Sukses

Belaian Kasih Ibu Rawat Anak Gangguan Jiwa di Yogyakarta

Ibu ini berjuang supaya anaknya yang mengidap gangguan jiwa bisa hidup layak. Segala cara ditempuh, termasuk minta bantuan pemerintah.

Liputan6.com, Yogyakarta Kasih ibu sepanjang jalan tepat ditujukan kepada seorang wanita lanjut usia yang merawat anak laki-lakinya yang mengidap gangguan jiwa. Di tengah keterbatasan ekonomi, Zaenab berjuang untuk kehidupan sang anak.

Zaenab, seorang ibu berusia 79 tahun, sudah empat tahun terakhir mendampingi anak laki-lakinya, Hepy Harsono, yang divonis dokter mengidap gangguan jiwa. Zaenab tidak tahu pasti jenis penyakit anak kelimanya ini.

"Kalau sedang tidak marah ya mau berbicara dengan saya, kalau marah bisa mengomel sepanjang hari," ucap Zaenab yang bersatu janda sejak suaminya meninggal pada 2002, Senin, 7 Mei 2018.

Ibu dari sembilan anak ini bercerita kemungkinan besar anaknya mengidap gangguan jiwa karena stres dan marah berkepanjangan. Hepy merasa dibedakan dengan anak yang lain. Ia hanya mengenyam pendidikan sampai SMP.

Bukan tanpa sebab Zaenab tidak menyekolahkan Hepy. Sewaktu masih sekolah, guru SMP anaknya itu pernah bilang kalau Hepy kesulitan belajar dan meneruskan pendidikan lebih lanjut.

Sayangnya, Zaenab tidak bertanya secara rinci maksud perkataan sang guru. Ia hanya mendampingi Hepy sehari-hari.

Sebelum divonis gangguan jiwa, Hepy biasa mengantarkannya berbelanja atau menemani keponakan alias anak dari saudara-saudara Hepy.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Mendadak Diam

Hepy mendadak diam ketika itu, diajak berbicara tidak menjawab. Ia duduk dan melamun. Perkataan Zaenab sama sekali tidak direspons oleh Hepy.

"Hanya diam, tidak mau mandi, tidak mau makan, saya bingung dan bilang ke tetangga," kata Zaenab.

Ia disarankan untuk meminta surat rujukan memeriksakan kondisi Hepy ke dokter.

Semula Hepy pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa Ghrasia Pakem, Sleman, selama sembilan hari. Namun, dokter menyatakan kondisinya sudah membaik, sehingga boleh dibawa pulang.

Meskipun demikian, Hepy tidak pernah benar-benar kembali seperti semula. Ia hanya sesekali berbicara.

Sempat ada tetangga yang bertanya, apakah Hepy patah hati karena kerap bernyanyi lagu-lagu dengan lirik galau.

"Saya membantah karena sepertinya Hepy tidak pernah dekat dengan perempuan, tidak punya pacar," tutur Zaenab.

 

3 dari 4 halaman

Minta Bantuan Pemerintah

Zaenab merasa sudah sangat tua. Ia berpikir bagaimana nasib Hepy jika dia dipanggil Tuhan. Mereka hanya tinggal berdua di sebuah kamar kontrakan di Kricak Kidul, Tegalrejo, Yogyakarta.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Zaenab membuat timus dan menitipkannya ke warung-warung. Sebenarnya, ia mendapat pensiunan sang suami setiap bulan.

"Tapi pensiunan setelah dipotong untuk bayar cicilan utang, saya hanya punya Rp 350.000 per bulan," ucapnya.

Ia berhutang karena pernah membiayai kehidupan anak dan cucunya yang lain. Rumahnya pun terjual dua tahun lalu.

Zaenab mengaku kesulitan lain yang dihadapinya adalah banyak orang tidak percaya kalau ia tidak mampu. Saat mencari surat keterangan kerap dipersulit.

Zaenab maklum, saat suaminya masih hidup mereka termasuk keluarga berkecukupan. Sang suami adalah anggota TNI AD dengan pangkat terakhir peltu.

"Sekarang saya ingin minta bantuan pemerintah karena saya ingin Hepy tetap bisa terpelihara sekalipun saya sudah tidak ada," ujarnya.

 

4 dari 4 halaman

Didatangi Komisi Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas DIY

Komisi Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas DIY menyambangi kediaman Zaenab dan Hepy. Komite yang dibentuk oleh Gubernur DIY ini memang bertujuan mengadvokasi keluhan warga terkait penyandang disabilitas.

"Bu Zaenab punya beban ekonomi yang besar dan kami ingin meneruskan ke Pemprov DIY supaya ada bantuan," ujar Winarta, Divisi Pemantauan dan Layanan Pengaduan.

Ia menilai kasus seperti ini tidak hanya satu dan kesalahan persepsi selama ini adalah pemakaian kata "terlantar".

Menurut Winarta, terlantar bukan hanya mencakup subjek penyandang disabilitasnya, melainkan juga orang yang merawat.

"Selama ini pemerintah bilang Zaenab punya pensiunan, padahal beban ekonominya tidak sebanding dengan penerimaannya setiap bulan," ucap Winarta.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.