PM Belanda Mark Rutte Pilih Pensiun dari Politik Pasca Mengundurkan Diri

Pada Jumat (7/7) malam, PM Mark Rutte mengumumkan bahwa pemerintahan koalisinya yang terdiri dari empat partai telah bubar karena isu suaka dan perbedaan yang tidak dapat dijembatani.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 11 Jul 2023, 08:08 WIB
PM Belanda Mark Rutte menyampaikan sambutan saat melakukan kunjungan kerja ke Kompleks Parlemen, Jakarta Rabu (23/11). Kunjungan itu untuk mengadakan pertemuan bilateral guna membahas sejumlah agenda kerja sama RI-Belanda (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Amsterdam - Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte mengumumkan pengunduran dirinya dari politik pasca pemerintahan koalisinya runtuh menyusul pertikaian tentang imigrasi.

Keputusannya itu berarti akhir dari kekuasaan selama lebih dari 13 tahun bagi pemimpin konservatif yang kadang-kadang disebut "Teflon Mark" karena sejumlah skandal yang melanda empat pemerintahannya tidak berhasil menjatuhkannya.

Pemimpin pemerintahan terlama di Belanda itu mengatakan dalam debat darurat parlemen pada Senin (10/7/2023) pagi bahwa dia tidak akan memimpin Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi (VVD) dalam pemilu yang diharapkan berlangsung pada November. Sebaliknya, dia akan meninggalkan politik.

"Dalam beberapa hari terakhir, orang berspekulasi tentang apa yang memotivasi saya, dan satu-satunya jawaban adalah: Belanda... Kemarin pagi saya mengambil keputusan bahwa saya tidak akan lagi memimpin VVD. Ketika pemerintahan baru mengambil alih, saya akan meninggalkan politik," ujar PM Rutte seperti dilansir The Guardian, Selasa (11/7/2023).

Pada Jumat (7/7) malam, Rutte mengumumkan bahwa pemerintahan koalisinya yang terdiri dari empat partai telah bubar karena isu suaka dan perbedaan yang tidak dapat dijembatani.

Imigrasi telah menjadi salah satu isu yang paling diperdebatkan di Belanda sejak Musim Gugur lalu, di mana terdapat antrean panjang di pusat pendaftaran suaka di Ter Apel hingga mengakibatkan seorang bayi meninggal.

Pemerintah koalisi runtuh karena rencana PM Rutte memperketat pembatasan penyatuan kembali keluarga pencari suaka, dalam upaya membatasi jumlah atau kedatangan setelah skandal kepadatan.

2 dari 2 halaman

Tidak Dapat Diprediksi

Presiden Joko Widodo atau Jokowi (kanan) berbincang dengan PM Belanda Mark Rutte (kiri) sebelum pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (7/10/19). Pertemuan itu membahas kerja sama strategis antara Indonesia dan Belanda kedepan berdasarkan prinsip kemitraan komprehensif. (AP/Dita Alangkara)

Setelah pengunduran diri pemerintahan Rutte, Partai untuk Kebebasan yang anti-imigrasi dan berhaluan kanan pimpinan Geert Wilders mulai berkampanye. Demikian pula dengan Gerakan Petani-Warga Negara (BBB) pimpinan Caroline van der Plas, yang memenangkan pilkada pada Maret.

Pada akhir pekan, GreenLeft dan Partai Buruh mengatakan bahwa mereka akan meminta anggotanya untuk membentuk koalisi sayap kiri menjelang pemilu.

Sementara itu, anggota parlemen saat ini akan tetap di tempat sampai pemilu dengan catatan mereka tidak dapat mengambil keputusan tentang isu-isu kontroversial seperti pembangunan rumah, polusi, krisis biaya hidup, dan suaka.

Hasil pemilu tidak dapat diprediksi mengingat sistem multipartai Belanda yang terfragmentasi, terlebih kepercayaan pada pemerintah disebut berada pada titik terendah dalam sejarah.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya