Sukses

Pakar Kesehatan Global Mempertimbangkan Kesiapan Dunia untuk Akhiri Darurat COVID-19 di Panel WHO

Pada 4 Mei 2023, panel ahli kesehatan global bertemu untuk memutuskan apakah COVID-19 masih merupakan keadaan darurat di bawah aturan World Health Organization (WHO).

Liputan6.com, Jakarta - Panel ahli kesehatan global bertemu pada Kamis, 4 Mei 2023 untuk memutuskan apakah COVID-19 masih merupakan keadaan darurat di bawah aturan World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia.

WHO pertama kali menyatakan COVID-19 tingkat kewaspadaan tertinggi pada 30 Januari 2020, dan sejak saat itu panel tersebut terus menerapkan label tersebut, pada pertemuan yang diadakan setiap tiga bulan.

Namun, sejumlah negara baru-baru ini mulai mencabut keadaan darurat domestiknya, seperti Amerika Serikat (AS). Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan ia berharap untuk mengakhiri keadaan darurat internasional tahun ini.

Belum ada konsensus tentang cara panel itu memutuskan, kata penasihat WHO dan pakar eksternal, demikian dikutip dari Channel News Asia, Kamis (4/5/2023).

"Kedaruratan mungkin saja berakhir, tetapi sangat penting untuk mengomunikasikan bahwa COVID-19 tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang kompleks," kata Profesor Marion Koopmans, ahli virologi Belanda yang tergabung dalam panel WHO. Ia menolak untuk berspekulasi lebih jauh menjelang diskusi yang bersifat rahasia.

Salah satu sumber yang dekat dengan negosiasi mengatakan pencabutan "darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional" atau label Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), dapat berdampak pada pendanaan global atau upaya kolaborasi.

Sementara yang lain mengatakan bahwa virus yang tidak dapat diprediksi membuat sulit untuk dihubungi pada tahap ini.

"Kami belum keluar dari pandemi tetapi kami telah mencapai tahap yang berbeda," kata Profesor Salim Abdool Karim, pakar COVID-19 terkemuka yang sebelumnya memberi saran kepada pemerintah Afrika Selatan dalam menanggapinya.

Karim yang tidak tergabung dalam panel WHO, mengatakan jika status darurat dicabut, pemerintah harus tetap mempertahankan program pengujian, vaksinasi, dan pengobatan.

Yang lain mengatakan sudah waktunya beralih ke hidup dengan COVID-19 sebagai ancaman kesehatan yang berkelanjutan, seperti HIV atau tuberkulosis.

"Semua keadaan darurat harus diakhiri," kata Lawrence Gostin, seorang profesor hukum di Universitas Georgetown di AS yang mengikuti WHO.

"Saya mengharapkan WHO untuk mengakhiri darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional. Jika WHO tidak mengakhirinya (kali ini), maka pasti lain kali komite darurat bertemu."

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kasus COVID-19 di Malaysia Naik Hingga 13.000, Warga Diimbau Pakai Masker Lagi

Bicara soal COVID-19, masyarakat Malaysia baru-baru ini harus kembali berhadapan dengan bahaya COVID-19, untuk kedua kalinya.

Lonjakan kasus COVID-19 dilaporkan kembali terjadi di Malaysia. Setelah banyak negara yang tidak lagi mewajibkan penggunaan masker, merespons lonjakan kasus yang terjadi pakar kesehatan masyarakat di negara tersebut kembali mendorong masyarakat untuk mengenakan masker.

Data terbaru Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah kasus COVID-19 yang dikonfirmasi naik sebanyak 87,5 persen dalam 14 hari hingga 8 April lalu.

Di periode yang sama, diketahui bahwa rtingkat awat inap juga naik sebanyak 30,5 persen. Tingkat kematian akibat COVID-19 juga naik 25 persen.

Per 8 April, jumlah kasus aktif secara nasional mencapai lebih dari angka 13.000.

Kondisi ini mengkhawatirkan mengingat sudah banyak negara yang melewati masa-masa kritis pandemi COVID-19.

Akhirnya, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Malaysia mengeluarkan sebuah pernyataan pada Senin, 17 April 2023. Mendorong kembali masyarakat untuk memakai masker wajah di tempat-tempat ramai dan menjaga jarak sosial.

Baca selebihnya di sini...

3 dari 4 halaman

Populasi Shanghai Anjlok Lagi Usai Lockdown COVID-19, Ini yang Ketiga Sejak 2015

Kemudian, metropolis perkotaan paling padat di China kehilangan seperempat juta pekerja migran tahun lalu di tengah lockdown atau pembatasan ketat yang disebabkan oleh virus COVID-19, mengakibatkan total populasi Shanghai turun untuk ketiga kalinya sejak 2015, kata otoritas setempat pada Selasa, 28 Maret 2023.

Pusat ekonomi itu memiliki sekitar 24,76 juta orang pada 2022, turun 135.400 dibandingkan tahun 2021, menurut angka yang dikeluarkan oleh Biro Statistik Shanghai.

Sementara jumlah penduduk lokal sedikit meningkat, penurunan populasi dipengaruhi oleh eksodus pencari kerja dari daerah lain, bersamaan dengan tingkat kelahiran yang rendah dan populasi yang semakin menua, kata biro tersebut.

Melansir dari South China Morning Post, Jumat (30/3/2023), orang-orang berusia 65 tahun ke atas menyumbang 18,7 persen dari total populasi Shanghai, jauh di atas rata-rata nasional 14,9 persen.

Shanghai, yang mengalami lockdown seluruh kota selama dua bulan yang traumatis pada musim semi lalu, telah menyaksikan jumlah pekerja migrannya menurun dalam beberapa tahun terakhir, sejak sebelum pandemi.

Baca selebihnya di sini...

4 dari 4 halaman

2 Kasus Langka, Infeksi COVID-19 Pada Ibu Hamil Picu Kerusakan Otak Janin

Tak lama ini, studi makalah terbaru menunjukkan bahwa ibu hamil yang terinfeksi COVID-19 dikabarkan dapat berdampak pada janinnya.

Dalam kasus langka atau jarang terjadi, infeksi COVID-19 pada kehamilan dapat melewati plasenta dan menyebabkan kerusakan otak janin melalui peradangan yang berbahaya, menurut dua kasus baru. Bukti yang disajikan dalam makalah tersebut juga "meningkatkan kemungkinan" bahwa COVID-19 dapat langsung menginfeksi otak janin.

Dilansir dari Live Science, Sabtu (14/4/2023), laporan yang diterbitkan pada Kamis, 6 April 2023 di jurnal Pediatrics itu menunjukkan dua ibu yang keduanya positif SARS-CoV-2, virus penyebab COVID-19, selama trimester kedua kehamilan mereka.

Mereka tertular virus pada 2020, sebelum vaksin tersedia.

Terkena COVID-19 saat kehamilan, diketahui dapat meningkatkan risiko komplikasi lain, seperti kelahiran prematur atau preeklamsia (tekanan darah sangat tinggi dalam kehamilan). Namun secara keseluruhan, sejauh ini hasil dari bayi baru lahir yang terdampak COVID-19 umumnya baik, menurut sumber medis UpToDate.

Para penulis laporan kasus baru menekankan bahwa kasus kerusakan otak janin tampaknya sangat jarang terjadi.

Baca selebihnya di sini...

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini