Sukses

Studi di Swedia Ungkap Miliarder Tidak Lebih Pintar dari Pekerja

Sebuah studi menemukan bahwa miliarder, atau orang dengan kekayaan bernilai fantastis tidak lebih pintar dari masyarakat pada umumnya.

Liputan6.com, Jakarta Sebuah studi baru menunjukkan temuan mengejutkan terkait para orang kaya atau miliarder. Terkuak, studi yang diterbitkan pada bulan Januari 2023 menemukan bahwa miliarder atau orang dengan kekayaan bernilai fantastis tidak lebih pintar dari pekerja pada umumnya.

Studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Linköping University di Swedia, European University Institute di Italia dan University of Amsterdam di Belanda, menemukan bahwa ada beberapa miliarder, mendapat skor lebih rendah pada tes kemampuan kognitif daripada mereka yang berpenghasilan sedikit lebih rendah.

Melansir The Guardian, Kamis (11/5/2023), studi ini menganalisis data dari 59.000 pria di Swedia, kemudian melacak kehidupan para orang kaya ini selama lebih dari satu dekade. 

Para peneliti menemukan hubungan yang kuat antara seberapa pintar seseorang dan berapa banyak yang mereka hasilkan – ada yang berpenghasilan 46.700 poundsterling setahun.

"Sepanjang dimensi penting dari prestasi – kemampuan kognitif – kami tidak menemukan bukti bahwa mereka yang memiliki pekerjaan tinggi dengan gaji luar biasa lebih layak daripada mereka yang hanya mendapatkan setengah dari gaji tersebut," tulis para peneliti.

Namun, mengingat kesenjangan gaji yang melonjak antara CEO dan pekerja, menurut peneliti, studi ini dapat menjadi perhatian.

Di Amerika Serikat, kesenjangan upah antara CEO dan pekerja melonjak tahun lalu. Singkatnya, CEO di perusahaan AS dengan beberapa staf dengan bayaran terendah menghasilkan rata-rata USD 10,6 juta, sedangkan pekerja rata-rata hanya menerima USD 23.968.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Prestise Pekerjaan Tidak Pengaruhi Tingkat Kepintaran

Mengutip Benzinga, studi Linköping University juga menemukan bahwa prestise pekerjaan tidak meningkatkan kemampuan kognitif pada skala gaji yang lebih tinggi. Dalam profesi seperti kedokteran, hukum, dan akademisi, lebih banyak prestise tampaknya tidak terkait langsung dengan lebih banyak pendapatan.

Temuan ini menantang gagasan bahwa kesuksesan dan tingkat pendapatan yang lebih tinggi diperoleh dengan kecerdasan dan bakat yang unggul.

Sebaliknya, para peneliti berpendapat bahwa perbedaan kesuksesan awal yang kecil di antara individu dapat berkembang menjadi ketidaksetaraan yang ekstrim dari waktu ke waktu.

Namun, studi ini tentunya memiliki keterbatasan, karena hanya berfokus pada responden pria, membatasi generalisasinya pada populasi yang lebih luas. 

Di dunia di mana miliarder terus menjadi semakin kaya dan memiliki pengaruh lebih besar atas lanskap politik, sosial, dan ekonomi global, temuan studi ini signifikan, menurut peneliti.

 

3 dari 4 halaman

Kisah Shunsaku Sagami, Miliarder 32 Tahun Jepang Kaya dari Kecerdasan Buatan

Shunsaku Sagami, pendiri dan CEO M&A Research Institute Holdings yang kini baru berusia 32 tahun menyandang status miliarder Jepang terbaru.

Shunsaku Sagami, yang pekerjaan pertamanya adalah periklanan dan bukan keuangan tinggi, tergugah pengalaman sendiri untuk terjun ke bidang M&A.

Kerja kerasnya berbuah hasil, dia kini menjadi miliarder baru di Jepang pada usia 32 tahun. Bermula pada 2015, dia mendirikan perusahaan media mode bernama Alpaca yang diakuisisi oleh Vector, agen hubungan masyarakat yang terdaftar di Tokyo, kemudian berganti nama menjadi Smart Media.

Sagami, yang saat itu berusia pertengahan dua puluhan, terus bekerja di perusahaan tersebut dan membantunya melakukan akuisisi lebih lanjut.

Saat berada di sana, dia melihat apa yang menurutnya tidak efisien dalam proses pembuatan kesepakatan. Seperti dituliskan melalui sebuah unggahan di situs web M&A Research Institute.

Sementara itu, Sagami juga menyaksikan bisnis kakeknya terpaksa ditutup karena tidak ada penerus yang tetap menjalankannya. Tujuan menyeluruh Sagami adalah untuk membantu melestarikan UKM Jepang.

Lebih dari 99 persen dari semua perusahaan di Jepang adalah UKM dan sekitar dua pertiga dari mereka tidak memiliki penerus, menurut Teikoku Databank, sebuah perusahaan riset keuangan.

4 dari 4 halaman

Saham melonjak

Saham perusahaan yang berspesialisasi dalam M&A perusahaan kecil dan menengah, telah meroket dan naik lebih dari 340 persen sejak listing Juni lalu.

Sekitar 73 persen saham Sagami di perusahaan itu sekarang bernilai lebih dari USD 1 miliar, berdasarkan harga penutupan hari Jumat sebesar USD 74,36.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini