Sukses

Duh, Rasio Pajak Indonesia Tak Tumbuh Sejak 1998

Sejak 1998 sampai 2020 rasio pajak atau tax ratio Indonesia tidak mengalami pertumbuhan signifikan.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengakui, sejak 1998 sampai 2020 rasio pajak atau tax ratio Indonesia tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Hal ini disebabkan informalitas yang tinggi di dalam perekonomian Indonesia hingga masih rendahnya kepatuhan pajak.

Dia mengatakan minimnya rasio pajak juga tidak sejalan dengan peningkatan pendapatan per kapita yang mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.

“Masih banyak pelaku ekonomi yang belum masuk di dalam sistem, dan juga adanya pemberian berbagai insentif fasilitas perpajakan yang kemudian menggerus penerimaan perpajakan, juga penyebab rasio pajak tidak mengalami pertumbuhan berarti,” ujarnya saat rapat kerja bersama Komisi XI mengenai RUU KUP secara virtual, Senin (28/6).

Bendahara Negara ini menjelaskan kontribusi pajak relatif rendah berasal dari sektor pertanian, konstruksi, dan real estate. Hal itu terjadi karena adanya kebijakan exemption dan rezim pajak final.

“Kinerja pajak sektor manufaktur juga menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun sektor perdagangan kinerjanya meningkat. Lalu, rasio pajak sektor manufaktur cenderung turun, namun masih relatif tinggi,” ungkapnya.

Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkapkan, beberapa urgensi pemerintah dalam melakukan reformasi perpajakan. Salah satunya pemerintah melihat basis pajak semakin kuat dan makin merata. Hal ini tercermin dari konsumsi rumah tangga dan pendapatan per kapita masyarakat yang sudah semakin tinggi.

Di samping itu, upaya reformasi perpajakan dilakukan karena pemerintah berkepentingan untuk terus menjaga instrumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai sebuah instrumen yang sehat dan berkelanjutan. Di mana penerimaan negara terus diupayakan sehingga menciptakan kapasitas fiskal yang memadai.

Namun, lanjut Sri Mulyani, di dalam rangka membiayai kebutuhan pembangunan yang masih begitu banyak dan luas, risiko APBN juga tetap terjaga dengan utang yang harus dikelola secara penuh. Tujuannya agar mampu untuk terus mendorong dan terus menjalankan proses pembangunan.

"Reformasi perpajakan kita terdiri dari reformasi dibidang kebijakan dan reformasi di bidang administrasi," kata Sri Mulyani.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Begini Perbandingan Tax Gap Indonesia dengan Negara Maju

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, reformasi perpajakan perlu diterapkan untuk mengurangi tax gap Indonesia ke level normal.

Pada tahun 2019, tercatat tax gap Indonesia mencapai 8,5 persen, lebih tinggi dibanding tahun 2018 yang mencapai 8,08 persen.

"Normalnya negara lain tax gapnya adalah sekitar 3,6 persen, dilihat dari Indonesia, dari sisi kemampuan kita meng-collect perpajakan kita, sebetulnya terdapat potensi tax gap yang harus kita kurangi sebesar mendekati 5 persen dari GDP," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI dan Menkumham, Senin (28/6/2021).

Lanjutnya, dalam sistem perpajakan, terdapat potensi kepatuhan hingga 100 persen, alias semua masyarakat membayar. Kendati, tax gap akan selalu timbul sekecil apapun.

Di beberapa negara maju, terdapat tax gap dengan kisaran 10 persen hingga 20 persen dari potensi. Misalnya, PPh Amerika Serikat 16,2 persen, PPh Australia 12,2 persen dan PPN median EU 10,1 persen.

"Reformasi perpajakan aspek kebijakan dan administrasi akan meningkatkan kepatuhan dan pengumpulan pajak sehingga mengurangi tax gap menuju normal," jelas Sri Mulyani.

Sebagai informasi, Tax Gap Wajib merupakan selisih antara jumlah pajak yang menjadi kewajiban wajib pajak pada suatu kurun waktu tertentu (misal tahun pajak) dengan pajak yang dia sudah bayarkan ke kas negara. 

3 dari 3 halaman

Sri Mulyani Blak-blakan soal Reformasi Pajak, Ternyata Ini Tujuannya

Menteri Keuangan Sri Mulyani membeberkan urgensi reformasi perpajakan untuk menuju pajak yang adil, sehat, efektif dan akuntabel.

Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI dan Menteri Hukum dan HAM, Senin (28/6/2021), Sri Mulyani menyebutkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dihasilkan dari basis pajak yang kuat dan merata.

"Kita juga berkepentingan untuk terus menjaga instrumen APBN sebagai instrumen yang sehat dan berkelanjutan, di mana penerimaan negara diupayakan selalu memadai sehingga menciptakan kapasitas fiskal yang memadai juga," ujar Sri Mulyani.

Lanjutnya, APBN yang sehat juga harus rendah risiko dan memiliki rasio utang yang terjaga. Dengan begitu, APBN yang sehat akan mendorong investasi dan penciptaan lapangan kerja serta kemudahan berusaha, yang berujung pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Reformasi pajak sendiri terdiri atas 2 bagian, yaitu reformasi kebijakan dan reformasi administrasi. Dalam reformasi kebijakan, yang dilakukan ialah memperluas basis pajak, menjawab tantangan competitiveness, insentif yang terukur, efisien dan adaptif serta fokus pada sektor bernilai tambah tinggi dan menyerap tenaga kerja.

"Lalu reformasi kebijakan juga harus mengurangi distorsi dan exemption berlebihan dan memperbaiki progretivitas pajak," ujarnya.

Sementara dari sisi reformasi administrasi, perlaksanaannya harus simpel dan efisien, menjamin kepastian hukum perpajakan, data dan informasi dikelola secara optimal, melakukan adaptasi terhadap perkembangan struktur ekonomi, mengikuti tren dan best practices secara global dan meningkatkan kepatuhan pajak.  

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.