Sukses

Rupiah Hampir Sentuh 15.500 per Dolar AS, Subsidi BBM Semakin Bengkak

Nilai tukar rupiah dalam asumsi APBN 2022 ditetapkan di angka 14.500 per dolar AS. Sedangkan saat ini sudah terus berada di atas 15.000 per dolar AS.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, mengatakan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus berlanjut sampai saat ini akan sangat mempengaruhi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM).

Dia menjelaskan terkait harga minyak. Di dalam APBN 2022, asumsi harga minyak USD 63-70 per barel. Harga minyak sejak Januari 2022 sampai dengan Agustus 2022 rata-rata USD 103 per barel. Produksi minyak Indonesia 700.000 barel per hari. Sedangkan konsumsi minyak 1.500.000 barel per hari.

“Jadi kita impor per hari 800.000 barel. Sedangkan negara kita ini bukan lagi negara penghasil minyak di OPEC sana,” kata Bahlil dalam menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) ke-XV di Universitas Negeri Padang, Selasa (18/10/2022).

Dalam APBN 2022, subsidi BBM sebesar Rp 135 triliun dengan asumsi harga minyak USD 63 per barel hingga USD 70 per barel. Dengan harga  rata-rata mencapai USD 103 per barel berarti ada kenaikan USD 33 per barel.

Selain itu, nilai tukar rupiah dalam asumsi APBN 2022 ditetapkan di angka 14.500 per dolar AS. Sedangkan saat ini sudah terus berada di atas 15.000 per dolar AS dan hampir menembus 15.500 per dolar AS.

“Hari ini sudah 15.000 per dolar AS. Maka kita harus disubsidi BBM ini Rp 635 triliun,” kata Bahlil.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tak Tepat Sasaran

Bahlil melanjutkan, yang memprihatinkan, sebesar 70 persen tidak tepat sasaran. Sebab subsidi BBM tersebut justru jatuh ke kelompok orang yang berkecukupan. Oleh karena itu, pemerintah mengalihkan subsidi tersebut langsung ke kalangan tidak mampu.

Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan ancaman krisis di dalam negeri tidak lepas dari dinamika krisis global yang datang silih berganti. Krisis global berawal dari perang dagang antara China dan Amerika Serikat, disusul krisis kesehatan yakni Covid-19, kemudian diperparah oleh perang antara Rusia dan Ukraina. Selain itu, menanti di depan mata, ketegangan antara Taiwan dan China.

“Perang dagang antara China dan Amerika, mereka saling mem-banned produk-produknya. Pertarungan gang penguasa ekonomi global. Adik-adik mahasiswa, belum selesai perang dagang, datang bencana Covid-19,” ujar Bahlil.

 

3 dari 3 halaman

2 Krisis Besar

Covid-19 berawal dari krisis kesehatan berubah menjadi krisis ekonomi, sosial, hingga politik. Untuk Indonesia, dikatakannya, merupakan negara yang berhasil mengendalikan Covid-19. Belum selesai, muncul perang Ukraina dan Rusia. Perang ini dikatakan Bahlil, melahirkan dua krisis besar.

“Satu krisis energi dan kedua krisis pangan,” imbuhnya.

Menurutnya, di hampir seluruh dunia terancam oleh kedua krisis ini, termasuk Indonesia. Bahlil mengatakan Indonesia terancam tidak mengonsumsi Indomie dan Pop Mie, mengingat 100 persen Indonesia mengimpor gandum dunia, salah satunya dari Ukraina.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.