Sukses

DPRD Pilih Kepala Daerah, MK: Argumen Teoritisnya Belum Jelas

Wacana Pemilihan Kepala Daerah, khususnya Bupati dan Walikota dilakukan lewat DPRD bukan pemilihan langsung masih menjadi perdebatan.

Wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), khususnya Bupati dan Walikota dilakukan lewat DPRD bukan pemilihan langsung masih menjadi perdebatan. Tak terkecuali oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar.

"Ya (wacana) itu kan takarannya masih di draf RUU dan belum menjadi suatu UU," kata Akil di Gedung MK, Jakarta, Selasa (1/10/2013).

Akil melihat, landasan argumentasi teoritisnya pemilihan bupati dan walikota melalui DPRD masih tidak jelas. Tentu, hal tersebut berpotensi akan diujimateri ke MK seandainya disahkan menjadi UU.

"Kalau itu disetujui, apa pun bentuknya, itu bisa diuji ke MK. Yang saya lihat, itu belum membangun argumentasi teoritis yang jelas," ujar Akil.

Ketidakjelasannya, lanjut Akil, bisa dilihat dari proses rekrutmen kepala daerah yang berbeda. Yang gubernur dipilih langsung, yang bupati dan walikota adalah perwakilan dari DPRD.

Menurut Akil, pola rekrutmen seperti itu juga tentu terkait dengan dasar konstitusi. "Basis konstitusionalnya harus dibangun dan harus bisa dipertanggungjawabkan. Supaya dalam takaran implementasinya mudah. Kan sama-sama kepala daerah dalam satu wilayah, tapi beda pola rekruitmennya," jelas Akil.

Akil tidak mau ambil pusing. Mantan politisi Golkar ini menunggu keputusan DPR dan Pemerintah sebagai pembuat UU. Namun yang pasti, kata Akil, pemerintah dan DPR tetap harus bisa mempertanggungjawabkannya secara konstitusi.

"Tapi bukan berarti boleh seenaknya, karena harus tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Tetap harus ada batasan-batasan nilai itu," papar Akil.

Usulan agar Bupati dan Walikota dipilih oleh DPRD sudah dibahas oleh DPR dan Pemerintah melalui RUU Pemilukada. Ditargetkan, akhir tahun 2013 ini, RUU itu sudah bisa disahkan menjadi UU.

Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Johan mengatakan, usulan itu dikarenakan terkait efektivitas dan efisiensi biaya Pemilukada. Di sisi lain, juga untuk mencegah konflik horizontal dengan memberikan jarak ikatan emosional antara calon dan pendukungnya dalam lingkup kabupaten atau kota yang tidak terlalu luas.

Menurut Djo, penataan ulang pelaksanaan Pemilukada langsung memang perlu dilakukan dengan tujuan agar pelaksanaannya lebih berkualitas dan bermanfaat bagi perbaikan tata kelola pemerintahan. Apalagi selama ini ongkos politik pesta demokrasi di tingkat daerah itu sangat besar.

"Mekanisme pertanggung jawaban akan diatur sedemikian rupa supaya tidak berimplikasi langsung pada pemberhentian bupati dan walikota sehingga situasinya tetap kondusif," ungkap Djo. (Mut/Ism)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.