Sukses

Siap-Siap Krisis Energi, Rusia Disebut Bakal Kurangi Produksi Minyak Mentah 30 Persen

Rusia pada biasanya memompa sekitar 10 juta barel produksi minyak mentah per hari dan mengekspor sekitar setengahnya, sebelum invasi di Ukraina terjadi.

Liputan6.com, Jakarta - Rusia diprediksi bakal mengurangi produksi minyak mentah hingga 30 persen seiring dengan sanksi ekonomi yang dipicu oleh invasi di Ukraina.

Dilansir dari CNN Business, Kamis (17/3/2022) Badan Energi Internasional mengatakan pengurangan produksi minyak  ini dikhawatirkan memicu krisis pasokan terbesar dalam beberapa dekade, kecuali bagi Arab Saudi dan negara eksportir energi lainnya.

Menurut IEA, Rusia, yang merupakan pengekspor minyak mentah terbesar kedua di dunia bisa terpaksa membatasi produksi hingga 3 juta barel minyak mentah dalam sehari di April 2022 mendatang.

Hal ini karena perusahaan minyak besar, perdagangan dan perusahaan pelayaran mulai menurunkan ekspor dan permintaan di Rusia merosot.

Sebagai informasi, Rusia pada biasanya memompa sekitar 10 juta barel minyak mentah per hari dan mengekspor sekitar setengahnya, sebelum invasi di Ukraina terjadi.

"Implikasi dari potensi hilangnya ekspor minyak Rusia ke pasar global tidak dapat diremehkan," kata IEA dalam laporan bulanannya.

"Krisis dapat membawa perubahan yang tahan lama ke pasar energi," tambah badan tersebut.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kemana Negara Barat akan Beralih Pasok Minyak?

Diketahui bahwa Kanada, Amerika Serikat, Inggris dan Australia telah melarang impor minyak Rusia, dan mempengaruhi sekitar 13 persen ekspor Rusia.

Perusahaan-perusahaan minyak besar dari negara Barat telah memberhentikan bisnis dan kemitraan di Rusia, dan menghentikan proyek-proyek baru.

Uni Eropa juga mengumumkan sanksi baru terkait larangan investasi di industri energi Rusia.

IEA, yang memantau tren pasar energi untuk negara-negara terkaya di dunia, mengatakan bahwa penyulingan sekarang berebut untuk menemukan sumber pasokan alternatif.

Mereka berisiko mengurangi aktivitas saat konsumen global menghadapi lonjakkan harga bensin.

Saat ini, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab menjadi satu-satunya produsen dengan kapasitas cadangan yang signifikan. Tetapi perlu dicatat, kedua negara adalah bagian dari koalisi 23 anggota OPEC+, yang juga termasuk Rusia. 

Duta Besar UEA untuk AS mengatakan pekan lalu bahwa negaranya mendukung pemompaan tambahan, tetapi pejabat lain mengatakan pihaknya berkomitmen pada kesepakatan OPEC+.

IEA pun menyebut, baik UEA maupun Arab Saudi sejauh ini tidak menunjukkan "kesediaan untuk memanfaatkan cadangan mereka".

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.