Sukses

Menangkap Untung Investasi Jangka Panjang di Tengah Resesi Global

Selain resesi, di tengah tekanan suku bunga the Federal Reserve (the Fed), obligasi menjadi salah satu instrumen yang bisa dipertimbangkan.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonomi dunia masih gonjang-ganjing. Belum benar-benar usai dari pandemi COVID-19, dunia kini diharapkan dengan resesi. Hal itu menyusul tingginya inflasi akibat harga komoditas energi yang melejit, buntut terganggunya pasokan komoditas dunia.

Direktur PT Ashmore Asset Management Tbk (AMOR), Steven Satya Yudha mengatakan, selain resesi, di tengah tekanan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed), obligasi menjadi salah satu instrumen yang bisa dipertimbangkan.

"Obligasi adalah salah satu aset yang dirugikan saat suku bunga naik. Suku bunga naik, biasanya harga obligasi turun. Jadi berinvestasi di pasar obligasi saat ini sepintas terlihat seperti pain karena potensi turunnya masih ada," ujar dia.

Sebagai perbandingan, saat nanti keadaan ekonomi membaik dan suku bunga turun, imbal hasil dari instrumen ini juga akan terpangkas. Demikian juga di pasar saham. Steven mencermati indeks harga saham gabungan (IHSG) saat ini bergerak cukup bertahan di kisaran 7.000.

Kinerja IHSG itu merujuk pada fundamental emiten yang mencatatkan profit tinggi sepanjang paruh pertama tahun ini.

"Yang masuk ke pasar saat level 7k ada pain-nya saat konsolidasi. Tapi kalau kita lihat ke depan, selama emiten bisa menghasilkan profit tinggi, long term gain yang berpotensi kita rasakan dalam waktu panjang,” imbuh Steven.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Hal yang Perlu Dicermati

Steven mengatakan, hal yang perlu dicermati saat ini adalah indikator inflasi global. Saat indikator-indikator itu secara umum menunjukkan perbaikan, bisa jadi saat yang tepat untuk masuk pasar modal.

"Kalau kita lihat indikator inflasi secara umum di Amerika, Eropa, Emerging Market  sudah mulai turun moderating istilah kita kita mulai kembali akumulasi atau mulai masuk kembali ke pasar modal,"

"Selain dari situ, observasi juga kalau khusus untuk Indonesia normalisasi di harga komoditi,” ia menambahkan.

Tak kalah penting, investor perlu untuk mencermati kinerja emiten secara periodik. Selain kapan masuk pasar modal, investor juga perlu untuk tahu kapan waktu yang tepat untuk exit atau keluar. Menurut Steven, investor perlu untuk disiplin mengenai tujuan investasinya.

"Pelaku pasar rata-rata masih positif, pada saat suku bunga sudah mencapai suku bunga netral, itu waktunya untuk masuk pasar obligasi,” tambah Steven.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

3 dari 4 halaman

Pasar Modal RI Masih Gagah di Tengah Resesi Global, Fundamental Jadi Kunci

Sebelumnya, pasar modal Indonesia masih bergairah di tengah tekanan resesi global dan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve (the Fed). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sejak awal tahun terpantau menghijau di kisaran 7.000, meski sempat turun di bawah 7.000 pada awal Juli 2022.

Pada perdagangan sesi I Selasa, 9 Agustus 2022, IHSG naik 47,97 poin atau 0,68 persen ke posisi 7.134,82. IHSG dibuka pada level 7.086,85 dan bergerak pada rentang 7.086,85—7.144,20.

Direktur PT Ashmore Asset Management Tbk (AMOR), Steven Satya Yudha menilai, pasar Indonesia memang menarik dicermati di tengah hiruk pikuk resesi dan kenaikan suku bunga The Fed. Dari sisi non fundamental, ia mencermati kepemilikan investor lokal yang dominan, baik di pasar obligasi maupun saham.

Sebagai gambaran, Steven menjabarkan kepemilikan investor asing di pasar obligasi hanya berkisar 16 persen, sementara lokal 84 persen. Investor lokal umumnya memang memiliki kepentingan untuk beli.

"Jadi ini memang berbeda dengan nature foreign investor yang selama ini menjadi ‘petani’. Bukan tidak membutuhkan foreign investor. Tapi perbedaan karakteristik investasi ini menghasilkan stabilitas yang berbeda,” kata dia dalam webinar Money Buzz, Selasa (9/8/2022).

Kondisi serupa juga terjadi di pasar saham. Ia mengatakan, tingginya pertumbuhan investor ritel di tanah air turut menopang kelangsungan pasar selama pandemi COVID-19 hingga saat ini.

4 dari 4 halaman

Pertumbuhan Investor Ritel

"Pertumbuhan investor ritel sekarang luar biasa. tadinya market kita di-drive atau didorong oleh investor asing karena mereka punya kepemilikan bisa 60—70 persen, sekarang kepemilikan asing turun bahkan ke 40 persen, 60 persen ritel," imbuh Steven.

Seementara dari sisi fundamental, Steven mengatakan ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan krisis-krisis sebelumnya. Seperti pada 2013 saat The Fed memperketat kebijakan moneter, dan naikkan suku bunga pada 2015. Saat itu, Steven mengatakan kondisi fundamental Indonesia juga tengah babak belur.

“Saat itu memang Indonesia sedang chaos-chaosnya. Angka defisit jebol, cadangan devisa yang sedang turun. Sedangkan sekarang tidak. Jadi ini yang buat localnya juga optimis, sementara foreign terbawa big flow,” ujar Steven.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.