Sukses

Harga Minyak Naik Dibayangi Kekhawatiran Geopolitik

Produksi minyak AS diperkirakan akan meningkat di atas 10 juta barel per hari.

Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah dunia sedikit berubah, dengan diperdagangkan mendekati level tertinggi sejak Mei 2015. Ini terpicu kekhawatiran politik di beberapa negara OPEC yang mengimbangi proyeksi produksi minyak Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi.

"Harga minyak berimbang pada sesi perdagangan hari ini. Protes yang sedang berlangsung di Iran, bersamaan dengan penahanan beberapa pangeran baru-baru ini di Arab Saudi, telah menghidupkan kembali kekhawatiran geopolitik," jelas Abhishek Kumar, Analis Energi Senior di Global Gas Analytics Interfax Energy di London mengutip Reuters, Selasa (9/1/2018).

Dia mengatakan, prospek kenaikan produksi minyak mentah AS di tengah kenaikan baru-baru ini terus mendorong sentimen bearish.

Adapun harga kontrak berjangka minyak Brent naik 16 sen atau 0,2 persen menjadi US$ 67,78 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik 29 sen atau 0,5 persen menjadi US$ 61,73 per barel.

Pekan lalu, harga kontrak kedua jenis minyak tersebut naik ke level tertinggi sejak Mei 2015. Dengan minyak Brent di posisi US$ 68,27 dan WTI US$ 62,21 per barel.

Produksi minyak AS diperkirakan akan meningkat di atas 10 juta barel per hari, sebagian besar akibat kenaikan pada pengeboran minyak serpih, menurut data energi federal. 

Di negara OPEC, hanya Rusia dan Arab Saudi yang menghasilkan lebih banyak minyak. "Harga minyak AS sekarang masuk dalam kisaran yang diantisipasi untuk menarik peningkatan produksi minyak shale," kata Ric Spooner, Chief Market Analyst di CMC Markets di Sydney.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Gejolak Jadi Fokus Utama

Kenaikan produksi minyak AS adalah faktor utama yang melawan penurunan output minyak dunia, yang dipimpin Organisasi Negara Pengekspor Minyak yang didominasi Timur Tengah dan Rusia. Kebijakan ini dimulai pada Januari 2017 dan diperkirakan akan berlangsung hingga 2018.

Sumber OPEC mengatakan, lembaga ini juga terus memantau kerusuhan di Iran, serta krisis ekonomi yang melanda Venezuela. Sebab kondisi ini bisa meningkatkan output minyak dunia jika terjadi gangguan produksi yang signifikan dan berkelanjutan dari negara-negara tersebut.

Stephen Innes, Kepala Perdagangan Pialang Berjangka Oanda untuk Asia Pasifik, mengatakan debat OPEC versus shale akan menjadi faktor pendorong utama harga minyak tahun ini.

Namun, Innes menambahkan bahwa gejolak Timur Tengah akan tetap menjadi fokus utama pasar minyak dan berpotensi membuat harga minyak meroket lebih tinggi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.