Sukses

Kabar Gembira, Vaksin Malaria Pertama Berpotensi Ditemukan

WHO menyebut pencapaian itu sebagai terobosan bersejarah bagi ilmu pengetahuan.

Liputan6.com, Jakarta - Malaria adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati. Namun, setiap tahun malaria menyebabkan lebih dari 200 juta orang sakit. Malaria membunuh lebih dari 600.000 orang. Sebagian besar kematian ini, hampir setengah juta, terjadi pada anak-anak kecil di Afrika.

Itu berarti setiap satu menit, seorang anak meninggal akibat malaria, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Selasa (26/4/2022).

Terlepas dari berita suram ini, kini ada prospek cerah bagi pengendalian malaria, berkat pengembangan vaksin malaria pertama di dunia. WHO menyebut pencapaian itu sebagai terobosan bersejarah bagi ilmu pengetahuan.

Sebuah program percontohan dimulai sejak tahun 2019 di Ghana, Kenya, dan Malawi. WHO melaporkan, lebih dari satu juta anak di ketiga negara telah menerima vaksin malaria.

Mary Hamel, Kepala Program Penerapan Vaksin Malaria WHO, mengatakan program percontohan dua tahun itu menunjukkan vaksin itu aman, layak diberikan dan mengurangi penyakit malaria parah yang mematikan.

“Kami melihat penurunan 30 persen kematian pada anak-anak yang dibawa ke rumah sakit dengan malaria parah yang mematikan. Kami juga melihat hampir 10% pengurangan semua kematian anak yang disebabkan malaria. Jika vaksin ini disebarkan secara luas, diperkirakan dapat menyelamatkan tambahan 40 ribu hingga 80 ribu nyawa anak setiap tahun,” jelasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Pengembangan Vaksin Malaria

WHO melaporkan, Aliansi Vaksin, Gavi, menyediakan lebih dari US$ 155 juta untuk mendukung perluasan pengenalan vaksin malaria untuk negara-negara yang memenuhi syarat Gavi di negara-negara Afrika sub-Sahara.

Vaksin melawan malaria dikembangkan sebelum vaksin COVID-19 diproduksi. Hamel menambahkan, WHO belajar banyak dari upaya itu, yang dapat digunakan dalam pengembangan vaksin malaria pada masa depan.

“Kami tahu ada berbagai platform baru muncul sejak vaksin COVID, termasuk platform mRNA dan kini pengembang salah satu vaksin mRNA berharap bisa mengembangkan vaksin malaria dengan menggunakan platform yang sama," imbuh Hamel.

Juli lalu, BioNTech, pembuat vaksin Pfizer-BioNTech untuk COVID-19 mengumumkan, ingin melanjutkan kesuksesan itu dengan mengembangkan vaksin malaria yang menggunakan teknologi mRNA. Perusahaan farmasi itu mengatakan, akan memulai uji klinis akhir tahun ini.

3 dari 5 halaman

WHO: Malaria Berpotensi Meningkat di Masa Pandemi Corona COVID-19

Kurangnya dana dalam upaya pengobatan masyarakat di sub-Sahara Afrika di tengah pandemi Virus Corona COVID-19, bisa berisiko menyebabkan puluhan ribu nyawa hilang. Terlebih penyakit yang menyerang adalah malaria, menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Dikutip dari laman Al Jazeera, Badan Kesehatan PBB prihatin bahwa gangguan "ringan" semacam itu, terutama akses perawatan dapat menyebabkan "hilangnya nyawa yang cukup besar".

Gangguan akses untuk memperoleh obat anti-malaria di sub-Sahara Afrika dapat menyebabkan 19.000 kematian tambahan, tulis laporan tersebut.

"COVID-19 semakin mengancam upaya kita untuk menanggulangi malaria, khususnya mengobati penderita penyakit tersebut," kata Dr Matshidiso Moeti, Direktur Regional WHO untuk Afrika.

Terlepas dari dampak buruk COVID-19 terhadap ekonomi Afrika, mitra internasional dan banyak negara dinilai perlu berbuat lebih banyak untuk memastikan bahwa malaria tak menjadi permasalahan lain yang muncul ke permukaan.

 

4 dari 5 halaman

WHO: Malaria dapat Dicegah dan Diobati

Laporan dunia terbaru WHO tentang malaria dapat dicegah dan diobati, terutama yang menyerang negara-negara di Afrika.

Namun, data menunjukkan kemajuan untuk melawan malariatelah melambat ketika pandemi COVID-19 muncul awal tahun 2020.

Pada 2019, ada 229 juta kasus malaria di seluruh dunia, angka tahunan yang hampir tidak berubah selama empat tahun terakhir.

Sekitar 409.000 orang meninggal akibat penyakit itu pada 2019 dibandingkan dengan 411.000 pada 2018. Badan kesehatan PBB mengatakan pendanaan adalah bagian dari masalah.

Pada tahun 2000, para pemimpin Afrika menandatangani Deklarasi Abuja yang berjanji untuk mengurangi kematian akibat malaria di benua itu hingga 50 persen selama periode 10 tahun.

Komitmen politik dibarengi dengan peningkatan tajam dalam pendanaan domestik dan internasional yang membantu mengurangi jumlah kematian akibat malaria di benua itu sebesar 44 persen.

Tetapi kekurangan dana telah menyebabkan kesenjangan dalam akses ke langkah-langkah pengendalian malaria, kata WHO, dan kekurangan pada 2019 adalah senilai $ 3 miliar dibandingkan dengan target $ 5,6 miliar.

"Penargetan intervensi yang lebih baik, perangkat baru, dan peningkatan pendanaan diperlukan untuk mengubah lintasan global penyakit dan mencapai target yang disepakati secara internasional," kata WHO. 

5 dari 5 halaman

Perubahan Iklim Pengaruhi Penularan Malaria

Perubahan suhu, kelembapan, curah hujan, serta perubahan kondisi iklim lain ternyata sangat berdampak pada penularan penyakit malaria.

Dilansir dari News Medical, NASA mencatat 19 tahun terpanas suhu global terjadi sejak tahun 2000. Tahun 2020 dan 2016 dinobatkan menjadi tahun terpanas. Tak hanya itu, data suhu rata-rata global terus mengalami peningkatan signifikan dan terus bertahan selama satu abad terakhir.

Para ilmuwan meyakini adanya relevansi antara penyakit yang ditularkan oleh nyamuk dengan kenaikan suhu dan perubahan iklim. Kondisi iklim yang lebih hangat memudahkan penyebaran penyakit oleh nyamuk seperti malaria.

Data menunjukkan, bahwa peningkatan suhu, kelembapan, dan curah hujan mendorong perkembangbiakan populasi nyamuk di tempat yang lebih tinggi. Artinya, sangat mungkin apabila malaria muncul di lokasi baru yang sebelumnya tidak terjamah oleh nyamuk.

Namun, peningkatan suhu di tempat yang lebih rendah, dimana nyamuk dan malaria sudah lazim ditemui juga berdampak pada pertumbuhan parasit nyamuk membawa penyakit. Artinya, perkembangan dan penularan malaria akan lebih cepat terjadi di tempat yang lebih rendah.

Perubahan siklus El Nino juga menyebabkan daerah terdampak malaria menjadi lebih kering. Hal ini mengakibatkan peningkatan kasus malaria meningkat akibat hilangnya curah hujan tinggi. Temuan data menunjukkan kondisi kering akibat El Nino berkaitan dengan peningkatan sepertiga kasus malaria.  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.