Sukses

Rupiah Tembus 14.000 per Dolar, Gubernur BI Diminta Ambil Langkah Antisipasi

Gejolak yang terjadi pada rupiah merupakan dampak dari kenaikan suku bunga di Amerika Serikat.

Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar Rupiah yang menembus Rp 14.000 per Dolar Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan bisa mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Bank Indonesia (BI) diminta segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menguatkan nilai tukar rupiah yang mencerminkan kekuatan ekonomi nasional.

Ini disampaikan anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun, yang menyatakan jika bank sentral adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas stabilitas rupiah.

“Sepertinya Pak Agus Martowardojo tidak ingin mewariskan nilai tukar rupiah yang kuat sebagai legacy jabatannya sebagai Gubernur Bank Indonesia,” ujar politikus yang dikenal getol membela kebijakan Presiden Joko Widodo itu.

Dia juga mengaku kaget sebab saat rupiah menembus 14.000, ternyata posisi Gubernur Bank Indonesia sedang tidak di Indonesia dan sedang melakukan perjalanan ke luar negeri.

Sebab itu, Misbakhun meminta Agus Martowardojo yang tinggal beberapa hari lagi menjabat kursi Gubernur BI agar segera pulang ke Indonesia dan membereskan gejolak rupiah.

“Saya meminta Gubernur Bank Indonesia segera pulang dan memperpendek perjalanan dinas segera pulang untuk mengurus nilai kurs rupiah,” tegasnya.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara sebelumnya mengatakan, gejolak yang terjadi pada rupiah merupakan dampak dari kenaikan suku bunga di Amerika Serikat.

Ini membuat perubahan pada pergerakan modal global sehingga berimbas pada nilai tukar mata uang di dunia, termasuk Indonesia. 

"Tapi kalau menurut BI perubahan pergerakan modal di dunia ini volatilitas tidak seperti 2013 yang saat itu keras sekali. Karena itu pertama kalinya AS menyatakan suku bunga akan naik. Lalu di 2015, volatilitas cukup tinggi. Jadi 2013 diumumkan, 2015 naik suku bunganya. Jadi volatilitas  2013 dan 2015 cukup tinggi," ujar dia di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (8/5/2018).

Menurut Mirza, kenaikan suku bunga pada 2018 ini akan menyebabkan volatilitas yang terjadi pada nilai tukar hanya bersifat sementara saja. Bukan hanya rupiah, hal ini juga terjadi pada mata uang lain.

"Tapi kalau 2018 itu kenaikan suku bunga di AS yang berlanjut ini menurut kami sih volatilitas sementara saja dan dialami oleh berbagai negara. Filipina, India juga ada volatilitas. Turki, Brasil, bahkan negara negara maju seperti Swedia, Norwegia, Australia juga melemah kursnya," kata dia.

Mirza mengakui, bagi negara-negara yang nilai ekspor-impor barang dan jasanya defisit akan cenderung melemah. Namun hal tersebut bukan suatu hal yang perlu menjadi kekhawatiran, sebab defisit yang dialami Indonesia masih dalam level yang aman.

"Tahun lalu 1,7 persen terhadap PDB. Tahun ini jadi 2,2-2,3 persen PDB itu masih sangat prudent. Dan itu disebabkan oleh kenaikan impor. Kenaikan impor itu juga mengirimkan kesan positif karena kenaikan impor itu akibat kenaikan impor barang modal, barang mentah, setengah jadi, dan itu dibutuhkan untuk produksi," ungkap dia.

Selain itu, dengan pertumbuhan ekonomi dan investasi yang cenderung baik, pelemahan rupiah ini tidak akan terlalu berdampak pada perekonomian.

"Kemarin di data PDB kan tunjukkan bahwa sektor investasi itu pertumbuhan kan tinggi. Di atas 7 persen dan itu menunjukkan bahwa kenaikan impor itu memang untuk produksi yang kelihatan di sektor investasi dan kontruksi yang meningkat. Jadi itu nanti akan jadi modal pertumbuhan ekonomi ke depan," tandas dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Rupiah Tembus 14.000 per Dolar AS, Terendah sejak Desember 2015

Nilai tukar rupiah kembali terpuruk. Rupiah tercatat diperdagangkan di atas 14.000 per USD untuk pertama kalinya sejak Desember 2015. Ini dipicu kekhawatiran jika pertumbuhan ekonomi yang di luar target, dapat membatasi opsi bank sentral untuk mempertahankan mata uang ini.

Mengutip laman Bloomberg, Senin (7/5/2018), rupiah anjlok 0,5 persen menjadi 14.003 per USD, sebelum diperdagangkan pada 13.999 pukul 04.55. Dalam tiga bulan terakhir, mata uang Garuda telah melemah 3,2 persen. Ini membuatnya menjadi pemain terburuk kedua di Asia setelah rupee India, mengutip data Bloomberg.

Perekonomian Indonesia dilaporkan tumbuh di luar target pada kuartal I tahun ini. BPS melaporkan ekonomi nasional hanya tumbuh 5,06 persen dari target 5,2 persen.

Kondisi ini diprediksi akan mempersulit langkah Bank Indonesia untuk meningkatkan suku bunga guna melindungi mata uang. Bank sentral telah meningkatkan pembelian obligasi negara dari pasar sekunder untuk membendung aksi jual dan melakukan intervensi di pasar valas untuk menstabilkan rupiah.

Menurut Mingze Wu, pedagang mata uang INTL FCStone Inc di Singapura, tekanan pada mata uang dapat terus berlanjut karena investor asing akan mengonversi dividen dan pembayaran bunga saham dan obligasi dalam denominasi Rupiah menjadi dolar. "Ini hanya musiman yang menambah tekanan," kata Wu.

"Meskipun demikian, 14.000 adalah penghalang psikologis sehingga bank sentral mungkin masih memainkan bagian untuk mempertahankan ini," lanjut dia.

Namun, Kepala Ekonomi dan penelitian PT UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja, menilai ada kesalahpahaman jika ekonomi Indonesia tampak sedang menuju kemunduran seperti yang ditunjukkan oleh depresiasi rupiah.

“Tapi kami melihat ini sebagai penguatan dolar yang luas, dan upaya yang diambil oleh Bank Indonesia untuk campur tangan dari waktu ke waktu untuk memperbaiki kesalahpahaman dibenarkan,” dia menuturkan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.