Sukses

Bank Dunia Tambah Dana Bantuan ke Ukraina Rp 38,1 Triliun

Bank Dunia mengumumkan pembiayaan hibah tambahan untuk Ukraina sebesar USD 2,5 miliar.

Liputan6.com, Jakarta - Bank Dunia mengumumkan tambahan pembiayaan hibah sebesar USD 2,5 miliar atau Rp. 38,1 triliun untuk Ukraina yang masih dilanda perang.

Hibah tersebut memberikan dukungan langsung ke anggaran Ukraina di bawah skema Public Expenditures for Administrative Capacity Endurance in Ukraine (PEACE).

Melansir laman resmi Bank Dunia, Senin (27/2/2023) dana bantuan tersebut disediakan oleh United States Agency for International Development (USAID), dan  akan disalurkan ke Pemerintah Ukraina setelah dilakukan verifikasi yang sesuai atas pengeluaran yang memenuhi syarat. 

Sejauh ini, Bank Dunia telah megeluarkan dana lebih dari USD 20,6 miliar dalam pembiayaan darurat untuk membantu Ukraina.

Sejumlah negara yang ikut menyumbang di antaranya adalah Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Spanyol, Norwegia, Jerman, Kanada, Swiss, Swedia, Denmark, Austria, Finlandia, Irlandia, Lituania, Latvia, Islandia, Belgia, dan Jepang (pembiayaan paralel).

Bank Dunia mengatakan, paket pembiayaan tambahan ini akan mendukung sektor-sektor utama, termasuk perawatan kesehatan, sekolah, pembayaran pensiun, pembayaran untuk pengungsi internal, program bantuan sosial, dan upah untuk karyawan yang menyediakan layanan pemerintah.

"Satu tahun invasi Rusia ke Ukraina, dunia terus menyaksikan kehancuran mengerikan yang menimpa negara dan rakyatnya," kata Presiden Grup Bank Dunia David Malpass.

"Saya senang bahwa Bank Dunia telah memobilisasi USD 20,6 miliar untuk mendukung Ukraina sejak awal perang, di mana USD 18,5 miliar telah disalurkan, menjangkau lebih dari 12 juta orang Ukraina. Kami akan terus mendukung rakyat Ukraina melalui proyek perbaikan mendesak dan berkoordinasi dengan Pemerintah untuk upaya pemulihan dan rekonstruksi," sambungnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Raksasa, Simak Kerugian Ekonomi Global dari Perang Rusia Ukraina

Perang Rusia Ukraina telah merugikan ekonomi global hingga lebih dari USD 1,6 triliun pada 2022 lalu.

Hal itu diungkapkan dari sebuah penelitian yang dirilis oleh German Institute of Economics.

Mengutip Anadolu Agency, Kamis (23/2/2023) penelitian German Institute of Economics juga mengungkapkan bahwa, kerugian produksi global akibat perang Rusia Ukraina dapat bertambah USD 1 triliun atau lebih di tahun 2023 ini.

Penghitungan model lembaga ini didasarkan pada produk domestik bruto (PDB). Prakiraan dari Dana Moneter Internasional (IMF) menjadi dasar perhitungan dan estimasi.

Dalam studi ini, perkembangan aktual PDB pada 2022 dan perkiraan untuk tahun 2023 dibandingkan dengan perkembangan yang dilihat semula sebelum pPerang Rusia Ukraina pada akhir tahun 2021.

Seperti diketahui, konflik Rusia Ukraina telah memicu gangguan pasokan dan produksi di seluruh dunia. Selain itu, harga energi juga meroket. Masalah ini diperburuk dengan lonjakan inflasi di negara negara maju, yang mengurangi daya beli konsumen.

"Mengingat prospek ekonomi yang tidak pasti, kenaikan biaya pembiayaan akibat kenaikan suku bunga di seluruh dunia dan kenaikan biaya barang modal, perusahaan di seluruh dunia menahan investasi mereka," beber studi German Institute of Economics.

Namun untuk tahun ini, penulis studi memperkirakan kerugian absolut akan sedikit lebih rendah daripada tahun 2022. 

Alasan dari perkiraan itu adalah, karena adanya pelonggaran pasar bahan baku dan energi global.

3 dari 4 halaman

Bahaya, Krisis Energi Bisa Bikin 141 Juta Orang Masuk Jurang Kemiskinan Ekstrem

Krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia-Ukraina berisiko mendorong 141 juta orang di seluruh dunia ke dalam kemiskinan ekstrem. 

Hal itu diungkapkan oleh laporan baru yang diterbitkan dalam jurnal Nature Energy.

Melansir CNN Business, Selasa (21/2/2023) dalam jurnal Nature Energy para peneliti dari Belanda, Inggris, China, dan Amerika Serikat membuat model dampak kenaikan harga energi di 116 negara dan menemukan bahwa pengeluaran rumah tangga meningkat rata-rata hingga 4,8 persen.

Naiknya pengeluaran ini karena harga batu bara dan gas alam melonjak menyusul pecahnya perang Rusia-Ukraina, menambahkan kenaikan pasca pandemi.

Di negara-negara berpenghasilan rendah, laporan tersebut mengatakan rumah tangga miskin yang sudah menghadapi kekurangan pangan yang parah memiliki risiko kemiskinan yang lebih besar karena biaya energi yang tinggi.

Tak hanya itu, rumah tangga di negara-negara berpenghasilan tinggi juga merasakan dampak kenaikan biaya energi, tetapi lebih mungkin untuk menyerapnya ke dalam anggaran rumah tangga, kata laporan itu.

Selain itu, sejumlah negara juga ada yang sangat terekspos dengan lonjakan biaya energi.

Salah satunya, kenaikan biaya energi di Estonia, Polandia, dan Republik Ceko berada di atas rata-rata global, terutama karena negara-negara tersebut lebih mengandalkan industri padat energi. Polandia khususnya mengandalkan batu bara untuk 68,5 persen pembangkit energinya, pada tahun 2020.

Kenaikan biaya energi yang disebabkan oleh krisis di Ukraina juga berdampak pada meningkatnya biaya kebutuhan pangan.

Dibandingkan tahun lalu, harga telur di AS naik 70,1 persen, margarin naik 44,7 ersen, mentega 26,3 persen, tepung 20,4 persen, roti 14,9 persen, gula 13,5 persen dan harga ayam naik 10,5 persen bersama-sama dengan buah, menurut data inflasi yang dirilis Biro Statistik Tenaga Kerja AS bulan ini.

4 dari 4 halaman

Nestle Hingga Unilever Mulai Rasakan Kenaikan Biaya

CEO Nestlé, grup makanan terbesar di dunia, menggemakan raksasa konsumen lainnya seperti Unilever dan Proctor & Gamble untuk memperingatkan bahwa harga barang kebutuhan pokok akan naik lebih jauh tahun ini.

"Seperti semua konsumen di seluruh dunia, kami telah terkena inflasi dan sekarang kami sedang mencoba untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi," kata CEO Nestlé Mark Schneider dalam sebuah panggilan telepon dengan wartawan.

Dari 2.000 merek perusahaan makanan, yang mencakup makanan beku, kembang gula, dan susu formula bayi, Nestle akan terpengaruh oleh kenaikan harga.

Kepala keuangan Unilever Graeme Pitkethly juga mengatakan, "Kami mungkin melewati puncak inflasi, tetapi kami belum mencapai harga puncak." CEO Unilever mengatakan pada panggilan yang sama bahwa perusahaan memperkirakan harga pangan meningkat secara signifikan pada tahun 2023.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.