Sukses

Angkat Kisah Pengungsi di Cisarua, Mahasiswa RI Juarai Lomba PBB

Empat mahasiswa Indonesia memenangi kompetisi video '2017 UNESCO Youth Multimedia Contest' di bawah naungan PBB.

Liputan6.com, Washington, DC - Empat mahasiswa Indonesia belum lama ini berhasil memenangi kompetisi video "2017 UNESCO Youth Multimedia Contest" untuk kategori usia 20-24 tahun. Kompetisi itu diselenggarakan oleh US Federation of UNESCO Clubs and Association, yang mencakup bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan di bawah naungan PBB.

Mereka adalah Anggi Nurqonita, Bimo Arief Wicaksana, Fitri Aulia Ikhsani, dan Irene Angela, yang semuanya merupakan mahasiswa Universitas Indonesia.

Seperti dikutip dari VOA Indonesia, Minggu (16/9/2017), kompetisi tahunan itu diikuti oleh remaja dari 76 negara yang menyuarakan pendapat mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan dunia. Kali ini, kompetisi tersebut mengangkat isu mengenai pengungsi dan solusi yang diperlukan lewat penggarapan video pendek.

"Memang lagi hot banget kan belakangan ini masalah pengungsi yang ditolak di mana-mana dan sebagainya. Nah, kita sendiri mengambil temanya dari satu sekolah untuk pengungsi yang ada di daerah Puncak di Cisarua. Nah kita bahas di situ, gimana caranya (memberdayakan) para refugee ini tanpa menyusahkan negaralah, istilahnya begitu, dan kebetulan menang,” papar Irene Angela.

Ide awal dari video ini bermula dari pengalaman Irene dan teman-temannya saat menjadi relawan di Cisarua Refugee Learning Center di Cisarua, Bogor. Tempat tersebut kini menjadi lokasi belajar anak-anak pengungsi yang berasal dari berbagai negara, seperti Pakistan, Afganistan, dan Arab Saudi.

"Kebetulan kita tahu soal refugee center ini, jadi kita merasa kayak cocok banget, 'wah ini bagus nih untuk dibawa,' apalagi dipresentasikannya ke dunia mungkin bisa diikuti juga jejaknya sama orang-orang yang lihat nanti," kata Irene.

Mereka kemudian mengangkat cerita mengenai para pengungsi tersebut ke dalam video berdurasi kurang dari lima menit dengan judul "Alternative-to-Detention: Where Youth and Children Refugees Can Still Dream High".

"Pengungsi-pengungsi anak-anak menurut kami tidak sebaiknya diberikan detention atau seperti dikekang di penjara, karena mereka anak-anak dan remaja. Seharusnya mereka bisa tetap mendapatkan haknya untuk mendapatkan pendidikan. Samalah seperti anak-anak non-refugees lainnya," ujar Anggi Nurqonita.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Penggarapan Video

Anggi bisa merasakan semangat hidup dari para pengungsi yang ia temui, walaupun telah melalui masa-masa yang berat.

"Mereka diberikan kesempatan untuk tetap hidup, untuk tetap mendapatkan pendidikan. Mereka itu sebenarnya sama saja seperti kita. Mereka bisa berkreasi, ada yang memenangi lomba biola, memenangi lomba matematika. Jadi, ketika kita memberikan harapan kepada refugees, refugees itu pun bisa memberikan manfaat bagi sekitarnya," tambah Anggi.

Penggarapan video tersebut membutuhkan waktu sekitar dua setengah bulan, dimulai dari pembuatan konsep, pengambilan gambar, hingga penyuntingan.

"Tantangannya sih mungkin harus ke sananya ya karena kan enggak dekat ke Cisaruanya. Tapi untungnya sih orang-orang sana sangat kooperatif dan mau banget disyuting gitu. Mereka ingin menyuarakan juga kalau mereka itu bikin refugee center ini," kata Irene.

Pengalaman membuat video ini menjadi sangat berharga ketika mereka dapat bertemu dan berinteraksi langsung dengan para pengungsi yang memiliki beragam latar belakang.

"Mayoritas masyarakat menganggap refugees itu negatif, ternyata ketika kami berinteraksi secara langsung dengan mereka, mereka juga sama kok seperti kita," ujar Anggi.

Para pemenang kontes ini dianugerahi piagam penghargaan di Amerika. Anggi dan Irene mewakili timnya untuk menerima penghargaan tersebut.

Selain itu, para pemenang mendapatkan beasiswa untuk mengikuti program kepemimpinan selama dua minggu di Hood College di Frederick, Maryland. Melalui program ini, para peserta mendapatkan pelatihan dan diikutsertakan dalam sidang simulasi PBB sebagai delegasi dari Indonesia.

Untuk ke depannya mereka berencana untuk melanjutkan proyeknya yang juga fokus untuk memberikan bantuan dalam bentuk pendidikan kepada para pengungsi yang khususnya berada di Indonesia.

"Isinya sebenarnya simpel banget kita menggagas apa yang dilakukan sama Cisarua (Refugee) Learning Center ke seluruh dunia, dengan melalui video kita itu salah satunya. Nanti kita inginnya sih kayak bikin website," ujar Irene.

Situs web tersebut akan berfungsi tidak hanya sebagai penyedia bantuan bagi yang membutuhkan, tetapi juga bisa menerima berbagai bantuan dari berbagai pihak.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.