Sukses

Oknum Pejabat dalam Pusaran Kasus Dugaan Eksploitasi Hutan Mapongka Toraja

Aktivis mendesak agar Kejati Sulsel mendalami keterlibatan oknum pejabat dalam kasus dugaan eksploitasi hutan produktif terbatas Mapongka di Kabupaten Tana Toraja, Sulsel.

Liputan6.com, Tana Toraja - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) resmi meningkatkan status penanganan kasus dugaan eksploitasi Kawasan Hutan Produktif Terbatas Mapongka yang berlokasi di Kabupaten Tana Toraja ke tahap penyidikan. 

"Kasus ini sudah naik penyidikan," kata Kepala Kejati Sulsel, Firdaus Dewilmar.

Ia mengatakan pihaknya telah menemukan adanya bukti-bukti terjadinya tindak pidana dalam kasus Hutan Mapongka tersebut.

Meski demikian, pihaknya tak ingin terburu-buru dalam menetapkan tersangka. Tim penyidik masih terus mendalami kasus tersebut guna menemukan oknum yang patut bertanggung jawab.

"Belum ada tersangka, tapi kita harap tim dapat bekerja cepat untuk menemukan tersangka dalam kasus ini," tutur Firdaus.

Lembaga Anti Korupsi Sulawesi Selatan (LAKSUS) menantang Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) menyeret oknum pejabat serta mantan pejabat di Kabupaten Tana Toraja yang terbukti mengklaim serta melakukan dugaan eksploitasi di Kawasan Hutan Produktif Terbatas (HPT) Mapongka, Kecamatan Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja.

Direkur LAKSUS, Muh Ansar mengatakan pihaknya mengawal ketat penanganan perkara Hutan Mapongka tersebut.

Dari hasil investigasi lembaganya, ditemukan ada indikasi oknum pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja yang diduga mengekspolitasi lahan di Kawasan Hutan Produktif Terbatas Mapongka.

Oknum pejabat itu, kata dia, terindikasi memiliki tiga titik lahan di Mapongka, satu di antaranya telah berdiri bangunan berupa vila dan dua lainnya diduga telah dieksploitasi dengan melakukan penimbunan serta pemerataan tanah. Eksploitasi lahan itu diduga dilakukan pada awal tahun 2018.

"Dari hasil penelusuran pada tahun 2017, lokasi itu sebelumya semak-semak, namun sekarang semak-semak sudah habis dieksploitasi," ucap Anshar di Makassar, Senin (27/7/2020).

Lebih lanjut, ia mengatakan tiga lahan yang dimaksud diduga tidak memiliki sertifikat.

"Apa pun dalilnya, mereka dinilai telah melakukan eksploitasi di dalam kawasan hutan milik negara tanpa izin. Oknum pejabat ini harus diseret ke hadapan hukum," tegas Anshar.

Ia menguraikan, pembangunan vila oleh oknum pejabat yang dimaksud, telah merusak dan mengalihfungsikan kawasan Hutan Produktif Terbatas.

Tak hanya itu, yang juga harus menjadi atensi aparat penegak hukum, lanjut Anshar, apakah pembangunan vila yang dimaksud telah mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dari Pemkab Toraja serta izin dari Kementerian Lingkungan Hidup. Selanjutnya, mobilisasi serta operasional alat berat ke lokasi vila di Mapongka juga menjadi tanda tanya.

"Kejati harus mengusut apakah alat berat yang digunakan masuk Mapongka adalah milik pemerintah daerah atau swasta. Kalau milik pemerintah maka bisa menjadi masalah karena menggunakan fasilitas negara mengeksploitasi hutan negara. Kami menduga ada unsur penyalahgunaan wewenang," jelas Anshar.

Hutan Mapongka, kata dia, sama sekali tidak bisa dieksploitasi. Wilayah ini sebagai penyangga air untuk Bandara Toraja. Jika hutan rusak, maka bencana longsor dan banjir akan menghantam bandara dan tentunya kita akan kehilangan aset bandara yang nilainya ratusan miliar.

"Negara harus hadir mengatasi masalah ini. Perambah hutan harus dihentikan. Apalagi kalau yang melakukan adalah pejabat, maka mereka harus dihukum berat," jelas Ansar.

Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sulawesi, kata Anshar, seharusnya turun bersama Kejati melakukan penyelidikan. Gakkum KLH khusus menyeret mereka yang melakukan perambahan hutan dan Kejati berperan mengusut penyalahgunaan wewenang pejabat yang menerbitkan sertifikat di kawasan hutan Mapongka Tana Toraja itu.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tanggapan Akademisi

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar, Ruslan Renggong mengatakan, langkah Kejaksaan sudah tepat dengan melakukan telaah berkaitan dengan status lahan yang disertifikatkan itu.

"Apakah status tanah tersebut milik negara atau bukan, kalau memang itu milik negara tidak boleh disertifikatkan pribadi, melanggar hukum itu. Jangan sampai kemudian sewaktu-waktu negara membutuhkan tanah tersebut untuk digunakan ternyata sudah ada sertifikat, kan negara harus membayar lagi padahal tanah tersebut merupakan tanah negara," kata Ruslan.

Ia mengatakan status hutan produktif terbatas bisa dialihkan, tetapi harus mendapat izin dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dan prosesnya cukup rumit.

"Kalau pun itu dipenuhi, harus dicocokkan dulu, apakah sudah sesuai dengan yang diizinkan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup dengan yang terjadi di lapangan? Karena banyak kasus juga itu kadang tidak sesuai, jadi saya rasa sudah tepat bila kejaksaan mendahului dengan menelusuri status lahan tersebut," Ruslan menandaskan.

 

3 dari 3 halaman

Kejati Sulsel Periksa Wabup Tana Toraja

Sebelumnya, penyidik bidang Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) telah memeriksa Wakil Bupati (Wabup) Tana Toraja, Victor Datuan Batara terkait kasus dugaan peralihan status kawasan hutan Mapongka yang merupakan akses jalan masuk menuju Bandara Buntu Kunik, Kabupaten Tana Toraja menjadi kawasan bukan hutan.

"Iya baru saja saya diambil keterangannya," kata Wabup Tana Toraja, Victor saat ditemui di Kantor Kejati Sulsel, Senin 6 Juli 2020.

Kata dia, dirinya dipanggil dalam kapasitas sebagai pemerintah setempat untuk menjelaskan duduk perkara mengenai status lahan Mapongka tersebut.

Ia membenarkan bila di hutan produksi terbatas itu marak dijumpai masyarakat yang sering keluar masuk.

"Di sisi lain agak susah karena sudah ada sebagian masyarakat yang telah memiliki sertifikat di dalam kawasan Hutan Mapongka tersebut," kata Victor.

Ia pun menceritakan jauh sebelum Hutan Mapongka ditetapkan sebagai kawasan hutan produktif terbatas oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, lahan di area itu lebih awal dikuasai secara turun-temurun oleh hak ulaiat adat.

"Makanya berdasarkan hak ulaiat adat ini, beberapa orang yang merasa bagian dari dua daerah ini mengurus sertifikat dan keluar sertifikat itu," jelas Victor.

Ia melanjutkan bahwa pada tahun 2016, Pemerintah Daerah (Pemda Tana Toraja) telah mengajukan permohonan pembebasan lahan di Hutan Mapongka. Namun oleh Kementerian Kehutanan hanya menyetujui sebanyak 103 hektare.

"Karena di situ sudah ada permukiman, lahan perkebunan, termasuk akses jalan masuk Bandara dan sejumlah fasilitas-fasilitas umum yang kita bangun diantaranya Makodim, Brimob, BMKG, dan lainnya. 103 hektare inilah yang kita plot mana untuk fasilitas umum dan mana untuk area pemukiman yang sudah padat itu," jelas Victor.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.