Sukses

HEADLINE: Lili Pintauli Mundur dari KPK, Dugaan Kasus Gratifikasi Tetap Diusut?

Lili Pintauli Siregar telah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK). Lalu, apakah kasus dugaan gratifikasinya tetap diusut?

Liputan6.com, Jakarta - Lili Pintauli Siregar mundur dari jabatannya sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK). Lalu, apa kasus dugaan gratifikasinya tetap diusut?

Dewan Pengawas (Dewas KPK) mengaku sudah menyerahkan setiap temuan dalam penyelidikan dugaan penerimaan gratifikasi MotoGP Mandalika Lili Pintauli.

Anggora Dewas KPK, Albertina Ho, menyebut, berkas penyelidikan dugaan pelanggaran etik Lili telah diserahkan kepada pimpinan saat sidang etik Lili digelar, Senin (11/7/2022) kemarin.

"Penetapan kemarin sudah dikirim ke pimpinan KPK," ujar Albertina kepada Liputan6.com, Selasa (12/7/2022).

Senada dengan Albertina, anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris juga menyebut temuan dewas sudah dikirim ke pimpinan. Selebihnya, kata Haris, pimpinan KPK memiliki kewenangan apakah akan menindaklanjuti dugaan pidana gratifikasi Lili atau tidak.

"Tergantung kemauan pimpinan KPK untuk memanfaatkan atau tidak. Anda bisa tanyakan ke pimpinan KPK. Dewas tidak memiliki kewenangan untuk tindak lanjut dugaan pidana," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (12/7/2022).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mendorong agar Dewas KPK segera melaporkan dan menyerahkan bukti-bukti dugaan penerimaan tiket serta akomodasi kegiatan MotoGP Mandalika yang diduga diterima oleh Lili ke aparat penegak hukum.

Sebab, perbuatan yang diduga dilakukan oleh Lili bukan hanya berkaitan dengan pelanggaran etik, melainkan berpotensi memenuhi unsur tindak pidana korupsi, di antaranya suap atau gratifikasi.

"Jika itu tidak dilakukan, maka jangan salahkan masyarakat jika kemudian menuding Dewan Pengawas KPK sebagai barisan pelindung Lili," kata Kurnia kepada Liputan6.com, Selasa (12/7/2022).

Di luar itu, ICW juga mendesak agar jajaran Direktorat Tindak Pidana Korupsi Polri dan bagian tindak pidana khusus Kejaksaan Agung menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan atas dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan tiket dan akomodasi kegiatan MotoGP Mandalika yang diduga diterima Lili Pintauli.

"Penting juga ditekankan bahwa seluruh delik korupsi di dalam UU Tipikor merupakan delik biasa, bukan aduan. Jadi, aparat penegak hukum bisa bergerak sendiri tanpa harus menunggu aduan atau laporan masyarakat," tambahnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Harus Tetap Diusut

Ketua Komisi III DPR, Bambang Wurianto alias Bambang Pacul, menegaskan, pengunduran diri Lili tidak membuat kasus gratifikasi yang menjerat dirinya dihentikan.

“Ya enggaklah masa seperti itu, kita sepakat pegangan kita adalah konstitusi negara. Kalau konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, negara kita adalah negara hukum,” kata Pacul di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (12/7/2022).

Pacul menegaskan gratifikasi adalah pelanggaran dan masuk tindak pidana, sehingga harus tetap diusut.

“Kalau tindakan melanggar pasal peraturan misalnya pasal korupsi Undang-Undang korupsi nomor 19 tentang korupsi itu ada pasal 3 ada pasal 11, pasal 12, kalau gratifikasi ada di pasal mana? Pasal 12. Itu tindak pidana? Tindak pidana,” kata Pacul.

Politikus PDIP itu menegaskan tindak pidana tetap harus diproses, meski Lili Pintauli sudah mengundurkan diri.

“Tindak pidana itu habis karena kemudian dia mengundurkan diri? Mana bisa, teori dasarnya enggak pas bos. Negara hukum tindakan pidana kemudian selesai dengan mengundurkan diri, dari mana rumusannya,” tegas dia.

Ia memastikan Komisi III akan menanyakan keputusan Dewan Pengawas KPK terkait penghentian pemeriksaan gratifikasi Lili.

“Oh ya nanti kita tanya di komisi III, Itu gunanya sampeyan punya komisi III. Nanti kita tanyakan dasar hukumnya apa. Kalau hari ini pegangan saya dasar hukumnya tidak bisa. Pasal 12 kok, gratifikasi. Tinggal gratifikasi diterima awal atau diterima akhir. Kalau diterima awal gratifikasi itu namanya pasalnya 12 a, diterima akhir 12 b. Sama sama melanggar pasal kan gitu. Pasal undang-undang korupsi nomor 19 bos, ada ini,” jelasnya.

Pacul menegaskan Undang-Undang di Indonesia berlaku untuk semua orang, tanpa kecuali.

"Itu ada kawan saya sudah tidak menjabat juga masih kena proses bos, gratifikasi masuk, saya enggak usah nyebut namanyalah ini enggak enak,” kata dia.

3 dari 4 halaman

Hanya Akal-akalan?

Mantan Ketua KPK, Abraham Samad, menyebut pengunduran diri Lili Pintauli hanya akal-akalan semata.

Menurut Samad, mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu hanya menghindari pidana dugaan penerimaan gratifikasi MotoGP Mandalika dari PT. Pertamina.

"Walau Lili mundur, bukan berarti pemeriksaannya dihentikan, ini kan akal-akalan saja. Kalau misalnya dia sudah mengundurkan diri lalu persoalannya dianggap selesai, ini akal-akalan saja," ujar Samad.

Samad mengatakan, mundurnya Lili bukan berarti menghapus pemeriksaan dugaan pelanggaran penerimaan gratifikasi. Malah, menurut Samad, KPK harus tetap melanjutkan pemeriksaan untuk menemukan unsur pidana yang dilakukan Lili.

"Sebenarnya kalau pelanggaran itu terindikasi pelanggaran pidana, maka walaupun yang bersangkutan sudah mengundurkan diri, maka tetap dilanjutkan pemeriksaannya. Karena ini ada indikasi pelanggaran pidana karena penerimaan gratifikasi," kata dia.

Menurut Samad, Surat Keputusan Presiden yang diteken Presiden Joko Widodo alias Jokowi tentang pemberhentian Lili juga bukan alasan untuk menghentikan pemeriksaan pidana terhadap Lili.

"Walaupun sudah turun SK itu, terlepas itu putusan administrasi negara karena yang bersangkutan mengundurkan diri, tapi indikasi pelanggaran pidananya, itu tetap harus dilanjutkan," kata dia.

Samad berharap demikian agar kepercayaan publik terhadap KPK kian meningkat. Namun, jika indikasi pelanggaran pidana Lili tidak dilanjutkan oleh KPK, maka akan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan korupsi.

"Menurut saya KPK harus fair, harus melakukan sesuatu langkah-langkah hukum, jadi bukan sekadar mengundurkan diri dan dianggap selesai. Kalau begitu, itu jadi preseden buruk dan ini menunjukan kalau ternyata dia cuma mengundurkan diri dan tidak ada tindak lanjut pemeriksaan terhadap tindak pidananya berarti KPK betul-betul sama sekali sudah tidak bisa diharapkan," kata dia.

"Tapi tentunya penetapan ini, setelah ini akan kami sampaikan pada pimpinan. Apakah nantinya pimpinan menindaklanjuti dan seterusnya, itu bukan wewenang kami," sambungnya.

4 dari 4 halaman

Firli Berani Tegas Atau Nanti Akan Malu

Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, meminta Ketua KPK Firli Bahuri membuktikan bahwa organisasi yang dipimpinnya tak pandang bulu.

Menurut Boyamin, KPK bisa kembali dipercaya publik jika menjerat mantan pimpinannya sendiri.

"KPK keras dengan orang lain, maka juga harus keras dengan dirinya sendiri, yaitu dengan dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang- orang di dalam KPK, baik pimpinan maupun pegawainya," kata Boyamin.

Boyamin kemudian memberikan contoh AKP Suparman, penyidk KPK asal Polri yang tersandung kasus karena diduga mengancam atau memeras saksi.

"Maka dia juga dibawa ke proses hukum, demikian kalau di unsur pimpinan dan seluruh pegawai KPK sebelumnya," kata dia.

Boyamin menilai, penegakan hukum di KPK hanya tegas di awal-awal, meskipun Dewan Pengawas merekomendasikan untuk dilakukan hukum pidana, namun nyatanya anggota yang dianggap mencuri atau menyalahgunakan barang bukti hanya dipecat.

Untuk itu, ia mendesak agar KPK menindak pimpinan KPK yang diduga melakukan suap dan gratifikasi. Menurut Boyamin, KPK akan malu jika kasus Lili diambil Kejaksaan Agung atau Polri.

"Tapi kan bisa malu kalau yang menangani Kejaksaan Agung atau Kepolisian, mestinya tetap kembali ke KPK untuk dilakukan hukum pidananya," tambahnya.

Proses tersebut dilakukan karena menurutnya terdapat dugaan suap atau gratifikasi adalah pelanggaran Pasal 36 UU Nomor 19 tahun 2019 RUU KPK.

"Di sana menyebutkan pimpinan KPK dilarang berhubungan, baik langsung atau tidak, dengan tersangka atau orang lain yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani, ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara," katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.