Sukses

6 Fakta Menarik Kabupaten Buru Maluku, Bekas Lokasi Pengasingan Tahanan Politik G30S

Salah satu tahanan yang diasingkan ke wilayah Buru, Maluku, adalah penulis Pramudya Ananta Toer.

Liputan6.com, Jakarta - Kabupaten Buru berada di Provinsi Maluku. Letaknya berbatasan dengan Laut Seram di sebelah utara, Kabupaten Buru Selatan di sebelah selatan, dan Selat Manipa di sebelah timur. Luas wilayah 7.595,58 kilometer persegi yang terbagi menjadi sepuluh kecamatan, yaitu Namlea, Waeapo, Waplau, Bata Bual, Teluk Kaiely, Waelata, Lolong Guba, Lilialy, Airbuaya, dan Fena Leisela.

Kecamatan Fena Leisela menjadi kecamatan terbesar yang ada di Kabupaten Buru sekitar 37,38 persen dari luas wilayah Kabupaten Buru. Pada 2020, jumlah penduduk Kabupaten Buru sebanyak 135.238 jiwa yang terdiri dari 69.216 jiwa penduduk laki-laki dan perempuan sejumlah 66.022 jiwa.

Wilayah Buru sendiri terdiri dari daratan seluas 5.577,48 kilometer persegi dan lautan seluas 1.972,50 kilometer persegi. Kabupaten ini juga terdiri dari beberapa gugusan pulau yaitu Pulau Buru, Pulau Ambalau, Pulau Pasir Putih, Pulau Fogi, Pulau Tomahu, dan Pulau Oki. Berikut enam fakta menarik Kabupaten Buru yang dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber.

1. Tempat Pengasingan

Pada 1969-1979, Pulau Buru menjadi tempat pembuangan bagi orang-orang yang dianggap terlibat dengan kegiatan G30S/PKI dan mendukung Presiden Sukarno. Pulau ini dianggap sebagai Gulag ketika masa Orde Baru. Gulag merupakan istilah untuk tempat pembuangan para tahanan politik dan mekanisme untuk menindas oposisi dari rezim Orde Baru.

Mereka yang ditahan tidak melalui sidang sehingga tidak dapat dinyatakan bersalah secara hukum. Pembuangan ini sebenarnya termasuk bagian dari proyek Orde Baru untuk ‘membersihkan’ unsur Orde Lama. Para tahanan politik ini dianggap membahayakan rezim tersebut.

Salah satu tokoh terkenal yang ikut diasingkan adalah penulis ternama Pramoedya Ananta Toer. Ia dianggap bersikap oposisi terhadap pemerintahan Orde Baru.

Para tahanan ini diasingkan di Desa Savana Jaya, Kecamatan Waepo. Wilayah ini merupakan padang rumput luas yang dikelilingi hutan. Namun, pengasingan itu tak menghentikan kreativitas Pramudya. Ia bahkan membuat Tetralogi Buru yang sempat dilarang peredarannya di Indonesia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

2. Kedatangan China

Pada awal abad ke-7 M, pelaut Cina dari zaman Dinasti Tang mengunjungi daerah Maluku, termasuk Buru, Mereka datang untuk mencari rempah-rempah. Kedatangan bangsa Cina sengaja dirahasiakan untuk mencegah datangnya bangsa-bangsa lain.

Sebelum kedatangan Belanda, wilayah Buru masih di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Pada saat itu, Kesultanan Ternate tidak hanya menduduki wilayah Buru saja, tetapi beberapa wilayah lainnya seperti Pulau Seram, Kelang, Buano, dan Manipa.

Adanya pengaruh Kesultanan ternate terlihat dengan adanya perwakilan Sultan Ternate yang ditempatkan pada pulau-pulau tersebut dan diberi gelar sangadji atau TGimelaha (Kimelaha). Sejak VOC datang ke Indonesia, hasil bumi Buru dimonopoli oleh VOC, terutama cengkeh.

3. Penduduk Asli

Penduduk asli yang mendiami Buru adalah Suku Buru yang banyak tinggal di Pulau Buru. Suku ini menyebut dirinya sebagai Gebfuka atau Gebemliar yang berarti orang dunia atau orang tanah. Bahasa yang mereka gunakan yaitu Bahasa Buru.

Mereka tinggal di rumah-rumah panggung yang terbuat dari bambu dengan beratapkan alang-alang atau daun kelapa. Dalam keseharian, Suku Buru mengumpulkan sagu hutan yang menjadi makanan pokok mereka.

Sebelum mengenal kepercayaan seperti saat ini, Suku Buru menganut animisme, kepercayaan terhadap benda-benda sekitar yang dihuni oleh nenek moyang. Masyarakat Buru percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari gunung dan air, sehingga Danau Rana dan Gunung Date merupakan tempat yang keramat.

 

 

 

3 dari 4 halaman

4. Benteng VOC

Peninggalan sejarah dari Kabupaten Buru salah satunya Bentengg VOC yang berada di Negeri Kayeli, Kecamatan Waeapo. Benteng ini dibangun oleh Belanda pada 1785 sekaligus menandai masa kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda yang dipimpin oleh Gubernur Bernadus Van Pleuren.

Menurut sejarah, benteng ini sebenarnya dibangun oleh bangsa Portugis yang kemudian direbut oleh Belanda dan dibangun ulang pada 1785. Bangunan berbentuk segi empat ini berbahan batu bata pada dinding bagian luar, sedangkan isi tembok berbahan batu kali dengan campuran perekat dari pasir pantai dan kapur.

Tinggi Benteng VOC ini sebenarnya kurang lebih 4,5 meter. Tetapi karena sering terendam banjir setiap tahun, ketinggian benteng ini kini menyusut kurang dari dua meter.

5. Pantai Jikumerasa

Pantai Jikumerasa menjadi salah satu destinasi wisata yang diandalkan oleh pemerintah Kabupaten Buru. Pantai ini terletak di Desa Jikumerasa, Kecamatan Lilialy. Daya tarik utama pantai ini adalah wisata lumba-lumba. Tidak jarang, lumba-lumba tersebut lompat dari air.

Air laut yang berada di Pantai Jikumerasa memiliki gradasi warna dari biru, hijau, hingga tosca. Selain itu, pantai ini berpasir putih dengan air laut yang jernih. Tempat ini sering dijadikan tempat memancing oleh warga.

6. Air Terjun Waetina

Air Terjun Waetina terletak di Desa Bara, Kecamatan Airbuaya, sekitar 120 kilometer dari arah barat Kota Namlea. Air terjun ini memiliki tiga tingkatan yang setiap tingkatan akan membentuk sebuah kolam.

Air pada air terjun ini tampak jernih sehingga, batuan yang terdapat di dalam aliran air dapat terlihat. Lingkungan sekitar Air Terjun Waetina ini menghadirkan pepohonan lebat yang masih asri. (Gabriella Ajeng Larasati)

4 dari 4 halaman

Polemik Kebangkitan PKI

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.