Sukses

Pakar Hukum: Pihak yang Sebut Majunya Gibran Jadi Cawapres Tak Sesuai Aturan Bisa Dipidana

Gibran Rakabuming Raka diketahui saat ini telah menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) mendampingi bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Liputan6.com, Jakarta - Gibran Rakabuming Raka diketahui saat ini telah menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres) mendampingi bakal calon presiden (capres) Prabowo Subianto dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Namun rupanya, majunya Gibran sebagai bakal cawapres di Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 mendampingi Prabowo tersebut menimbulkan pro kontra.

Padahal seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan uji materil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia capres-cawapres yang dilayangkan pemohon Almas Tsaqibbirru dalam gugatan nomor 90/PUU-XXI/2023. MK menilai, kepala daerah sudah teruji berpengalaman sehingga dianggap layak maju sebagai capres dan cawapres.

Bahkan ada sejumlah pihak yang menyebut jika majunya Gibran Rakabuming Raka tak sesuai aturan atau sebagai cacat legitimasi.

Praktisi Hukum Jandi Mukianto mengingatkan, siapapun yang berbicara soal jika majunya Gibran sebagai cacat legitimasi bisa masuk ke ranah pidana.

"Pihak-pihak yang menyatakan majunya Gibran adalah cacat legitimasi merupakan perbuatan pidana karena menimbulkan keresahan masyarakat. Sanksi pidana tersebut tidak hanya cukup dikenakan kepada pihak yang menyampaikannya kepada publik, tetapi juga kepada media yang menyebarkannya," ujar Jandi melalui keterangan tertulis, Selasa (14/11/2023).

"Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ sehingga jelas bagi pihak-pihak yang mendelegitimasi keputusan tersebut dengan menyatakan majunya Gibran adalah cacat legitimasi termasuk pernyataan yang menyesatkan publik, karena keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut sudah menjadi kewenangannya berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945," sambung dia.

Hal tersebut, lanjut Jandi, juga dikuatkan dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU 8/2011 yang menyebutkan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Keputusan MK Kolektif Kolegial

Jandi mengingatkan, keputusan Majelis Hakim MK RI bersifat kolektif kolegial.

"Dan dengan diberikannya sanksi invidual oleh MKMK kepada Anwar Usman jelas menunjukkan bahwa apa yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 tidak cacat apalagi batal demi hukum terlebih lagi dapat dibatalkan, karena keputusan tersebut telah diputuskan oleh Mahkamah berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan bukti dan keyakinan hakim, melalui proses musyarawah untuk mufakat maupun pemungutan suara menjadi satu produk hukum yang wajib dipatuhi seperti Undang-Undang," papar Jandi.

Seharusnya, lanjut dia, apabila memang salah prosedur, semua hakim konstitusi dipersalahkan dan diberikan sanksi oleh Majelis Kehormatan dalam Keputusan nomor 2/MKMK/L/11/2023.

"Kenyataannya hanya satu hakim dikenakan sanksi, itu pun tidak dipecat hanya tidak diperbolehkan lagi menjadi Ketua MKRI. Jadi ini jelas bahwa pihak-pihak yang menyatakan bahwa pasangan Prabowo-Gibran adalah cacat hukum itu sudah merupakan perbuatan yang dapat dipidana, dengan sangkaan penghasutan maupun penyebaran berita bohong, juga perbuatan mereka tersebut justru melanggar asas demokrasi," jelas Jandi.

 

3 dari 4 halaman

MK Kabulkan Sebagian Gugatan Capres-Cawapres Minimal Usia 40 Tahun atau Pernah Jadi Kepala Daerah

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terkait batas usia capres-cawapres di Jakarta, Senin 16 Oktober 2023. Sidang perkara 90/PUU-XXI/2023 dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.

Dalam sidang, MK mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Almas Tsaqibbirru yang mengajukan gugatan batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden 40 tahun atau pernah jadi kepala daerah.

Dia memohon agar aturan batas usia minimal 40 tahun tidak mengikat jika memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.

Menurut MK, batas usia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, "Sepanjang tidak dimaknai, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah, sedang menduduki jabatan yang dipilih, melalui pemilihan umum termasuk pemilihan umum daerah."," kata hakim MK.

 

4 dari 4 halaman

MKMK Jatuhkan Sanksi Pemberhentian Jabatan Anwar Usman dari Ketua MK

Sementara itu, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Anwar Usman, terkait putusan uji materiil batas usia capres-cawapres.

“Hakim Terlapor terbukti melakukan pelangaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpinakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan,” tutur Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa 7 November 2023.

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor,” sambungnya.

Jimly juga memerintahkan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi untuk dalam waktu 2x24 jam sejak putusan itu selesai diucapkan, untuk segera memimpin penyelenggaraan pemilihan pimpinan yang baru sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

“Hakim Terlapor tidak berhak untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi sampai masa jabatan Hakim Terlapor sebagai Hakim Konstitusi berakhir,” katanya.

“Hakim Terlapor tidak diperkenankan teribat atau melibatkan diri dalam pemeriksaan dan pengambilan keputusan dalam perkara perselisihan hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilhan Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilhan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki potensi timbulnya benturan kepentingan,” sambung Jimly.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.