat dihukum dengan amputasi hingga rajam (praktik penghukuman Hukum Syariah) --sampai kemudian pemerintah merilis sebuah pernyataan di situs webnya yang mengatakan bahwa hukum pidana syariah akan sepenuhnya diterapkan pada Rabu 3 April 2019.

Undang-undang syariah itu juga melarang aktivitas lain, seperti mencuri dengan ancaman hukuman potong tangan hingga aborsi dengan ancaman cambuk publik. Tindakan zinah, sodomi, perkosaan hingga penistaan agama juga dilarang dengan ancaman maksimal hukuman mati.

Hukuman untuk seks lesbian (sesama perempuan) cenderung lebih ringan, tetapi mereka masih bisa dicambuk hingga 40 kali dan dipenjara selama 10 tahun.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.