Sukses

Polemik Pembebasan Lahan Bendungan Paselloreng, Kades Arajang Diperiksa Kejati Sulsel

Anti Corruption Commitee Sulawesi juga telah melakukan investigasi terkait dugaan korupsi di Bendungan Paselloreng.

Liputan6.com, Makassar - Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) dikabarkan mulai menyelidiki dugaan polemik pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng, di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. 

"Sudah banyak yang dimintai keterangannya oleh Kejaksaan Tinggi Sulsel, termasuk saya dan Pak Desa Arajang tadi," kata inisial AI, seorang warga Desa Paselloreng, Selasa 6 September 2022.

Selain AI, Kejati Sulsel turut memeriksa beberapa warga lainnya yang kabarnya sempat menerima sebagian uang ganti rugi atas lahannya yang masuk dalam wilayah pembebasan pembangunan Bendungan Paselloreng pada tahun 2020 hingga 2021.

"Iye, diperiksa tadi juga ada Ibu Andi Muri. Itu istrinya Pak Andi Akhyar (Kasi Pengadaan Tanah ART/BPN Wajo), ada juga dua orang anaknya sama dua orang saudaranya Andi Muri," tutur AI.

Di Kejati Sulsel, AI menjelaskan seputar lahannya yang masuk dalam wilayah pembebasan dan bahkan sudah ada yang tenggelam oleh air Bendungan Paselloreng namun hanya sebagian yang diterima ganti ruginya bahkan beberapa bagian lainnya sama sekali belum dibayarkan.

Diantaranya, lahan kebun yang ada di Desa Paselloreng tepatnya di Lompok Panasa Lupae seluas kurang lebih 70 are yang masuk dalam pembebasan, tapi yang dibayarkan baru 22 are yaitu senilai Rp115 juta lebih. Sedangkan selisih luas lahan sampai sekarang belum terbayarkan.

Kemudian mengenai lahan yang berada di Lompok Laponcing Desa Paselloreng yakni seluas kurang lebih 1 hektare. Di mana yang dibayarkan baru 47 are dengan nilai Rp468.911.305. Selisih luas lahan juga sampai sekarang belum terbayarkan ganti ruginya.

Tak hanya lahan yang berada di Desa Paselloreng, lahan kebunnya seluas kurang lebih 2 hektare yang sudah tenggelam oleh air Bendungan Paselloreng, juga sama sekali belum dibayarkan ganti ruginya.

"Pernah mau dibayar cuma 6 are sebesar Rp56.000.000 tapi saya tolak. Jadi sama sekali tidak ada pembayaran ganti rugi. Lahanku kurang lebih 2 hektare itu sudah tenggelam air Bendungan Paselloreng tapi tidak diganti rugi sampai sekarang," terang AI.

Ia mengaku heran dengan pertimbangan pihak panitia pengadaan lahan utamanya terkait dengan penetapan lokasi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng. Di mana daerah gunung (dataran tinggi) masuk dalam pembebasan dan telah diganti rugi. Sementara daerah dataran rendah kabarnya tidak masuk dalam wilayah pembebasan.

"Tapi justru kena dampak dan lahan di bawah (dataran rendah) tenggelam oleh air Bendungan Paselloreng. Gunung di atasnya justru sudah dibayar ganti ruginya tapi lahan yang ada di bawah tidak dibayar dan sudah tenggelam oleh air bendungan. Termasukmi lahanku ini yang ada di bawah dan sudah tenggelam tapi sampai sekarang tidak diganti rugi," ungkap Ai.

"Semoga dengan ditanganinya masalah ini oleh Kejaksaan, hak kami bisa segera didapatkan. Apa yang saya ungkap tadi, semua saya sudah bilang ke Pak Jaksa yang periksa saya tadi," jelas AI.

Ia nantinya berencana akan mengungkapkan kembali cerita lahan miliknya yang lain yang hingga saat ini juga bernasib sama ketika dipanggil kembali oleh Kejati Sulsel.

Lahannya masuk dalam pembebasan, tapi ganti ruginya belum dibayarkan utuh. Lahan itu berada di Desa Arajang tepatnya bernama Lompok Awokawoe.

"Ada dua bidang lahan saya di situ yang dibebaskan, tapi masing-masing bagian hanya sebagian luasannya yang diganti rugi," kata AI.

Lahan yang luasannya kurang lebih 2 hektare, hanya 1,5 hektare yang dibayar senilai Rp541.148.000. Selisih luas lahan yang tersisa sampai sekarang belum dibayar dan lahan tersebut juga sudah tenggelam oleh air Bendungan Paselloreng.

"Pernah dari total sisa lahan yang belum dibayar mau dibayar oleh panitia, tapi itu juga hanya 78 meter persegi. Sementara sisa lahan masih ada tersisa sekitar 50 are. Jadi saya tolak waktu itu dan sampai sekarang tidak ada pembayaran ganti rugi sisa lahanku itu," ungkap AI.

Selanjutnya, juga ada sebidang lahan di lompok yang sama dengan luasan kurang lebih 1 hektare. Diganti rugi oleh Panitia Pengadaan Tanah pembangunan Bendungan Paselloreng hanya seluas 30 are yakni senilai Rp215.498.000.

"Sisa luasan lahan sampai sekarang juga tidak dibayarkan ganti ruginya. Yang dibayar baru 30 are pada 2 Juni 2020," ucap AI sembari memperlihatkan bukti catatan pembayaran ganti rugi sebagian lahannya yang dimaksud.

"Insya Allah kalau ada pemanggilan berikutnya oleh Kejaksaan, saya akan bicara juga yang itu," AI menambahkan.

Kepala Desa Arajang, Jumadi Kadere dikonfirmasi juga membenarkan jika ia turut diperiksa oleh Kejati Sulsel pada Selasa 6 September 2022.

"Dengan Andi Muri, dua orang anaknya dan saudaranya juga, tapi beda ruanganka diperiksa," ucap Jumadi via telepon, Rabu (7/9/2022).

Ia mengatakan, pemeriksaan di Kejati Sulsel berkaitan dengan permasalahan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang sebelumnya sudah dilaksanakan.

"Tapi mungkin ada yang mempermasalahkan atau keberatan jadi ada pemeriksaan di Kejati Sulsel," tutur Jumadi.

Dalam pemeriksaannya di Kejati Sulsel, Jumadi mengaku sudah menjawab beberapa pertanyaan Tim Jaksa di Kejati Sulsel yang memeriksanya kemarin. Pada dasarnya, kata dia, yang ditanyakan seputar penerima ganti rugi pembebasan lahan Bendungan Paselloreng.

"Tidak terlalu banyakji ditanya. Apa yang ditanya itu saja yang saya jawab sesuai yang saya ketahui. Yah seputar penerima-penerima ganti rugi saja saya ditanyakan, ada yang sudah terima atau ada juga belum itu yang ditanyakan sama Pak Jaksa," jelas Jumadi.

"Oh iya sudah dulu yah, saya lagi ikut rapat dulu ini," Jumadi menandaskan.

Menanggapi hal itu, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun mengatakan, pada dasarnya pihaknya sangat mendukung langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Kejati Sulsel tersebut.

"Artinya Kejati Sulsel ini bergerak cepat dalam merespon masalah polemik pembebasan lahan Bendungan Paselloreng yang ramai menjadi perhatian masyarakat belakangan ini. Saya kira kami sangat mendukung bahkan mengapresiasi langkah Kejati Sulsel ini," ucap Kadir via telepon.

Ia mengungkapkan, dalam kegiatan pengadaan tanah pembangunan Bendungan Paselloreng sejak awal oleh pihaknya mencium adanya aroma dugaan tindak pidana korupsi.

"Dan itu sebelumnya kami pernah rilis sebagian hasil investigasi lapangan yang pada dasarnya ada aroma korupsi dalam kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng itu. Jadi saya kira sudah sangat tepat ketika Kejati Sulsel saat ini sedang menyelidiki kasus tersebut," tutur Kadir.

Ia berharap Kejati Sulsel kedepannya bisa segera merampungkan pengungkapan kasus dugaan korupsi dalam kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang kabarnya telah menghabiskan anggaran negara lumayan sangat besar tersebut.

"Kami pastikan juga akan kawal penanganan kasus ini hingga tuntas," Kadir menandaskan.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hasil Investigasi ACC Sulawesi

Lembaga ACC Sulawesi sebelumnya telah mengungkap adanya bau korupsi dalam kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang terletak di Kabupaten Wajo, Sulsel itu.

Dari hasil investigasi, mereka menemukan adanya dugaan perbuatan korupsi yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Baik terjadi sejak tahapan awal proses pelaksanaan pembebasan lahan hingga tahapan pencairan dana ganti rugi atas lahan warga yang terkena dampak pembebasan.

Kadir Wokanubun, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menjelaskan bahwa secara teknis, proses pelaksanaan tahapan hingga pembayaran ganti kerugian atas lahan telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang  Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

‌Di mana dalam Pasal 94, Ketua Panitia Pengadaan membentuk satuan tugas (satgas) yakni Satgas A yang membidangi pengumpulan data fisik tanah yang dalam hal ini pengukuran dan pemetaan bidang. Kemudian Satgas B yang memiliki tugas pengumpulan data yuridis tanah yang berkaitan dengan nama pemegang hak, bukti hak, letak lokasi status tanah, nomor identifikasi bidang, data tanaman yang di atasnya atau secara sederhana segala hal yang berkaitan dengan administrasi serta apa saja yang ada di atas tanah tersebut.

Selanjutnya dalam Pasal 105 tertuang bahwa hasil inventarisir dan identifikasi yang dilakukan oleh Satgas A dan Satgas B akan diumumkan di kantor kelurahan/ desa, kantor kecamatan.

"Tapi apa yang terjadi, ketentuan yang disebutkan di atas justru tidak dilakukan dan kami menemukan hal itu justru dilanggar. Dugaan korupsi keterkaitannya dengan penyalahgunaan wewenang sangat jelas kelihatan," kata Kadir, Minggu 7 Agustus 2022.‌Dugaan perbuatan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, kata dia, berjalan secara terstruktur, karena adanya dugaan keterlibatan struktur kekuasaan yang dalam hal ini melibatkan oknum panita pengadaan tanah.

Ia mencontohkan misalnya, panitia pengadaan tidak pernah memanggil atau mengundang warga yang berhak dalam arti pemilik lahan sesungguhnya yang masuk dalam wilayah pembebasan.

"Malah yang terjadi oknum panitia pengadaan tanah justru memanggil orang lain atau kerabatnya yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan lahan yang dimaksud atau sebagai penerima ganti kerugian hak atas tanah yang masuk dalam pembebasan," terang Kadir di Kantor ACC Sulawesi sebelumnya.

Tak hanya itu, dugaan korupsi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, juga dilakukan secara sistematis. Di mana dari hasil investigasi ACC Sulawesi menemukan adanya dugaan manipulasi data penerima ganti rugi lahan oleh tim panitia pelaksana pengadaan tanah.

"Di kepanitiaan pengadaan itu ada namanya Satgas A. Satgas ini memiliki fungsi verifikasi data pemegang hak atas tanah, namun data tersebut tidak didasarkan pada data yang sebenarnya. Melainkan, data yang digunakan tersebut data hasil manipulasi dari oknum panitia pelaksana pengadaan," tutur Kadir.

Ia menemukan ada seorang warga yang memiliki bukti penguasaan lahan seperti dokumen Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau dokumen administrasi tanah lainya dan orang tersebut telah menguasai tanah yang dimaksud secara turun-temurun, namun yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan surat panggilan dari panitia pelaksana pengadaan tanah untuk dilanjutkan ke proses verifikasi data fisik berupa pengukuran yang dilaksanakan oleh panitia (Satgas B).

"Justru yang mendapat panggilan, adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan tanah," ucap Kadir.‌Tak sampai di situ, keanehan lagi timbul saat pihaknya menemukan fakta lapangan bahwa dalam proses pengukuran tanah juga dilakukan secara sembunyi- sembunyi tanpa melibatkan warga pemilik lahan yang sebenarnya dan kesannya proses tersebut dilakukan dalam ruang yang gelap.

Hal tersebut, kata Kadir, terkonfirmasi saat pengumuman hasil Invetarisir dan identifikasi. Di mana oleh panitia hasilnya diumumkan di kantor kecamatan yang jauh dari daerah warga yang terdampak proyek pembebasan lahan pembangunan bendungan Paselloreng.

"Sehingga timbul pertanyaan ada apa, kenapa pengumuman tersebut dilakukan di tempat yang berbeda dan sangat jauh dari lokasi bendungan?," ungkap Kadir.

Fakta lain di lapangan, tim investigasi ACC Sulawesi turut menemukan adanya dugaan kejanggalan berupa manipulasi luasan lahan oleh panitia pengadaan tanah.

‌"Misalnya total hasil pengukuran 1000 m2 namun di peta bidang tercantum hanya 500 m2 dan sisanya kemudian dicarikanlah orang lain agar seoalah-olah orang tersebut memiliki bidang tanah yang dimaksud," beber Kadir.

Ia mengatakan, akibat dari praktek-praktek yang tak benar yang dilakukan secara massif di atas, jelas telah mengakibatkan ratusan kepala keluarga yang ada di tiga desa yang masuk dalam wilayah pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut mengalami kerugian bahkan mereka telah kehilangan sumber mata pencahariannya.

"Mereka semuanya petani, kasihan harus kehilangan hak atas tanahnya yang tidak lain sebagai sumber mata pencahariannya," tutur Kadir.

"‌Sehingga kami menilai, jika ini terus dilanjutkan, maka sangat berpotensi merugikan keuangan negara yang cukup besar ke depannya dan sudah pasti terjadi kesalahan dalam pembayaran uang ganti rugi alias terjadi salah bayar uang ganti rugi atas lahan yang dibebaskan serta ratusan kepala Keluarga jelas akan kehilangan mata pencahariannya," Kadir menambahkan.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.