Sukses

Jaksa: Harta Sanusi Menyimpang dari Penghasilan Anggota DPRD DKI

Menurut jaksa, total kekayaan Sanusi jika mengacu pada profil penghasilan seharusnya hanya Rp 4,8 miliar lebih.

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Mohamad Sanusi menerima suap dan pencucian uang. Eks Ketua Komisi D DPRD DKI itu disebut-sebut memiliki harta kekayaan yang tak sesuai profilnya.

‎Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, jaksa menyebut Sanusi memiliki kekayaan Rp 45 miliar lebih plus US$ 10 ribu. Kekayaan itu tak berbanding lurus dengan pendapatan mantan politikus Partai Gerindra tersebut selama menjabat anggota DPRD DKI Jakarta. Jaksa menyatakan, pendapatan resmi Sanusi hanya Rp 4.837.139.602 (Rp 4,8 miliar).

‎Pendapatan resmi Rp 4,8 miliar itu terdiri dari berbagai komponen. Pertama, dari jabatannya sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dan jabatan struktural lainnya sejak September 2009 hingga April 2016. Total pendapatannya dari jabatan itu sebesar Rp 2.237.985.000.

Lalu sesuai SPT tahunan pajak penghasilan (PPh) yang dilaporkan, Sanusi mempunyai penghasilan lainnya terkait pekerjaan di PT Bumi Raya Properti. Total pendapatan Sanusi dari perusahaan ini adalah Rp 2.599.154.602.

Sehingga total kekayaan Sanusi jika mengacu pada profilnya itu, seharusnya hanya Rp 4,8 miliar lebih. Namun, Sanusi memiliki kekayaan yang jauh melebihi dari angka tersebut.

‎Sanusi pun diketahui melakukan pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor. Aset kekayaannya itu yang dihitung mencapai mencapai Rp 45.287.833.773 (Rp 4,5 miliar lebih). Dia juga diketahui menyimpan uang US$ 10 ribu di brankas rumahnya.

Dengan demikian, aset kekayaan senilai Rp 45 miliar lebih dan US$ 10 ribu tersebut diduga diperoleh Sanusi dari hasil tindak pidana yang dilakukannya.

"Asal usul perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sah karena menyimpang dari profil penghasilan terdakwa selama menjadi anggota DPRD DKI Jakarta," ujar JPU di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (24/8/2016).

Pun demikian, selama menjadi anggota DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014 dan 2014-2019, Sanusi diketahui tidak pernah melaksanakan kewajibannya selaku penyelengara negara. Dalam hal ini melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK.

Ribuan Dolar di Brankas

Dalam kasus ini, jaksa mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro. Diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud, Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).

Suap juga dimaksudkan agar Sanusi mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MSW). Tujuannya, agar PT MSW mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.

Atas perbuatan itu, Sanusi yang juga adik kandung Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik tersebut didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.‎

Selain itu, jaksa juga mendakwa Sanusi dengan pencucian uang.‎ ‎Sanusi didakwa melakukan pencucian uang dengan membelanjakan atau membayarkan uang senilai Rp 45.287.833.733 (Rp 45 miliar lebih) untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor.

Tak cuma itu, Sanusi juga menyimpan uang US$ 10 ribu dalam brankas di lantai 1 rumahnya di Jalan Saidi I Nomor 23, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Uang senilai Rp 45 miliar lebih itu didapat Sanusi dari‎ para rekanan Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta‎ yang merupakan mitra kerja Komisi D DPRD DKI. Para rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI itu dimintai uang oleh Sanusi terkait pelaksanaan proyek pekerjaan antara tahun 2012 sampai 2015.

Atas perbuatannya, jaksa mendakwa Sanusi dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.