Sukses

Misteri Jatuhnya Pesawat Silk Air di Sungai Musi 21 Tahun Lalu

Pesawat ini membawa 104 orang di dalamnya yang terdiri dari 97 penumpang dan 7 awak penerbangan. Semuanya tewas.

Liputan6.com, Jakarta - Jumat 19 Desember 1997, pesawat Silk Air MI185 berangkat dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Changi, Singapura. Namun, pesawat itu tak pernah tiba di tujuannya, karena sejarahnya berakhir sore itu.

Tanpa cuaca buruk atau laporan tentang kerusakan mesin, pesawat komersil Singapura ini menukik tajam dan jatuh ke Sungai Musi, Palembang, Sumatera Selatan hingga hancur menjadi kepingan kecil, sekitar pukul 16.12 WIB.

Pesawat terbang dengan ketinggian 3.700 di atas Sungai Musi saat tiba-tiba arah pesawat berbalik dengan posisi nyaris vertikal. Pesawat jatuh, terjun bebas ke bawah dengan kecepatan yang nyaris mendekati supersonik.

Sebelum tercebur ke sungai, sejumlah bagian pesawat seperti ekor dan sayap terpisah dari badan karena kuatnya kecepatan pesawat itu saat jatuh. Setelah banyak bagian terlepas, pesawat jatuh menghujam ke Sungai Musi.

Silk Air MI185 hancur jadi puing-puing kecil dan semua penumpang serta awak pesawat tewas. Pesawat ini membawa 104 penumpang di dalamnya yang terdiri dari 97 penumpang dan 7 awak penerbangan. Sebagian besar tak bisa lagi dikenali.

Berdasarkan rekaman yang diambil dari badan pesawat, penyelidik Indonesia mempublikasikan temuan awal pada 1999 yang menyebut tidak ada cukup bukti untuk menentukan penyebab kecelakaan.

Sementara Komite Nasional Keselamatan Transportasi Indonesia mengesampingkan dugaan kegagalan mekanis dan listrik, cuaca, atau penyimpangan kontrol lalu lintas udara sebagai penyebab kecelakaan.

Namun, laporan melampirkan telaah agen Amerika Serikat yang menyebut kecelakaan diduga tindakan sengaja seorang atau lebih dari satu orang dalam pesawat. Khususnya sang pilot, yang diketahui menderita kerugian besar di pasar saham di sekitar waktu terjadinya kecelakaan.

Pilot Silk Air MI185 bernama Tsu Way Ming dari Singapura dan kopilot Duncan Ward dari Selandia Baru. Dikutip dari New York Times, pilot Tsu Way Ming tengah menderita kerugian besar di pasar saham sebelum kecelakaan terjadi.

Berdasarkan laporan polisi Singapura, Tsu juga tengah diterpa masalaah keuangan. Ia menderita kerugian dari perdagangan saham di Singapura senilai 2,25 juta dolar Singapura dan 15 hari sebelum kecelakaan, Tsu kena sanksi utang sebesar 118 ribu dolar Singapura.

Lalu ada catatan Tsu membuat polis asuransi untuk istri dan anaknya jika ia mengalami kematian atau cacat permanen. Polis pertama dibayar pada 16 Desember dan mulai berlaku pada 19 Desember, tepat saat hari kecelakaan.

Selain itu, Kapten Tsu yang merupakan mantan pilot dan instruktur A-4 Skyhawk Angkatan Udara Singapura, memiliki pengalaman dengan pesawat tersebut selama 20 tahun. Selama kariernya, ia pernah mengalami musibah, yaitu kehilangan 4 teman satu skuadronnya ketika latihan terbang rutin, setahun sebelum kecelakaan.

Dampak psikologis dari musibah itu diduga mengubah kepribadian Tsu yang berujung pada kecelakaan pesawat Silk Air tersebut.

Pihak Silk Air membantah hasil investigasi ini dan mengatakan bahwa Silk Air 185 jatuh murni karena gangguan listrik pada mesin pesawat.

Sebenarnya, jatuhnya pesawat karena tindakan bunuh diri dari pilot bukan sesuatu yang tak mungkin. Sejumlah penerbangan tercatat mengalami musibah karena niat jahat dari pilotnya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bunuh Diri Sang Pilot

Tim investigasi keselamatan penerbangan Prancis (BEA) menggelar jumpa pers, Minggu 13 Maret 2016 atau hampir setahun setelah kecelakaan pesawat maskapai Germanwings di Pegunungan Alpen pada 24 Maret 2015. Senada dengan penyelidikan polisi beberapa bulan lalu, tim ini menyimpulkan pesawat jatuh karena pilot bunuh diri.

Pesawat jenis Airbus A320 rute Barcelona menuju Dusseldorf itu menabrak gunung setelah menukik tajam dari ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut, menuju titik terakhir radar di level 200 meter hanya dalam delapan menit.

Sampai beberapa detik sebelum menghujam pegunungan, pesawat itu dikendalikan oleh kopilot Andreas Lubitz. Pria asal Kota Montabaur, Jerman, itu dinyatakan oleh BEA terbukti mengidap gangguan jiwa serta depresi tingkat menengah.

Lubitz menenggak pil anti-depresan beberapa minggu sebelum insiden nahas tersebut. Kopilot 28 tahun itu memperbarui izin terbangnya pada November 2014.

"(Lubitz) mengidap gejala yang secara klinis disebut episode depresif psikotik saat kejadian," ujar Ketua Tim Investigasi Keselamatan Penerbangan Prancis (BEA) Remi Jouty.

Insiden pada 24 Maret 2015 itu menewaskan seluruh 144 penumpang dan enam kru. Korban berasal dari Jerman, Spanyol, Inggris, Kolombia, hingga Kazakhstan. Korban tewas termasuk dua bayi dan rombongan 16 pelajar dari Jerman yang sedang darmawisata.

Tim BEA memastikan Germanwings jatuh akibat aksi Lubitz bunuh diri, berdasarkan rekaman suara kokpit (CVR) serta kotak hitam pesawat.

Insiden bermula saat Pilot Patrick Sondenheime keluar dari kokpit karena ke kamar kecil. Saat hendak masuk lagi, pintu ruang kemudi tak bisa diakses. Pintu itu dikunci dari dalam oleh Lubitz. Selanjutnya, Lubitz mengganti kendali ke mode manual, lalu menurunkan secara ekstrem ketinggian pesawat.

Pilot diduga sudah merasa ada yang aneh sehingga memanggil nama kopilotnya dengan keras, bahkan cenderung berusaha menggebrak pintu dalam 10 menit akhir rekaman CVR. Selama rekaman itu, terdengar Lubitz bernapas secara normal, menandakan dia secara sadar melakukan aksinya.

Tim BEA mengatakan pilot Patrick menggunakan segala cara, termasuk memukul pintu kokpit memakai tabung pemadam api, untuk menyelamatkan pesawat. "Terdengar suara benda keras dihantamkan ke pintu kokpit sebelum pesawat jatuh," kata Jouty.

Keluarga korban berniat menggugat kembali maskapai, serta sekolah penerbangan yang dulu diikuti Lubitz. Phillip Bramley (60) asal Inggris, ayah dari salah satu korban Germanwings, mengatakan ada yang salah dengan pemeriksaan psikologi di maskapai maupun sekolah penerbangan.

"Seandainya 41 dokter yang pernah memeriksa (Lubitz) selama bekerja tidak mengabaikan kondisi kejiwaannya, anak saya pasti masih hidup," ujarnya.

Laporan BEA juga memberi amunisi bagi keluarga korban untuk menggugat. Disebutkan dalam laporan ini, bahwa dokter tidak memeriksa secara seksama bahwa Lubitz jelas-jelas mengidap gangguan jiwa.

"Seharusnya insiden ini bisa dihindari oleh maskapai maupun regulator terkait," kata Jouty.

Berikut kecelakaan pesawat lainnya yang diduga terjadi akibat niat pilotnya:

1. Mozambique Airlines penerbangan 470 (29 November 2013)

2. Air Botswana (11 Oktober 1999)

3. Royal Air Maroc Penerbangan 630 (21 Agustus 1994)

4. Egypt Air Penerbangan 990 (31 Oktober 1999)

5. Aeroflot (26 September 1976)

6. Japan Airlines, penerbangan 350 (9 Februari 1982)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.