Sukses

Ketidakpastian Regulasi Bikin Investasi Properti Melambat

BKPM menyebut realisasi investasi asing sepanjang 2018 turun 8,8 persen menjadi Rp 392,7 triliun‎ dibandingkan 2017 yang mencapai Rp 430,5 triliun.

Liputan6.com, Jakarta - Investasi asing di Indonesia dilaporkan mengalami pelambatan. Menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing (PMA) sepanjang 2018 turun 8,8 persen menjadi Rp 392,7 triliun‎ dibandingkan 2017 yang mencapai Rp 430,5 triliun.

Tahun ini pun diproyeksi arus PMA melambat, terutama di kuartal I. Termasuk bagi investasi properti yang juga mengalami kelesuan beberapa tahun terakhir.

Penyebab mandeknya pertumbuhan investasi properti ini terdiri dari beberapa faktor, salah satunya regulasi pemerintah terhadap asing. Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Totok Lusida menyatakan, regulasi yang berbenturan membuat asing ragu menanamkan modal di Indonesia.

"Ada kerancuan antara UU lama dan UU baru. Memang seharusnya UU lama jalan dulu sambil nunggu UU baru," ungkapnya di Jakarta, Rabu (10/7/2019).

Adapun sebelumnya, kepemilikan properti asing diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA). Namun karena dinilai berbelit dan tidak ramah investasi, UUPA ini direvisi.

Banyak poin yang dinilai membingungkan dan perlu mendapat penjelasan rinci, seperti definisi warga negara asing, definisi izin tinggal, hingga hak milik.

Selagi menunggu revisi yang belum pasti, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015, PP No 29 Tahun 2019, dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 23 Tahun 2016.

Revisi UU ini sendiri tengah dibahas di DPR, meskipun belum dipastikan kapan akan tuntas. Diharapkan revisi UU ini bisa menggenjot angka investasi properti oleh asing di Indonesia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Pemangkasan PPh Rumah Mewah Berdampak ke Banyak Sektor

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memangkas Pajak Penghasilan (PPh) atas penjualan rumah dan apartemen mewah dengan harga di atas Rp 30 miliar. Besaran PPh dipangkas dari dari 5 persen menjadi hanya 1 persen. Pemangkasan PPh tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2019 yang diteken Sri Mulyani pada 19 Juni 2019 lalu.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan, keputusan ini dilakukan untuk mendorong industri properti tanah air. Kebijakan anyar ini diharapkan dapat menggeliatkan kembali industri properti tahun ini.

Dia menjelaskan bahwa sektor properti merupakan sektor bisnis yang memiliki multiplier effect. Karena itu, jika bisnis properti naik, maka sektor bisnis lain yang terkait dengan properti juga akan terkena imbasnya.

"Karena properti ini kan multiplier effect-nya tinggi ke sektor-sektor lain, cukup besar," kata dia, di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Selasa (25/6/2019).

Salah satu sektor yang akan kena dampak positif jika industri properti kembali hidup, ia mencontohkan bisnis penjualan semen.

"Kalau sekarang batas dinaikkan dampaknya sudah akan mulai sejak berlaku itu," terang dia.

Dia pun menyatakan pihaknya belum akan memangkas pajak untuk penjualan barang mewah lainnya, seperti kapal dan yacht meski keduanya mempengaruhi sektor pariwisata.

"Iya, tapi ini fokus ke properti dulu, yacht nanti pikirkan yang lain dulu," ujar Hestu. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menurunkan pajak penghasilan (PPh) atas penjualan rumah dan apartemen dengan harga di atas Rp 30 miliar.

3 dari 3 halaman

PMK Nomor 92/PMK.03/2019

Sebelumnya pemerintah juga telah menurunkan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atas rumah mewah, apartemen dan kondominium untuk mendorong pertumbuhan sektor properti.

Pemerintah juga menurunkan PPh atas kendaraan bermotor dengan harga di atas Rp 2 miliar menjadi lima persen.

Penurunan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 92/PMK.03/2019 tentang perubahan kedua atas PMK 253/PMK.03/2008 tentang wajib pajak badan tertentu sebagai pemungut pajak penghasilan dari pembeli atas penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Dalam PMK ini disebutkan, barang yang tergolong sangat mewah di antaranya adalah:

a.Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atas harga pengalihannya lebih dari Rp 30 miliar atas luas bangunan lebih dari 400 m2

b.Apartemen, kondominium dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp 30 miliar atas luas bangunan lebih dari 150 m2

c.Kendaraan bermotor roda emat pengangkutan orang kurang dari 10 orang, dengan harga jual lebih dari Rp 2 miliar atau dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000cc

d. Kendaraan bermotor roda dua dan tiga dengan harga jual lebih dari Rp 300 juta atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250 cc.

Besarnya pajak penghasilan terhadap barang yang tergolong sebagai barang mewah antara lain:

1.Satu persen dari harga jual tidak termasuk pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) untuk a dan b.

2. Lima persen dari harga jual tidak termasuk pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah (PPN dan PPnBM) untuk huruf c dan d.

Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak penghasilan dalam tahun berjalan bagi wajib pajak yang melakukan pembelian barang yang tergolong sangat mewah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.