Sukses

Sentimen Global Bebani IHSG selama Sepekan

Aksi jual investor asing dan sentimen eksternal bebani laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan.

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan selama sepekan. Hal itu seiring sentimen eksternal mendominasi laju IHSG.

Sentimen itu mulai dari dolar Amerika Serikat (AS) yang menguat. Kemudian bank sentral Eropa mengejutkan membalikkan stimulusnya ini mendorong sinyal pertumbuhan melambat dan meningkatnya ancaman resesi.

Mengutip laman PT Ashmore Asset Management Indonesia, Sabtu (9/3/2019), IHSG melemah 1,8 persen selama sepekan dari posisi 6.499,88 pada 1 Maret menjadi 6.383,06 pada Jumat 8 Maret 2019.

Hal ini seiring saham kapitalisasi besar yang masuk indeks LQ45 tergelincir 2,28 persen. Investor asing pun masih lanjutkan aksi jual mencapai USD 191 juta atau sekitar Rp 2,68 triliun (asumsi kurs Rp 14.063 per dolar AS).

Sementara itu, di pasar obligasi, indeks obligasi naik 0,03 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun menjadi 7,97 persen. Nilai tukar rupiah melemah ke posisi 14.314 terhada dolar AS. Investor asing jual obligasi mencapai USD 80 juta atau sekitar Rp 1,12 triliun.

Ada sejumlah sentimen eksternal bayangi pasar keuangan dunia sehingga berdampak terhadap pergerakan IHSG pada pekan ini.

Pertama,  negosiasi perang dagang Amerika Serikat-China masih jadi perhatian pasar. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dapat bertemu pada akhir Maret untuk akhiri perang dagang antar du negara itu.

The Wall Street Journal melaporkan, pada minggu, kedua belah pihak berada dalam tahap akhir negosiasi kesepakatan yang akan melibatkan penurunan tarif China pada berbagai barang AS jika pemerintahan Trump hapus sanksi luas terhadap China.

Berdasarkan laporan itu, pembicaraan kedua negara  sudah cukup jauh sehingga Trump dan Xi Jinping dapat capai kesepakatan formal pada pertemuan 27 Maret.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Neraca Dagang AS dan China

Kedua, defisit neraca perdagangan Amerika Serikat. Defisit perdagangan AS melonjak hampir 19 persen pada Desember dan mengarah ke angka defisit perdagangan selama setahun ke posisi tertinggi dalam 10 tahun dengan nilai USD 621 miliar.

Defisit perdagangan naik menjadi USD 59,8 miliar pada Desember dari periode November di kisaran USD 50,3 miliar. Kesenjangan memburuk karena orang AS membeli lebih banyak peralatan rumah tangga, ponsel dan produk komputer dari luar negeri.

Sementara itu, permintaan asing untuk pesawat sipil dan produk minyak turun, menyeret turun ekspor AS.

Ketergantungan AS pada impor tampaknya telah meningkat setelah tarif diberlakukan Trump pada tahun lalu di produk baja, aluminium China.

Defisit perdagangan dengan China naik menjadi USD 419,2 miliar, angka tertinggi pada catatan itu. Akselerasi pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu dari pemotongan pajak yang didanai utang membantu meningkatkan selera barang asing.

Selain rekor kesenjangan perdagangan barang dengan China, ketidakseimbangan mencapai puncaknya dengan Meksiko sebesar USD 81,5 miliar dan Uni Eropa sebesar USD 169,3 miliar. AS mencatat surplus dengan Amerika Selatan dan Tengah pada tahun lalu.

Ketiga, neraca dagang China. Pada Jumat pekan ini, China melaporkan data perdagangan yang lebih buruk dari yang diperkirakan pada Februari.

Data bea cukai menunjukkan di tengah sengketa neraca perdagangan, ekspor Beijing dalam dolar AS merosot 20,7 persen pada Februari. Sedangkan ekspor Januari naik 9,1 persen dari tahun lalu.

Impor dalam dolar AS turun 5,2 persen pada Februari. Neraca perdagangan China juga signifikan lebih lemah dari yang diharapkan yang mencapai USD 4,12 miliar. Ekonom yang disurvei Reuters memperkirakan neraca perdagangan keseluruhan mencapai USD 26,38 miliar.

Sedangkan pada Januari, neraca dagang China mencapai USD 39,16 miliar. Surplus perdagangan China dengan AS menyempit menjadi USD 14,72 miliar pada Februari dari Januari sebesar USD 27,3 miliar.

 

3 dari 3 halaman

Kebijakan Bank Sentral Eropa

Keempat, kebijakan bank sentral Eropa. Presiden Bank Sentral Eropa Mario Draghi mengumumkan putaran baru stimulus untuk meningkatkan pinjaman di bank zona euro. Hal ini diharapkan dapat meransang ekonomi riil. Program stimulus digunakan untuk mencegah jatuhnya zona euro setelah krisis keuangan 2008.

Ini memungkinkan bank komersial untuk meminjam uang dari bank sentral tanpa bunga, tetapi harus berjanji menyalurkan dana itu kepada bisnis dan masyarakat.

Suku bunga juga pun tidak berubah, dan diperkirakan hingga 2020. Bank sentral Eropa juga memangkas pertumbuhan ekonomi zona euro dari 1,7 persen menjadi 1,1 persen pada 2019. Adapun Draghi akan akhiri masa jabatannya pada Oktober 2019.

Kelima, Brexit. Pada minggu malam sebagai tenggat waktu absolute untuk pembicaraan dengan Uni Eropa. Sejauh ini, negosiasi sulit. Sekretaris Brexit Steve Barclay dan Jaksa Agung Geoffrey Cox dapat kembali ke Brussels pada akhir minggu untuk melanjutkan pembicaraan yang bertujuan meningkatkan kesepakatan Brexit.

Pada Minggu malam atau Senin pagi akan menjadi tenggat waktu terakhir untuk memberikan waktu bagi anggota parlemen sebelum diumumkan pada Selasa 12 Maret.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.