Sukses

Urgensi Linguistik Forensik dalam Penegakan Hukum

Linguistik forensik berfungsi sebagai alat analisis terhadap bahasa yang digunakan penyidik-terperiksa di ruang penyidikan, dan hakim, jaksa, serta tersangka dan penasihat hukumnya ketika berinteraksi.

Liputan6.com, Jakarta - Saat ramai kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Basuki Tjahaja Purmana alias Ahok, ahli bahasa dari Universitas Atmajaya, Bambang Kaswanti Purwo, dimintai pendapat sebagai saksi ahli. Penggunaan data bahasa serta aplikasi kajian bahasa untuk kepentingan peradilan ini masuk dalam cabang ilmu linguistik, yakni linguistik forensik.

Meski sudah cukup lama ada, linguistik forensik belum begitu populer di Indonesia. Hanya kampus-kampus tertentu yang membuka mata kuliah ini.

Badan Bahasa melalui Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan di Sentul, Jawa Barat, bersiap membuka laboratorium linguistik forensik. Hal ini karena penggunaan ilmu terapan tersebut dianggap sangat penting, terutama dalam kepentingan penyelidikan.

Secara umum, linguistik forensik merupakan bidang linguistik terapan yang melibatkan hubungan antara bahasa, hukum, dan kejahatan. Andika Dutha Bachari, doktor linguistik forensik dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, kepada Liputan6.com pada Rabu, 29 Agustus 2018, mengatakan ada tiga area linguistik forensik.

"Yang pertama, language as legal instrument; kedua, language as legal process; dan ketiga, language as legal evidence. Nah, kasus yang ramai di Indonesia itu area ketiga," ujarnya.

Menurut laki-laki yang pernah menjadi saksi dalam kasus Buni Yani itu, ada banyak aplikasi linguistik forensik, di antaranya dalam proses penyidikan dan dalam pengadilan.

Linguistik forensik mempelajari bahasa yang digunakan dalam pemeriksaan silang, bukti presentasi, arah hakim, menyimpulkan kepada juri, peringatan polisi, 'polisi bicara', wawancara teknik, proses interogasi di pengadilan, dan wawancara polisi.

"Dalam konteks ini, linguistik forensik berfungsi sebagai alat analisis terhadap bahasa yang digunakan penyidik-terperiksa di ruang penyidikan, dan hakim, jaksa, serta tersangka dan penasihat hukumnya ketika berinteraksi," Andika menjelaskan.

Mengapa proses penyidikan dan pengadilan perlu dicermati oleh seorang pakar linguistik forensik? Andika menuturkan hal itu karena dua peristiwa hukum tersebut menggunakan bahasa sebagai instrumen untuk menjalankan proses hukum.

Apalagi para pengguna bahasa di dalam proses penyidikan dan persidangan tidak memiliki peran dan kedudukan yang sama. Power (kuasa) mereka tidak setara.

"Nah, dalam kondisi seperti ini rentan terjadi adanya praktik penyimpangan. Sementara di satu sisi proses peradilan harus berjalan dengan fair, bahkan harus mengimplementasikan prinsip HAM," tutur Andika.

Dua kenyataan ini merupakan paradoks. Dalam kondisi seperti itulah linguistik forensik diperlukan untuk memastikan bahwa proses peradilan (penggunaan bahasa) telah steril dari penyimpangan, serta sesuai dengan kepentingan institusional para aparat penegak hukum.

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Linguistik Forensik Bisa Gagalkan Dakwaan Primer

Dalam hal menjalankan tugas penyidikan, terutama pemeriksaan, sebenarnya ada dua tujuan yang ingin dicapai. Yakni, proses verbal van verhoy dan proses verbal van bivinding. Kedua proses itu sama-sama dilakukan untuk mencari bukti agar dengan bukti itu perkara pidana yang terjadi dapat menjadi terang-benderang dan terungkap siapa pelakunya.

Secara teori, proses verbal van verhoy adalah tindakan yang dilakukan penyidik untuk mencari keterangan melalui pemeriksaan orang-orang yang mendengar, mengetahui, melihat, dan merasakan terjadinya tindak pidana.

Sementara, proses verbal van bivinding adalah upaya yang dilakukan penyidik untuk mendapat keterangan, atau bukti dengan alat-alat tertentu, seperti foto, visum, dan lain-lain.

Nah, yang terkait dengan pengumpulan bukti secara verbal adalah teknik yang pertama atau yang disebut dengan pemeriksaan atau interview. Menurut Andika, pada bagian inilah linguistik forensik sangat dibutuhkan. Linguistik forensik dapat memastikan bahwa pemeriksaan berlangsung adil dan benar.

Bahkan, ujar Andika, jika pemeriksaan tidak berlangsung dengan adil dan benar, maka hal itu bisa menggagalkan dakwaan primer/materil atas perkara yang diduga pidana.

"Bukan keputusan hakim, namanya menggagalkan dakwaan kalau di sistem peradilan di Indonesia. Karena masih di tingkat penyidikan (kepolisian), maka harus batal demi hukum," kata Andika.

Menurut dia, di Indonesia sendiri ada banyak data yang menunjukkan kekeliruan dalam pemeriksaan dan luput dari kajian linguistik forensik.

Simak video pilihan berikut ini:

 

3 dari 3 halaman

Kekeliruan dalam Pemeriksaan

Dalam proses penyidikan di Indonesia, masih banyak masalah yang menghantui. Berdasarkan catatan Kontras sepanjang 2016/2017, ada 16 terperiksa yang beperkara di tingkat penyidikan kepolisian. Delapan orang di antaranya meninggal, dengan empat orang masih anak-anak. Fakta ini, ujar Andika, menunjukkan adanya masalah.

"Paradigma lama masih mengejar pengakuan dari terperiksa, padahal semestinya tujuan institusional kepolisian dalam pemeriksaan adalah memperoleh keterangan yang disampaikan secara sukarela dari terperiksa," dia menjelaskan.

Sepanjang lebih dari 10 tahun menggeluti ilmu linguistik forensik, Andika sering dimintai pendapat sebagai saksi ahli, termasuk untuk Buni Yani, Harry Tanoesoedibjo, dan Asma Dewi. Saat dihubungi oleh Liputan6.com pun, dia hendak terbang memenuhi undangan dari PN Ketapang, Kalimantan Barat, untuk menjadi saksi ahli perihal ujaran kebencian alias hate speech terhadap tersangka yang merupakan seorang guru.

Salah satu yang menarik adalah ketika Andika diminta pendapat sebagai ahli dalam persidangan Buni Yani.

"Saya disuruh keluar dari ruang sidang karena tak bawa surat tugas. Padahal, dalam hukum acara pidana tidak ada aturan ahli harus bawa surat tugas ketika bersaksi," tuturnya.

Setelah mengurus surat tugas, barulah Andika diperbolehkan bersaksi. "Pendapat saya diterima hakim bahwa secara substansi tidak ada unsur pidana dalam tindakan Buni. Yang jadi persoalan Buni karena memotong videonya itu dianggap mengubah bentuk informasi elektronik. Padahal, bagi saya, pertimbangan ini kurang pas," ujar Andika.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.