Sukses

Ahok: Pengembang Keberatan Bayar 15 Persen di Reklamasi Pantai

Ahok menjelaskan pengembang minta hanya bayar 5 persen. Padahal 15 persen digunakan untuk kepentingan masyarakat seperti perbaikan jalan.

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah curiga dengan dua rancangan peraturan daerah (raperda) reklamasi pantai yang jalan di tempat. Raperda itu seharusnya bisa diselesaikan di rapat paripurna, tapi selama tiga kali rapat tersebut selalu saja ditunda. Oleh karena itu, dia tidak heran ketika KPK menangkap Ketua Komisi D DPRD DKI M Sanusi.

"Saya enggak mengerti kenapa enggak mau paripurna, sudah 3-4 kali saya datang enggak ada orang. Saya tidak tahu alasannya apa. Apa duitnya enggak merata? Saya tidak tahu," kata Ahok, di Rusun Marunda, Jakarta, Sabtu (2/4/2016).

Dia menduga para pengembang bermain dengan oknum anggota DPRD DKI Jakarta untuk menghilangkan kewajiban membayar 15 persen dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tiap proyek reklamasi. Tidak hanya DPRD, Ahok juga mengatakan pengembang berusaha melobi Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah dan Kepala Bappeda DKI Tuti Kusumawati.

Agar tidak ada Pemprov DKI yang berani macam-macam, mantan Bupati Belitung Timur itu mengeluarkan disposisi.

"Saya kasih disposisi, saya ancam siapa pun yang turunkan 15 persen bakal saya masalahkan. Berarti itu korupsi karena ada deal," tegas dia.

Ahok menjelaskan pengembang hanya mau membayar kewajiban sebesar 5 persen dari NJOP per proyek. Besaran persentase itu dianggap merugikan Pemprov DKI.

Mantan anggota Komisi II DPR ini juga menjelaskan dengan kewajiban 15 persen NJOP yang harus dibayar pengembang, masyarakat juga mendapat banyak manfaat.

"Ini 15 persen dalam bentuk apa? Bisa buat sheet pile, jalan inspeksi, bisa buat rusun, jembatan‎, dan macam-macam. Nah kelihatannya kawan-kawan itu kurang senang soal 15 persen ini," papar Ahok.

Masalah ini terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Terdapat tiga orang yang ditetapkan sebagai tersangka, mereka adalah Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Sanusi, karyawan PT Agung Podomoro Land Trinanda, dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.‎ Sementara Gery dan Berlian untuk sementara masih berstatus saksi.‎

Selaku penerima, Sanusi dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

‎Ariesman dan Trinanda selaku pemberi dikenakan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP‎.

Dalam operasi kali ini, KPK berhasil mengamankan barang bukti uang Rp 1 miliar dan Rp 140 juta plus US$ 8 ribu. Uang Rp 1 miliar itu merupakan pemberian kedua kepada Sanusi dari pihak PT APL, sedangkan Rp 140 juta merupakan sisa dari pemberian pertama sebanyak Rp 1 miliar‎. Total Sanusi menerima uang sebanyak Rp 2 miliar‎ dari pihak PT APL.‎ Sementara US$ 8 ribu merupakan uang pribadi Sanusi.

Sanusi diduga menerima suap Rp 2,1 miliar‎ dari PT APL terkait pembahasan Raperda Rencana Wilayah Zonasi Pesisir Pulau-Pulau Kecil (RWZP3K) dan Raperda Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta oleh DPRD DKI.

Kedua raperda itu sebelumnya sudah pernah tiga kali ditolak pembahasannya oleh DPRD DKI dalam rapat paripurna. Di satu sisi, perusahaan-perusahaan swasta baru bisa melakukan pembuatan atau reklamasi pulau ‎jika sudah ada Perda RWZP3K dan Perda RTR Kawasan Pesisir Pantai Utara Jakarta.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.