Sukses

IDAI: Pemberian ASI di Tempat Kerja Perlu Dukungan Semua Pihak

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi yang baru lahir memerlukan dukungan semua pihak. Termasuk mereka para ibu yang bekerja.

Liputan6.com, Jakarta - Pemberian Air Susu Ibu (ASI) kepada bayi yang baru lahir memerlukan dukungan semua pihak. Termasuk mereka para ibu yang bekerja. Menyoroti hal tersebut, Pekan ASI Sedunia 2023 mengangkat tema Enabling Breastfeeding: Making a Difference for Working Parents atau yang diterjemahkan Kementerian Kesehatan menjadi “Dukung Ibu Bekerja Tetap Menyusui”.

“Merujuk data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebanyak 45% ibu berhenti menyusui karena harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan,” Ketua Satgas ASI IDAI Dr. dr. Naomi Esthernita F Dewanto, SpA(K) dalam keterangan diterima.

dr. Naomi mengatakan, banyak faktor mengapa fenomena tersebut dapat terjadi. Menurut hasil studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), salah satu faktor yang belum mendukungan para ibu pekerja di Indonesia yaitu belum adanya pemberian cuti melahirkan selama 18 minggu atau sekitar 4-5 bulan, dengan waktu ideal lebih dari 6 bulan.

“Hal ini (cuti lebih panjang) diperlukan untuk memastikan ibu bisa menyusui anak secara maksimal,” kata dr. Naomi.

dr. Naomi menjelaskan, saat ini Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya memberikan hak cuti kepada wanita pekerja selama tiga bulan saat mereka hamil. Umumnya, hak itu digunakan satu setengah bulan sebelum dan satu setengah bulan setelah melahirkan. Artinya, periode cuti ini tidak selaras dengan periode pemberian ASI Eksklusif selama enam bulan.

“IDAI menilai, masih tingginya ibu yang harus berhenti memberikan ASI pada anak setelah melahirkan disebabkan oleh multifaktor. Hal itu terjadi karena kurangnya dukungan keluarga, dukungan tenaga medis, hingga karena harus kembali bekerja," ucap dr. Naomi.

“Dan salah satu faktor terbesar membuat ibu terpaksa menghentikan pemberian ASI pada bayi adalah karena ibu harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan selesai,” tegas dia.

dr. Naomi meyakini, perlu dukungan yang besar untuk ibu agar bisa menyusui anaknya secara maksimal, dimana dukungan terbesar diharapkan didapat dari tempat kerja. Sebab, bila ada keterbatasan dukungan menyusui di tempat kerja, maka akan membuat banyak ibu berhenti menyusui lebih awal.

“Padahal, wanita membutuhkan waktu dan dukungan cukup dari lingkungannya agar bisa tetap menyusui dengan optimal. Cuti yang cuma 3 bulan itu bisa berakibat tingkat ibu menyusui rendah. Ibu yang kembali bekerja terlalu dini dapat memberikan efek negatif terhadap berlangsungnya masa menyusui,” wanti dia.

“Hal ini tentu membuat ibu tidak bisa memberikan ASI eksklusif selama enam bulan," imbuh dia.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Dorongan Penyediaan Ruang Laktasi

Selain memberikan masa cuti yang lebih baik, dr Naomi juga mendorong perusahaan untuk bisa menyediakan ruang laktasi yang memadai. Harapannya, para ibu bisa menyusui atau memompa ASI dengan nyaman dan aman.

Dukungan itu tidak hanya waktu atau jeda bekerja untuk memompa ASI, dukungan bisa berupa penyediaan ruangan laktasi untuk menyusui atau untuk memompa ASI. Dukungan fasilitas tersebut, harus bersih, nyaman, aman, dan private untuk ibu.

Berdasarkan data studi kualitatif terkait implementasi kebijakan ramah menyusui di pabrik, kesuksesan dukungan program laktasi di tempat kerja terutama pabrik di Indonesia memang masih rendah dan hanya mencakup standar penyediaan ruang laktasi minimal tanpa ada dukungan fasilitas pendamping apalagi dukungan program dan promosi laktasi.

Meskipun demikian, studi narrative review yang dipublikasikan di The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) tahun 2022 menunjukkan dukungan kebijakan ramah laktasi di perkantoran sudah meningkat signifikan.

Data di beberapa perkantoran multinasional mencatat, sudah ada dukungan cuti melahirkan hingga 6 bulan serta keberadaan konselor laktasi di tempat kerja yang sudah menjadi standar aturan ketenagakerjaan bagi seluruh karyawan.

Selain kedua tantangan di atas, tantangan lain adalah masih kurangnya bukti ilmiah yang mendukung bahwa dukungan fasilitas, kebijakan dan promosi laktasi di tempat kerja adalah investasi dan bukan cost atau pembiayaan.

“Salah satu faktor penting di Indonesia dalam melindungi pemberian ASI Eksklusif adalah terkait kebijakan-kebijakan perlindungan ASI Eksklusif di lingkungan kerja,” kata Dr. dr. Ray W Basrowi, MKK - praktisi kesehatan komunitas dan kedokteran kerja dari Health Collaborative Center.

dr. Ray menegaskan, mengutip expert judgement di editorial The Indonesian Journal of Community and Occupational Medicine (IJCOM) edisi 2023, bukti klinis terkait dampak dukungan laktasi terhadap produktivitas pekerja sebenarnya telah tersedia tetapi belum diedukasikan dengan optimal ke perusahaan.

“Sehingga diperlukan suatu pedoman sederhana untuk meyakinkan tempat kerja bahwa investasi laktasi di perusahaan akan memberikan return of investment,” ujar dia.

3 dari 3 halaman

Inisiatif Perusahaan untuk Ibu Menyusui Sangat Dibutuhkan

Asosiasi Perusahaan Produk Bernutrisi untuk Ibu dan Anak (APPNIA) mengatakan, meski peraturan dukungan untuk ibu menyusui masih membutuhkan penguatan, tapi beberapa perusahaan telah melakukan inisiatif untuk mendukung pemberian ASI eksklusif.

“APPNIA menyadari pentingnya manfaat ASI Eksklusif dan dan nutrisi pada 1000 hari pertama kehidupan, serta mendukung ibu, khususnya yang bekerja, agar dapat memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan bayinya," ucap Poppy Kumala, Direktur Eksekutif APPNIA dalam keterangan tertulis diterima.

Poppy memastikan, APPNIA terus memperkuat kebijakan dan melakukan berbagai program untuk memastikan hak-hak karyawan dan anak terpenuhi, agar orangtua baru dapat membersamai bayinya melalui pemberian cuti melahirkan berbayar selama 3 bulan sesuai aturan, bahkan ada yang memberikan sampai selama 6 bulan bagi karyawan perempuan, dan juga cuti bagi ayah.

“Beberapa perusahaan anggota APPNIA juga menyediakan layanan Employee Assistance Program (EAP) berupa layanan konsultasi virtual dengan psikolog untuk mendukung karyawan terkait masalah pribadi, psikososial,dan pekerjaan,” jelas Poppy.

Poppy percaya, anggota APPNIA telah berkontribusi secara aktif dalam upaya percepatan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan akan terus berkomitmen mendukung upaya peningkatan status gizi dan kesehatan ibu dan anak di Indonesia. Sebab, gizi baik di awal kehidupan anak akan menciptakan anak Indonesia yang sehat, tangguh, cerdas, serta terbebas dari stunting.

“Salah satu bentuk komitmen kami dalam mensukseskan ASI Eksklusif adalah melalui penyediaan Ruang Laktasi yang memenuhi syarat pada kantor dan pabrik perusahaan anggota APPNIA,” tutur Poppy.

Poppy berharap, inisiatif dalam bentuk kebijakan dan program yang telah diterapkan dalam perusahaan anggota APPNIA dapat membantu para karyawan yang sedang hamil dan menyusui agar dapat memberikan ASI eksklusif dengan optimal.

“Perlu kolaborasi dan dukungan dari berbagai pemangku kepentingan yaitu pemerintah, para ahli, sektor swasta maupun masyarakat agar program ASI Eksklusif bisa berjalan maksimal,” dorong Poppy.

Poppy mencatat, Undang-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 83, pengusaha diwajibkan memberikan peluang yang layak kepada karyawan wanita dengan bayi yang masih menyusui.

Artinya, lanjut dia, peluang itu bisa diartikan antaranya adalah dengan membangun fasilitas ruang laktasi bagi karyawan perempuan untuk menyusui di tempat kerja dan waktu untuk menyusui selama mereka bekerja sesuai dengan aturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.

“APPNIA yakin, dengan tersedia ruang laktasi yang layak, terbukti berhasil meningkatkan produktivitas pekerja wanita yang kembali berkarir setelah cuti hamil,” Poppy menutup.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.